Rabu, 24 November 2010


KONFLIK TRANSISI DAN KONFLIK PILKADA




A. Pengantar
Sejak dilangsungkannya Pemilihan Langsung Kepala Daerah tahun 2005. Perkembangan demokrasi di Indonesia memiliki dinamika yang berlangsung secara cepat dan pesat, beberapa indikator yang dapat dilihat adalah keberhasilan pemilu DPR, DPD, dan DPRD, dan bahkan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara langsung. Pengaturan penyelenggara Pemilihan langsung juga sudah tertuang dalam Undang-Undang No. 22/2007 yang mengatur tentang penyelenggara pemilu yaitu Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/kota  sebagai penyelenggara pemilu yang permanen dalam menjalankan tugas bertanggungjawab sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Bahkan selain itu, juga sudah diatur sistem pelaporan (DPR dan Presiden) dan pembentukan panitia pemilihan yang meliputi PPK, PPS, KPPS, dan PPLN serta KPPSLN yang merupakan penyelenggara pemilu yang bersifat ad hoc[1].
Selain penyelenggara diatur dalam Undang-Undang No. 22/2007, juga diatur mengenai Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang bersifat tetap. Dalam menjalankan fungsinya baik sebagai penyelenggara dan pengawas juga disusun dan ditetapkan kode etik supaya dalam menjalankan tugas dan fungsinya lebih intgeritas dan kredibilitas, dan agar kode etik dapat berjalan dengan baik, maka dibentuk Dewan kehormatan KPU, KPU Provinsi, dan Bawaslu.
Meskipun sudah diatur sedemikian rupa demi pemilihan langsung yang lebih berintegritas dan kredibel, namun tak dapat  dipungkiri masih terdapat masalah-masalah dalam penyelenggaraannya.  Munculnya konflik saat Pilkada adalah salah satu contohnya.

Konflik Masyarakat Transisi

Pandangan secara umum baik kalangan akademik maupun kalangan awam menyatakan bahwa rangkaian tindakan kekerasan akhir-akhir ini, khususnya di tahun 1990-an disebabkan oleh masa krisis dan transisi yang dihadapi oleh bangsa Indonesia. Krisis ekonomi yang melanda hampir semua di negara Asia di tahun 1990-an termasuk Indonesia, telah menyebabkan negara-negara tersebut mengalami satu masa yang disebut masa transisi.
Masa transisi yang terjadi pada tahun 1990-an bagi bangsa Indonesia, bukanlah masa transisi yang pertama, berbagai rangkaian peristiwa sejarah telah membawa bangsa Indonesia mengalami beberapa masa transisi. Bangsa Indonesia sebelum memasuki masa kemerdekaan, sebelumnya adalah bangsa yang berbentuk kerajaan, kemudian mengalami transisi politik pemerintahan dari pemerintahan kolonial (Portugal-Inggris-Belanda-Jepang-Sekutu), menjadi pemerintahan yang berkedaulatan. Setiap masa transisi tersebut, telah menimbulkan gejolak dan konflik  terhadap arah pemerintahan.  Gejolak dan konflik banyak terjadi pada golongan elit dalam bentuk perbedaan pendapat tentang arah bangsa. Perbedaan itu, dapat dilihat dari adanya gerakan elit yang mendirikan negara Islam melalui DI/TII baik yang terjadi di Aceh, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Sulawesi Selatan, kemudian golongan elit  di Maluku yang ingin mendirikan Republik Maluku Selatan (RMS), PRRI/PERSMESTA. Rangkaian masa transisi awal tersebut, telah mengakibatkan munculnya tindakan kekerasan, yang bukan saja menelan korban harta benda tetapi juga korban jiwa.
Masa transisi berikutnya adalah peristiwa G.30 S yang telah merenggut korban dari putra-putra terbaik bangsa Indonesia, mereka di bunuh oleh satu kelompok bersenjata tepatnya jam 01.00 malam yang berkeinginan mengambil alih kekuasaan. Transisi yang terjadi saat itu adalah transisi politik yang sekaligus menandai berakhirnya masa yang disebut Orde Lama yang dianggap mengalami kegagalan dalam menata sistem ekonomi bangsa Indonesia karena tidak stabilnya kondisi bangsa Indonesia, kemudian masa tersebut di gantikan oleh suatu tatanan baru yang di sebut Orde Baru. Belajar dari pengalaman masa Orde Lama, kemudian di masa Orde Baru mencoba membangun sistem kekuasaan dengan cara kebersamaan dengan mengenyampingkan perbedaan, padahal bangsa Indonesia diakui sebagai bangsa yang beraneka ragam (pruralistis) baik suku, etnis, bahasa dan lain sebagainya, bahkan perbedaan dianggap sebagai sumber konflik yang pada akhirnya akan mengganggu stabilitas politik, maka dibangunlah pandangan yang pada intinya stabilitas politik yang sehat dinamis menjamin pertumbuhan dan perkembangan ekonomi dengan menutup rapat-rapat perbedaan. Disadari bahwa masa Orde Baru telah menyumbat perbedaan, namun yang terjadi adalah konflik dan perbedaan terus berkembang sesuai dinamika perubahan sosial, mekanisme konflik  ditekan sehingga menciptakan gumpalan aspirasi yang terhambat yang sewaktu-waktu akan meledak ketika katup penekannya tidak mampu lagi menahannya.
Masa Orde Baru yang anti demokrasi akhirnhya juga tertekan oleh masa transisi yang dialami oleh bangsa Indonesia di tahun 1997 dimana terjadinya krisis ekonomi yang berdampak pada munculnya krisis politik.  Inilah yang menyebabkan kekuasaan Orde Baru jatuh dan digantikan oleh masa reformasi. Perubahan sistem pemerintahan tersebut, juga berpengaruh terhadap  sistem ekonomi dan pemerintahan, di masa Orde Baru sangat kental dengan sistem ekonomi perkoncoan/kroni digantikan oleh sistem ekonomi pasar di masa reformasi, kemudian sistem pemerintahan sentralisasi menuju ke sistem pemerintahan yang desentralisasi (Mishra, 2001).
Perubahan sistem ekonomi dan pemerintahan tersebut, rupanya juga berdampak pada munculnya berbagai konflik baik pada golongan elit kekuasaan maupun pada masyarakat akar rumput yang memperebutkan sumberdaya ekonomi dan kekuasaan. Setiap perubahan selalu ditandai dengan adanya konflik termasuk di Indonesia. Jack Snyder dalam bukunya From Voting to Violence: Democratization and Nationalist Conflict (2000) dan Harvard Hegre dalam tulisannya “Toward a Democratic Civil Peace? Political Change and Civil War (2001), menjelaskan bahwa pada awal masa transisi suatu bangsa ada kecenderungan terjadinya kekerasan sosial (sosial violence).  Banyak Negara berkembang yang mengalami transisi menuju bangsa dan pemerintahan baru, cenderung terjadi konflik dan kekerasan karena adanya kelompok  elit nasionalis yang berorientasi pada perebutan posisi pada kekuasaan. Sedangkan konflik dan kekerasan pada tingkat massa sangat berorientasi pada kepentingan etnis yang populer (Dwia, 2005:96-97).
Hanya saja ada beberapa kasus yang bisa jadi pengecualian.  Perubahan sistem pemerintahan dari pemerintahan yang bersifat sosialis ke pemerintahan sosialis demokrat yang terjadi di Jerman Timur dan Hunggaria, begitupun ketika Cekoslavakia terbagi menjadi Republik Czech dan Republik Slovak di lalui dengan cara damai. Hal ini tentunya dilewati dalam kondisi damai karena kondisi masyarakat sipil yang sangat kuat dengan lembaga yang efektif. Berbanding terbalik dengan negara yang memiliki sistem masyarakat sipil yang lemah, maka cenderung perubahan masa tersebut ditandai dengan konflik dan kekerasan. Menurut Tadjoeddin (2002) bahwa masyarakat sipil (civil society) yang tidak hidup disebabkan pengaruh tekanan negara yang sedemikian rupa. Demikian kondisi yang terjadi di masa Orde Baru segala kondisi dibawa pengaruh tekanan negara, sehingga kehidupan yang lebih demokratis yang ditandai dengan kebebasan teramat sulit untuk ditemukan. Inilah yang diluapkan pada masa reformasi, menjadi semacam euforia kebebasan. Pada gilirannya euforia ini terkadang melabrak rambu-rambu hukum dan berakhir pada tindakan anarkhi dan konflik-konflik.
 Berbagai rangkaian konflik dan tindakan kekerasan yang terjadi baik pada level masyarakat adalah situasi dari rasa tertekan dan antagonisme yang sudah lama terpendam kemudian meledak menjadi aksi massa yang sukar dikendalikan (Soemardjan, 2000). Aksi massa dapat ditujukan pada berbagai sasaran, pemerintah, gedung, pertokoan dan golongan masyarakat yang dianggap berbeda agama, ras dan suku. Aksi massa terhadap pemerintah bisa dipicu oleh  rasa tertekan selama ini. Masa reformasi semacam kunci yang membebaskan letupan. Maka jamaklah  pemandangan y dimana-mana bahwa pengerahan massa adalah hal yang biasa dilakukan oleh kelompok masyarakat untuk menekan pemerintah. Pembakaran dan penjarahan gedung dan toko adalah sebagai pelampiasan karena adanya rasa kesenjangan ekonomi. Sasaran kekerasan adalah mereka yang berbeda agama, suku dan ras. Tindakan kekerasan tersebut sebelumnya tidak terjadi karena negara mampu melakukan penekanan melalui kekuatan aparat keamanan. Namun ketika pemerintah melemah, demikian pula dengan kekuatan aparat keamanan, maka rakyat merasa mempunyai keleluasaan melampiaskan rasa antagonisme satu sama lain. Konflik transisi tersebut, juga merupakan warisan sosial dan budaya yang juga dapat berdampak dalam pemilihan umum kepala daerah, sebagai imbas dari konflik-konflik masa sebelumnya.

Kompleksitas Masalah dan  Konflik Pilkada
Konflik Pilkada dapat terjadi diantaranya karena berkaitan pelanggaran, penafsiran hukum atau UU yang berbeda, black campaign, money politics, dan sebagainya. Efek konflik tidak hanya berlangsung dalam jangka pendek tetapi juga jangka panjang. Menurut Chris Moore, bahwa konflik yang terjadi di masyarakat kebanyakan adalah menyangkut Tata Nilai, yaitu perbedaan pandangan tentang hal-hal yang tabu, suci, seperti perbedaan penafsiran agama, perbedaan idiologi. Kemudian konflik struktural, menyangkut perbedaan kases dan kontrol terhadap sumberdaya, berikutnya masalah konflik tata-hubungan, yang melibatkan stereotipe, sehingga menimbulkan masalah dalam hubungan antar pihak, selanjutnya konflik tentang data dan informasi akibat perbedaan penafsiran atas data atau karena perbedaan penafsiran karena memiliki data yang berbeda. Penyebab berikutnya adalah konflik kepentingan, terjadi perbedaan akibat berbagai kepentingan, sehingga jika tidak terjadi pemahaman akan menimbulkan konflik[2].
Menurut Usman Yassin, 2009,  sejak Juni 2005 hingga Juni 2007, telah dilangsungkan Pilkada di 285  Kabupaten/Kota  dan 15 Provinsi di Indonesia. Berdasarkan hasil identifikasi empiris penyelenggara Pilkada, pemerintah menyimpulkan paling tidak ada tujuh potensi penyebab konflik pilkada, yaitu (1). Tidak akuratnya data pemilih; (2) persayaratan administratif pasangan calon yang tidak lengkap; (3)  permasalahan internal parpol terhadap penetapan pasangan calon; (4) adanya kecenderungan KPU daerah tertentu tidak independen, tidak transparan dan memberikan perlakuan berbeda terhadap pasangan calon; (5) adanya dugaan money politic; (6) pelanggaran terhadap rambu-rambu penyelenggaraan Pilkada; dan (7) perhitungan suara yang tidak akurat, dan kasus di Sulawesi Selatan putusan lembaga peradilan juga berpotensi menjadi penyebab timbulnya konflik.
Berbagai sengketa konflik muncul, diantaranya, konflik Pilkada Maluku Utara, yakni konflik KPUD Maluku Utara dengan KPU Pusat. Sepanjang tahun n 2005-2007, Pilkada telah melahirkan sengketa-sengketa pilkada yang berujung pada kekerasan dan kerusuhan seperti Pilkada Depok 2005, Pilkada Tuban dan Pilkada Sulawesi Barat 2006 dan juga Pilkada Buleleng, Pilkada Sulawesi Selatan 2007. Berdasarkan hasil pemantauan JPPR di Pemilu sepanjang tahun 2005 – 2007, umumnya, sengketa dan konflik pilkada dipicu oleh faktor: tahapan pendaftaran calon, pendaftaran pemilih dan penetapan hasil pilkada. Menurut Irvan Mawardi (2008) bahwa dalam tahapan pendaftaran calon  yang umumnya memiliki peluang gagal atau tidaknya seseorang calon untuk bertarung dalam pilkada, seperti mengenai ijazah, dukungan 15% parpol atau dualisme partai pendukung, dan terakhir mengenai calon independen. Tahapan berikutnya adalah pendaftaran pemilih sebagai lahan konflik, pendaftaran pemilih yang amburadul dan tidak akurat menyebabkan konflik pada saat pemungutan dan perhitungan suara. Pengalaman pilkada selama ini, menguraikan bahwa ketika pemutakhiran data pemilih tidak maksimal dan mengakibatkan banyak warga yang tidak terdaftar sebagai pemilih tetap, maka kemungkinan besar terjadi protes dan konflik seperti yang terjadi di Kalimantan Barat, warga protes ke KPUD karena tidak terdaftar. Begitupun persoalan pendataan pemilih yang kurang valid. Permasalahan selanjutnya adalah pada tahapan penetapan pemenang dalam pilkada,  apalagi jika persoalan kalah tipis atau selisih suara yang kurang, berpotensi menimbulkan konflik,  begitupun kejadian yaitu tidak bersedianya DPRD  menetapkan hasil pilkada, meskipun tidak memiliki dampak yuridis terhadap hasil pilkada, namun penolakan DPRD tersebut memunculkan sengketa politik berkepanjangan pasca pilkada, seperti yang terjadi di Banyuwangi.[3]

Penutup

Begitu banyak permasalahan dan sengketa serta konflik pilkada, maka perlu langkah antisipasi terhadap peluang terjadinya konflik, melalui pengelolaan konflik, berdasar pada data dan fakta, diantaranya perbaikan pengelolaan penyelenggara pemilu, pengawas pemilu, penguatan birokrasi, masyarakat sipil dan modal sosial berupa kepercayaan antara masyarakat dan elemen warga, komunikasi antara elemen masyarakat sipil, politisi, pemerintahan dan para pelaku perhelatan pilkada sehingga tercipta pilkada damai dan dinamis tanpa mengorbangkan stabilitas politik, sosial dan ekonomi bangsa. Selain itu, konflik sebagai warisan sosial dan budaya, juga patut dipertimbangkan untuk mencegah  dan mengelola konflik sebagai akibat pilkada.

Daftar Pustaka

Dwia Aries Tina, NK. 2005. Kekerasan Komunal dan Damai; Studi Dinamika dan Pengelolaan Konflik di Luwu, Disertasi; Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin, Makassar.

Misrha, Satish. 2001. “History in the Making: A Sistemic Transition in Indonesia”. UNSFIR Working Paper 01/02. Jakarta.

Soemardjan, Selo. 1991. Perubahan Sosial di Yogyakarta.  Diterjemahkan oleh H.J. Koesoemanto dan Mochtar Pabotinggi. Yogyakarta Gajahmada University Press.

Tadjoeddin, Muhammad Zulfan. 2003. ”Pendekatan Peran Civil Society untuk Mencegah Kekerasan Komunal: Hipotesa dan Rancangan Penelitian”. Paper di sampaikan pada Konggres Ilmu Pengetahuan Nasional (KIPNAS) VIII LIPI dan Dirjen Dikti, Depdiknas, Jakarta.






[1]. Pesan untuk Calon Anggota KPU Provinsi dan Kabupaten/Kota di Bengkulu yang di sampaikan oleh Usman Yassin, Dosen pada Universitas Muhammadiyah Bengkulu.
[2]. Penyebab konflik tersebut yang dikemukakan oleh Chris Moore, diungkapkan oleh Dana Permana, staf pengajar pada Departemen Ilmu Politik FISIP Universitas Sumatera Utara, 2009.
[3]. Irvan Mawardi, 2009 adalah aktivis JPPR.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar