(Ke)Islam(an) dan (Ke)Pantutung(an) di Tanah Toa Kajang; Pergulatan Tiada akhir
1. Back Ground
Tanah Toa Kajang, tak terlalu banyak memang yang tahu tentang keberadaan komunitas ini. Mungkin hanya para peneliti dan antropolog yang kenal baik dengan komunitas ini, selebihnya adalah sebagian kecil mahasiswa yang tertarik dengan komunitas lokal semacam ini. Namun akhir-akhir ini tiba-tiba saja komunitas ini lumayan ramai diperbincangkan. Ini tentu saja bekaitan dengan bebagai peristiwa yang akhir-akhir ini dialami oleh komunitas ini. Tahun yang lalu masyarakat di daerah ini yang telah lama konflik masaalah tanah dengan pihak investor (LONSUM) mengalami perostiwa yang cukup tragis. Mereka bentrok dengan dengan aparat demi mempertahankan tanah-tanah mereka. Empat (bahkan mungkin lebih banyak dari itu) harus melayang jiwanya dalam peristiwa ini.
Kasus ini belum berakhir, kini mereka kembali lagi disibukkan menghadapi formalisasi Islam saat ini tengah hangat-hangatnya di Kabupaten Bulukumba. Formalisasi ini bukan sekedar menampilkan simbol-simbol Islam di kabupaten ini, tetapi juga sampai pada perumusan Perda-Perda tentang Syariat Islam yang wajib dilaksanakan oleh semua masyarakat Bulukumba. Saat ini sudah menelorkan empat Perda, tentang minuman keras, busana muslim, zakat profesi dan juga tentang pandai baca tulis al-Qur’an. Lagi-lagi yang paling merasakan ekses dari persoalan ini adalah masyarakat Tanah Toa ini.
Memang, Islamisasi di Tanah Toa ini sudah berlangsung lama. Proses panjang Islamisasi ini telah membentuk wajah baru dari komunitas Tanh Toa Kajang. Namun dalam proses pembentukan wajah baru itu Islam tidak sepenuhnya berhasil membentuk tanah Toa Kajang seperti Islam mainstreem. Disana justru terjadi dialog dan benturan-benturan yang pada akhirnya menciptakan bentuk lain yang tidak lagi murni tradisi Kajang (dengan Pasang/Patuntung) tapi juga tidak murni Islam yang di(resmi)kan.
Setelah munculnya berbagai Perda-Perda ini, jelas akan menyulitkan komunitas ini untuk tetap menjalankan model keberislaman yang selama ini mereka jalangkan. Soalnya yang terjadi dengan proses ini bukan lagi dialog tetapi sudah berwujud tekanan dan paksaan. Yang pada ujungnya akan menundukkan komunitas ini dibawah naungan agama resmi tertentu dan kebudayaan tertentu
Dalam konteks inilah tulisan tentang kajang ini muncul. Tulisan ini mencoba mengangkat persolan Islmasiasi yang sudah berlangsung selama ini. Tentu disini bukan mengangkat sejarah Islmaisasi, seperti yang lazim diangakt orang selama ini mengani tanah Toa kajang, tapi soal benturan antara Keislaman dan kekajangan (Patuntung/Pasang). Sampai pada soal bagaimna implikasi Formalisasi Syariat Islam terhadap konstruk ke Patuntungan dan keIslaman Kajang yang sudah ada selama ini
Sebelumnya memang beberapa orang telah memperbincangkan mengenai Islamisasi di kajang ini, tetapi pemaparan itu sekedar pemaparan proses sejarah Islamisasi. Dalam beberpa perbincangan dan penulisan Tanah Toa itu tidak dijelaskan bagaimana terjadinya benturan-benturan, dialog ataupun negosiasi. Bahkan proses islamisasi sendiri dianggap bukan sebagai problem terhadap komunitas ini, ini hanya dianggap sebagai proses wajar masuknya Islam di Bulukumba.
Tulisan ini juga mengangkat beberapa probelm lain yang dihadapi komunitas Tanah Toa kajang saat ini. Diantaranya berkaitan dengan persoalan tanah yang sampai mengakibatkan korban jiwa, juga tentang persoalan yang berkaitan dengan pendidikan, konstruk identitas dan berbagai tekanan dari negara terhadap komunitas ini.
A. Geografis dan Demografis Bulukumba dan Tanah Toa Kajang
A. 1. Profil Singkat Bulukumba
|
PETA SULAWESI SELATAN
|
Kabupaten Bulukumba adalah salah satu kabupaten Propinsi Sulawesi Selatan yang terletak pada posisi jalur kepariwisataan dan jalur perdagangan antara pulau yang terletak pada jasirah selatan Sulawesi Selatan 153 km arah selatan Ibukota Propinsi Sulawesi Selatan (makassar) dengan luas wilayah 1.154.67 km.
Kabupaten Bulukumba secara historis sejak dahulu dikenal sebagai daerah pusat kegiatan penyebaran agama Islam, Ekonomi, Pendidikan dan pertahanan secara geografis kabupaten Bulukumba terletak pada bagian Selatan Sulawesi Selatan pada posisi yang sangat startegis pada 05,20 derajat lintang selatan dan 119.58 Bujur timur diapik oleh laut flores dan teluk Bone dan mempunyai garis pantai yang panjang dan daratan berbukit -bukit gabungan dari kedua ini menjadikan Bulukumba memiliki pemandangan pantai dan daratan yang indah dan pada daratan inilah digunakan sebagai areal pertanian termasuk pada wilayah yang berbukit-bukit.
Adapun batas wilayah sebagai berikut :- Sebelah Utara adalah Kabupaten Sinjai
- Sebelah Timur adalah Teluk Bone
- Sebelah Barat adalah Kabupaten Bantaeng
- Sebelah Selatan adalah Laut Flores dan Kabupaten Selayar
Letak Geografis
Kabupaten Bulukumba berpenduduk 347.338 jiwa mendiami wilayah seluas 1.154,76 km2. Daerah ini sesungguhnya berada pada kondisi empat dimensi, yakni dataran tinggi pada kaki Bawakaraeng-Lompobattang, dataran rendah, pantai dan laut lepas. Kondisi strategis secara kewilayahan itu didukung oleh keadaan sosial budaya masyarakatnya yang juga berlatar belakang budaya maritim dan agraris.
Bulukumba yang mayoritas masyarakatnya etnis bugis, juga memiliki sub-etnis Kajang dengan bahasanya sendiri serta pada bagian timur dikenal bahasa Bugis-Makassar dialek Konjo. Berlatar belakang atas pengaruh dua kerajaan besar di Sulawesi Selatan, yakni Bone dan Gowa maka kondisi sosial masyarakatnya juga hingga kini wewarisi kedua etnis besar tersebut.
Pembagian wilayah Administrasi
Secara administratif Kabupaten Bulukumba dibagi menjadi 10 Kecamatan dengan jumlah Desa 103 buah dengan kelurahan 21 buah.Adapun Kecamatan tersebut sebagai berikut :
1. Kecamatan Ujung Bulu terdiri dari 8 Desa / Kelurahan
2. Kecamatan Gangking terdiri dari 12 Desa / Kelurahan
3. Kecamatan Bulukumpa terdiri dari 16 Desa / Kelurahan
4. Kecamatan Kajang terdiri dari 19 Desa / Kelurahan
5. Kecamatan Bontobahari terdiri dari 8 Desa / Kelurahan
6. Kecamatan Bontotiro terdiri dari 12 Desa / Kelurahan
7. Kecamatan Rilau Ale terdiri dari 13 Desa / Kelurahan
8. Kecamatan Herlang terdiri dari 8 Desa / Kelurahan
9. Kecamatan Kindang terdiri dari 8 Desa / Kelurahan
10. Kecamatan Ujung Loe terdiri dari 12 Desa / Kelurahan
Kependudukan
Pertumbuhan penduduk di Kabupaten Bulukumba tidak terlalu menonjol dengan jumlah penduduk sebanyak 352.606 jiwa pada tahun 2000 dan kepadatan penduduk jumlah 305 jiwa/km2 dan lebih tinggi dari kepadatan penduduk Sulawesi Selatan.Tak ada cacatan, tentang asal-muasal penduduk yang bermukin didaerah ini. Namun dilihat dari kultur dan bahasa mereka, sebenranya masyarakat Bulukumba ini adalah masyarakat antara, yaitu masyarakat percampuran bugis dan Makassar, ini bila kita ikuti konstruksi Speelman. Tetapi bila didasarkan pada tradisi di Sul-Sel, maka asal masyarakat ini mungkin saja berasal dari Kajang, dulu sebelum adanya kategori Bugis-Makassar disebut dengan To Kajang [1]
Penduduk dan Agama
Mayoritas penduduknya berasal dari suku Bugis; kelompok suku ini berasal dari semenanjung Bira, yang terkenal sebagai pembuat perahu Bugis. Di Kecamatan Kajang, ada sekelompok kecil penduduk yang dikenal sebagai Amatoa. Mereka melepaskan hal-hal teknologi dan modernisasi dan dikenal dari pakaian mereka yang selalu berwarna hitam. Mayoritas penduduk Bulukumba (99,9%) memeluk agama Islam.
Kebudayaan
Penduduk kabupaten Bulukumba tumbuh dan berkembang dari akar budayanya yang luhur penduduk bermukim di Ibukota Kabupaten dan Desa. Penduduk yang bermukim di luar ibukota kabupaten rumahnya masih banyak dipengaruhi dengan rumah panggung, sedangkan penduduk yang bermukim diperkotaan menggunakan rumah bawah atau permanent.
Bulukumba dikenal sebagai masyarakat maritim dengan mengandalkan keahlian membuat perahu dan melayarkan perahu disamping itu penduduknya bercirikan pada hudup budaya agraris. Rumpun budaya Bulukumba yaitu ; Rumpun Budaya Konjo yang tersebar di Kecamatan Kajang, Heriang, Bontotiro, Bontobahari, dan sebagian di kecamatan Kindang Ujungbulu, ujung Loe, Bulukumpa, Gangking dan sebagian di Kindang.
Karena letak kabupaten Bulukumba yang merupakan jalur lalu lintas antara kabupaten lainnya termasuk jalur lalu lintas ke kabupaten Selayar sehingga terjadi pembauran kebudayaan dan mengakibatkan terbentuk masyarakat yang majemuk.
Bahasa
Bahasa adalah merupakan suatu alat komunikasi antara masyarakat setempat. Penduduk Bulukumba menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar di samping bahasa daerah yaitu Bahasa Bugis, Bahasa Konjo yang berdialek Makassar yang nerupakan bahasa pengantar yang digunakan dalam lingkungan keluarga.
A.2.Konstruk Geografis Dan Demografis Tanah Toa Kajang
Kondisi Geografis
PETA KECAMATAN KAJANG
| ||||
Keterangan:
: Wilayah Komunitas Adat Kajang
: Batas-Batas Dusun
: Batas-Batas kabupaten Bulukumba
++++++++ : Batas-batas Kecamatan Kajang
A : Kecamatan Bulukumba
B : Kecamatan Herlang
C : Kecamatan Ujung Bulu
D : Batas Kabupaten Sinjai
E : Wilayah Teluk Bone
I : Dusun Kassi
II : Dusun Balagna
III : Dusun Sapaya
IV : Dusun Bantalan
V : Dusun Sangkala
VI : Dusun Ganta
VII : Dusun Sapiri
VIII : Dusun Gantang
IX : Dusun Baloba
X : Dusun Malleleng
XI : Dusun Lajalo
XII : Dusun Lembanna
Peta diatas adalah Peta Kecamatan Kajang dimana penelitian ini dilakukan. Dari peta diatas jelas terlihat tidak secara keseluruhan kecamatan kajang menjadi bagian dari daerah komunitas adat. Gambar diatas juga memperlihatkan bahwa daerah adat yang oleh komunitas kajang disebut sebagai daerah kawasan atau ilalang bata, juga terkadang disebut sebagai ilalang embayya atau rabbang seppang secara geografis dikonstruksi sedemikian rupa ketempat yang agak terpencil dan dipinggirkan agak kesudut wilayah (Penjelasan tentang hal ini, pada tulisan selanjutnya).
Desa Tana Toa Kecamatan Kajang Kabupaten Dati II Bulukumba, terletak di bagian utara Kecamatan Kajang, berbatasan dengan wilayah Kabupaten Dati II Sinjai. Luas wilayah Desa Tana Towa 1.820 ha, terdiri atas sembilan dusun, yaitu : (1) Dusun Balagana, (2) Dusun Jannayya, (3) Dusun Bantalang, (4) Dusun Pangi, (5) Dusun Sobbu, (6) Dusun Balambina, (7) Dusun Benteng, (8) Dusun Luraya, dan (9) Dusun Tombolo. Desa ini berbatasan dengan empat desa yang merupakan pemekaran dari desa tanah Toa sendiri pada tahun 1995 yaitu: Sebelah Utara dengan Desa Batunilamunge, sebelah selatan dengan Bonto Baji, sebelah barat dengan Pattiroang dan sebelah timur dengan Malleleng.
Dari kesembilan dusun yang ada di desa tanah Toa tersebut, Tujuh diantaranya berada didalam kawasan adat, dua yang lainnya berada diluar yaitu dusun Benteng dan Jannayya. Luas wilayah yang masuk dalam kawasan ini 998 ha, atau lebih dari separuh (55%) wilayah Desa Tana Toa.
Kawasan Adat Kajang dibatasi, secara alamiah, dengan empat sungai, yaitu (1) Sungai Tuli di bagian utara, (2) Sungai Limba di bagian timur, (3) Sungai Sangkala di bagian selatan, dan (4) Sungai Doro di bagian barat.
Batasan alamiah tersebut oleh mereka disebut emba (pagar) atau rabbang (kandang). Kawasan yang ada dalam lingkup batas alamiah itu kemudian disebut Ilalang Embaya (dalam pagar) dan daerah di luarnya disebut Ipantarang Embaya (di luar pagar). Dari istilah rabbang kemudian dikonsepsikan kawasan dalam adat sebagai rabang Seppang (kandang sempit), sementara kawasan di “luar” dikonsepsikan sebagai rabbang luara (kandang luas). Rabbang Seppangna Amma ini juga menjadi batas sejauh mana seorang Amma Toa boleh bepergian.
Tiap-tiap tempat yang menjadi daerah Tanah Toa dalam keyakinan masyarakat adat bukan hanya soal geografis, tapi juga berkaitan dengan persoalan keyakinan spiritual dan keterkaitan mereka secara batin. Nama-nama seperti Doro, sangkala, Tuli dalam kawasan adat dan Dalonjo, Damangga, dakodo, Dangampa dan Tumutung ri Sobbu (diluar kawasan adat) adalah nama-nama yang diyakini menjadi penjaga negeri yang memiliki hubungan batin dengan komunitas adat. Itulah sebabnya mengapa tanah atau daerah komunitas adat mereka menjadi begitu penting. (Ini lebih jelas dalam pembahasan sengketa dengan Lonsum)
Demikian halnya dengan Istilah Ilalang embayya dan ipantarang embayya tidak sekedar sebagai batas wilayah tetapi lebih dari itu istilah ini juga menunjukkan batas-batas identitas antara komunitas dalam kawasan adat dengan di luar kawasan adat. Perbedaan identitas itu misalnya ditunjukkan dengan symbol Ilalang Embayya butta to Kamase-masea (Dalam lokasi adat sebagai tempat orang-orang yang bersahaja). Sedangkan ipantarang embayya sebagai butta kuasaiyya. (Diluar kawasan adat sebagai tempat orang-orang yang punya kuasa)
Jarak tempuh dari ibukota kecamatan sekitar 20 km, dari Ibu kota kabupaten 60 km, dan dari ibu kota provensi 200 km. Perjalanna ketempat ini dapat ditempuh dari ibu kota kecamatan ½ jam, Sedang dari ibu kota kabupaten 1 ½ jam, dari ibu kota provensi sendiri kira-kira dapat ditempuh 3- 4 jam. Di desa tanah Toa khususnya di luar kawasan kendaraan lancar, bahkan sekarang sudah ada ojek. Untuk didalam kawasan berlaku aturan tersendiri mengenai transportasi yaitu mobil, motor ataupun sepeda tidak boleh masuk kedalam. Kendaraan yang bisa diguanakan didalam kawasan adat adalah kuda.
Sementara itu, di lihat dari elevasinya, tinggi dari permukaan laut Desa Tana Towa bervariasi antara 75 m sampai 155 m. tertinggi adalah Dusun Daulu dan terendah Dusun Tombolo. Curah hujan di kawasan ini mencapai 2000 – 2500 mm pertahun.
Komunitas Adat Kajang membentuk perkampungan tersendiri dengan jumlah unit keluarga 833 kepada keluarga dan rumah sebanyak 730 buah. Akan tetapi berbeda dengan pola perkampungan masyarakat luar di mana rumah diatur berderet sebelah menyebelah sepanjang jalan dan mencirikan adanya corak pelapisan sosial, pola perkampungan dalam kawasan adat Ammatoa biasanya berkelompok (kluster) dan bentuknya seragam.
Hutan
Di tanah Toa Kajang, memiliki hutan yang di beri nama Borong karama (Hutan Keramat). Luas hutan “Borong Karama” ini 331,70 Ha, hampir separuh dari luas desa Tanah Toa kajang yang kira-kira luasnya 784,35 hektar. Sebelah barat dari hutan ini berbatasan dengan desa Pattiroang, sebelah selatannya dengan desa Bonto Baja dan sebelah timurnya lagi berbtasan dengan desa Malleleng. Sekalipun dataran di daerah ini bukan termasuk dataran tinggi karena hanya berada sekitar 200 m dari permukaan laut namun tanaman baik di luar maupun di dalam hutan seperti rotan, kayu rambutan dan tumbuhan lainnya tumbuh subur dan rindang.Demikian pula hewan-hewan yang ada di dalam hutan seperti rusa, babi, monyet dan ayam hutan mereka berkembang dan tidak mendapat ganguan. Menurut penjelasan dari Salam kepala desa Tanah Toa kajang, kelestarian tanaman dan hutan yang ada di sana karena di jaga oleh masyarakat lokal (adat) khususnya mereka yang berdiam ri ilalang embayya (dalam daerah adat). Mereka memegang teguh aturan adat yang berkaitan dengan penjagaan lingkungan khususnya hutan. Hal ini bukan hanya karena yang mengambil atau menebang pohon dan membunuh hewan yang ada di dalamnya akan terkena denda sebanyak tallu lasa’ (kira-kira Rp.1.200.000) tetapi juga mereka takut terkena kutukan akibat dari melanggar pasanga ri kajang . Kutukan itu bisa berupa penyakit yang diderita oleh orang yang menebang pohon atau berburu binatang dalam hutan bisa juga berakibat berhentinya air mengalir di lingkungan tanah Toa kajang. Dalam pasanga memang banyak bicara persoalan lingkungan dan hutan diantaranya: Naparanakkang juku
Napaloliko raung kaju
Nahambangiko allo
Nabatuiko Ere Bosi
Napalolo’rang EreTua
Nakajariangko Tinanang
Artinya : (Ikan Bersibak Poghon-pohon bersemi, Matahari Bersinar, Hujan Turun, Air Tuak mnetes, segala tanaman menjadi).
Pasanga ini menunjukkan bagaimana keramahan lingkungan terhadap komunitas adat kajang karena mereka senantiasa melakukan perbuatan baik dan sayang terhadap lingkungannya. Ini juga menunjukkan bahwa Amma Toa yang terpilih di terima oleh alam dan lingkungannya.
Selain itu borong karama (hutan keramat) diyakini oleh masyarakat adat sebagai satu tempat yang sakral. Disitu di yakini terdapat semacam batu tagentung (batu tergantung) yang suci. Bahkan diyakini batu itu sama dengan hajaratul aswad yang ada di Kabbah mekkah. Tempat ini sangat disakralkan oleh masyarakat bahkan terkesan dirahasiakan. Namun yang pasti kostruksi adanya temapt sacral seperti batu tagentung ini ikut menjadi mitos yang melindungi keberadaan dari hutan. Disamping itu didalam hutan yang disebut borong karama inilah diadakan pemilihan Amma Toa
Masyarakat adat juga meyakini adanya keterkaitan batin antara mereka dengan lingkungannya. Hutan, binatang dan tanaman dalam kosmologi mereka adalah bagian dari manusia, karenanya harus dihormati, disayangi dan diperlakukan sebagaimana layaknya makhluk hidup. Karena itu menurut Galla Puto Beceng yang biasa juga dipanggil dengan Amma Galla pasangan ri kajang yang berbunyi “Abbulo Si pappa allemo sibatu tallang si pahua manyu siparampe dan lingu sipakainga” bukan hanya menunjukkan adanya kesatuan antara manusia dengan sesamanya manusia tetapi juga menunjukkan ikatan yang satu antara manusia dengan makhluk yang lain termasuk lingkungannya.
Masyarakat adat melakukan acara ritual sebagai bentuk penjagaan dan penghargaan terhadap hutan diantaranya Attunu Pasaung (membakar kemenyang). Acara ini berupa doa yang juga berisi kutukan terhadap orang-orang yang mencuri pohon atau membunuh bintang yang ada didalamnya. Biasanya acara ini dilakukan oleh pemangku adat. Juga ada acara andingingi (Mendinginkan), acara ini sebagai bentuk meminta keselematan kepada Yang Maha Kuasa terhadap seluruh makhluknya baik manusia, tumbuhan maupun hewan agar tidak tertimpa mala-petaka. Bahkan secara khusus acara andingingi ini ada pula untuk hutannya yang disebut dengan andingingi borong (mendinginkan hutan) hal ini dimaksudkan agar hutan beserta seluruh isinya tetap lestari dan dilindungi Yang Maha Kuasa.
Apakah dengan demikian pohon yang ada di hutan tidak diambil oleh penduduk setempat? Menurut Salam Kepala desa Tanah Toa; “bisa saja tetapi dengan aturan yang sangat ketat dan harus dengan persetujuan pemangku adat. Itupun dengan janji harus mengganti pohon yang diambilnya dengan menanami kembali pohon yang serupa. Pohon yang dia tebangpun harus yang sudah tua dan hanya satu batang. Bahkan menurut Galla Puto sampai sekarang kalangan pemangku adat saja belum pernah mengambil pohon dari Borong Karama. Rumah-rumah yang mereka dirikan biasanya mengambil pohon dari luar. Demikian halnya binatang, seperti rusa baru boleh dibunuh kalau dia keluar dari hutan. Dan menurut Salam rusa atau binatang lain yang keluar dari hutan biasanya memang sudah bersiap untuk ditangkap, mereka tidak lari bila didatangi. Menurutnya ini sudah isyarat dari sang penghuni hutan bahwa binatang itu sudah diperuntukkan untuk manusia.
Konstruk Demografis Penduduk
Berdasarkan data tahun 2001/2002, jumlah penduduk yang bermukim di desa Tana Toa sebanyak 3.710 jiwa, terbagi atas laki-laki 1.725 dan perempuan 1.985orang. Jumlah tersebut dilihat dari kategori usia tercatat dapat dilihat pada tabel: [2]
No | Golongan umur | Laki-laki | Perempuan | Jumlah |
1. | 0-12 bulan | 47 | 63 | 110 |
2. | 13 bulan – 4 tahun | 150 | 166 | 316 |
3. | 5-6 tahun | 42 | 57 | 99 |
4. | 7-12 tahun | 272 | 287 | 559 |
5. | 13-15 tahun | 88 | 103 | 191 |
6. | 16-18 tahun | 78 | 95 | 173 |
7. | 19-25 tahun | 93 | 128 | 201 |
8. | 26-35 tahun | 207 | 231 | 447 |
9. | 36-45 tahun | 217 | 234 | 451 |
10. | 46-50 tahun | 47 | 82 | 109 |
11. | 51-60 tahun | 173 | 189 | 362 |
12. | 61-75 tahun | 262 | 289 | 561 |
13 | Lebih dari 76 tahun | 41 | 61 | 102 |
| Jumlah | 1.725 | 1.985 | 3.710 |
Sumber : Lihat Laporan Profil Desa Tana Toa, Kecamatan Kajang Kabupaten Ting II Bulukumba Sulawesi-Selatan, 2002
Pada tahun 2004 terjadi perubahan jumlah penduduk , yaitu dari 3.710 menjadi 3.900 dengan jumlah laki-laki sebanyak 1850 dan jumlah perempuan sebanyak 2.050. Penduduk dari desa tanah toa ini homogen yaitu satu sub suku Makassar yang bernama Konjo[3], dalam hal agama yang (di)resmi(kan) mereka digolongkan kedalam Islam. Dari jumlah penduduk itu, 60 % diantaranya tinggal di dalam kawasan ilalang embayyaa.
Sementara itu jika dilihat dari laporan usia kerja dapat digambarkan sebagai berikut:
No | Usia Angkatan Kerja | Jumlah |
1 | 10-14 tahun | 421 |
2 | 15-19 tahun | 386 |
3 | 20-25 tahun | 274 |
4 | 26-40 tahun | 392 |
5 | 41-56 tahun | 420 |
6 | 57 tahun keatas | 794 |
| Jumlah | 2701 |
Sumber : Lihat Laporan Profil Desa Tana Toa, Kecamatan Kajang Kabupaten Ting II Bulukumba Sulawesi-Selatan, 2002
Pendidikan
Secara keseluruhan, warga Komunitas Adat Kajang jarang yang pernah mengecap pendidikan formal, dan karena itu sangat sedikit diantara mereka yang tahu tulis- baca, terutama di kalangan orang dewasa. Persoalan ini sebnranya tidak sesederhana seperti yang dibayangkan oleh pemerintah bahwa masyarakat kajang khusunya yang didalam kawasan tidak sekolah karena kurangnya pemahaman mereka dan juga karena factor ekonomi, tetapi juga ini berkait erat dengan soal keyakinan dan pandangan hidup masyarakat kajang.
Secara statistic. Kategorisasi pendidikan desa Tana Toa dapat dilihat dari tabel berikut:
No | Pendidikan | Jumlah (orang) |
1. | Buta aksara dan angka | 48 |
2. | Tidak tamat SUADI (GANDHA) : | 2000 |
3. | Tamat SUADI (GANDHA) : | 1.562 |
4. | Tamat SLTP | 37 |
5. | Tamat SLTA | 21 |
6. | Tamat akademi (D1-D3) | - |
7. | Sarjana S1 | 3 |
| Sarjana S2/S3 | - |
| Jumlah | 3.710 |
Sumber : Lihat Laporan Profil Desa Tana Toa, Kecamatan Kajang Kabupaten Bulukumba Sulawesi-Selatan, 2002
Pada tahun 1991-1992 didirikan sekolah dasar 351 Kawasan Amma Toa. Sekolah ini bertujuan untuk menarik minat sekolah anak-anak dalam kawasan adat murid-muridnya sampai pada tahun 2004 ini telah ada 126 orang dan dari sini telah melanjutkan sekolah ke Menengah pertama sebanyak 7 orang. Ketujuh orang ini berasal dari dalam kawasan ilalang embayya
Pada tahun 2004 sudah semakin banyak anak-anak yang bersekolah, yang diluar kawasan hampir semua anak usia sekolah sudah bersekolah de SD Balagana, dalam kawasan sendiri hampir 126 ikut sekolah meskipun 55 diantaranya tidak aktif. Yang mencapai gelar sarjana juga semakin banyak yaitu sebanyak 7 orang dengan dua diantaranya adalah berasal dari dalam kawasan yaitu Muh Zaid (anak dari Galla Puto Beceng) dan Abu.
Mata Pencaharian
Sekalipun komunitas adat tanah Toa ini berprinsip Kamase-masea (Hidup sederhana dan bersahaja), tidak berarti mereka sama sekali tidak memiliki mata pencaharian. Bahkan menurut pengakuan Kepala desanya yaitu Pak Salam, komunitas adat ini sebenarnya bukan tidak punya kekayaan, mereka banyak memiliki kebun dan binatang ternak, bahkan terkadang melebihi yang dimiliki oleh orang-orang diluar kawasan adat. Hanya saja prinsip hidup sederhana ini dipraktekkan dalam penampilan yang bersahaja, misalnya rumah yang terbuat dari bamboo, pakaian hitam yang sederhna, tidak beralas kaki, sehingga orang menganggap bahwa masyarakat adat tanah Toa betul-betul miskin. Namun hal ini mungkin saja hanya berlaku bagi sebagian kalangan masyarakat komunitas adat yaitu para elitnya, katrena saat ini banyak sekali dari warga Tanah Toa, khusunya yang berada didalam kawasan yang saat ini keluar daerah untuk mencari kehidupan. Dan kebanyakan mereka diluar mnenjadi buruh kasar. Menurut Ahmad ketua Sarikat Petani Kajang ini menunjukkan betapa mata pencaharian msayarakat Tanah Toa, khusunya yang berada didalam kawasan sangat sulit saat ini. (Persoalan hidup kamase-mase dalam kaitannya dengan konstruksi pemerintah maupun kalangan dari luar, akan dibahas tersendiri, karena pada konteks tertentu ini menjadi problem pada komunitas adat).
Adapaun mata pencaharian penduduk Desa Tana Towa bertumpu pada pertanian di sawah dan ladang, dan usaha perkebunan. Pemanfaatan lahan meliputi (1) ladang 800 ha, (2) kebun campuran 455 ha, (3) sawah 280 ha, (4) perkarangan 150 ha, (5) hutan 110 ha, (6) jalan desa 20 ha.
Jagung dan padi adalah tanaman pangan utama yang menjadi sumber penghidupan Komunitas Adat Kajang. Sebagai tambahan mereka juga membudidayakan bahan makanan dan pendapatan lain, seperti ubi kayu, ubi jalar, dan kacang-kacangan untuk tanaman jangka pendek; sedangkan tananam jangka panjang terdapat kelapa, kemiri, kopi, kapok, durian, langsat. Komunitas TanahToa kajang juga mulai membumi dayakan tanaman yang akhir-akhir ini banyak dikembangkan di luar kawasan adat seperti cengkeh, jambu mente, coklat dan lada. Dalam tahun 1990/1991 diprogramkan budaya salak pada dusun-dusun di Desa Tana Towa, termasuk yang ada dalam kawasan Komunitas Adat Kajang. Pilihan untuk menitik beratkan pencaharian mereka pada pertanian disebabkan karena kondisi alam yang memungkinkan seperti itu
Masyarakat tanah Toa disamping bertani, mereka juga beternak. Sapi, kerbau dan kuda adalah yang paling banyak diternakkan oleh komunitas ini. Ternak semacam ini memang sangat penting bagi komunitas tanah Toa, karena disamping bisa di jual juga paling banyak digunakan dalam menggarap pertanian mereka. Misalnya kerbau, sapi maupun kuda, biasa digunakan untuk membajak sawah ataupun lading. Selain itu ternak ini juga menjadi hewan sembelihan pada saat-saat ada acara adat, seperti akkattere, akkalomba maupun pesta perkawinan. Selain itu untuk menambah penghasilan, mereka juga membuat tope yaitu sarung hitam yang mereka tenung sendiri dan digarusu yaitu di lamuri dengan pewarna dari tumbuh-tumbuhan tertentu.
Karena bagi masyarakat adat ini sumber kehidupannya adalah tanah, maka tanah bagi mereka sangat berarti. Kehilangan tanah sama artinya mereka kehilangan sumber kehidupannya.
Secara statistik mata pencaharian penduduk Kajang dapat dilihat pada tabel berikut:
No | Desa | Kelapa | Kapok | Kemiri | Bambu | Lada |
1 | Tanah Jaya | 21.859 | 8.304 | 5 | 750 | 1 |
2 | Lambanna | 25.116 | 8.996 | 341 | 2.663 | 572 |
3 | Tambangan | 21.112 | 3.105 | 1.177 | 746 | 105 |
4 | Tana Toa | 11.684 | 9.150 | 1.304 | - | 130 |
5 | Possi Tana | 17.153 | 1.201 | 1.201 | 1.050 | 56 |
Sumber : Kantor Pertanian Kajang
Bahasa
Di sul-sel, ada empat Bahasa yang lazim digunakan oleh masyarakat yaitu bugis, Makassar, mandar dan Tator, namun diluar itu masih banyak bahasa yang merupakan sub bahasa dari empat bahasa tadi. Misalnya bahasa Palopo atau Luwu, bahasa Pattae yang banyak digunakan disekitar Pinrang dan enrekang dan juga bahsa Konjo yang digunakan di beberapa tempat di Bulukumba[4].
Bahasa Makassar lebih banyak dipergunakan di kabupaten Gowa, kabupaten Takalar, kabupaten Je'neponto, dan kabupaten Bantaeng sebahagian (sebanyak 75%) dipergunakan di kodya Makassar, kabupaten Pangkep, kabupaten Maros, kabupaten Bulukumba. Sementara bahasa bugis lebih banyak dipergunakan di kabupaten Barru, Kodya Pare-Pare, kabupaten Pinrang, kabupaten Soppeng, kabupaten Wajo, kabupaten Luwu, kabupaten Bone, kabupaten Sinjai dan sebahagian dipergunakan di kabupaten Pangkep, kabupaten Bulukumba.
Bahasa mandar dipergunakan pada kabupaten Majene, kabupaten Polmas dan Mamuju, dan bahasa palopo dipergunakan di kabupaten Palopo sendiri, kabupaten Siwa, sebagian di kabupaten Enrekang dan kabupaten Pinrang menggunakan bahasa Pattae. Di kajang sendiri digunakan bahasa Konjo, yang merupakan sub bahasa dari Makassar. Bahasa Konjo ini sekalipun merupakan sub bahasa dari makassar namun banyak sekali perbedaannya, baik dalam pengucapan maupun kosa-katanya. Dalam beberapa kosa-kata malah hanya dapat ditemukan di masyarakat Tanah Toa atau kajang pada umumnya, misalnya= memberikan yang dalam bahasa kajang disebut dengan na dahuan, ini tidak ditemukan di beberapa tempat lainnya yang berbahasa makassar, bahkan berbahas konjo sekalipun..
Dalam pasang ri kajang sering disebutkan tiga daerah besar yakni kerajaan Gowa, kerajaan Bone dan kerajaan Luwu. Ketiga daerah-daerah tersebut dalam pasanga disebutkan memiliki pegangan hidup atau ajaran. Di kerajaan Gowa dikenal dengan lontara, di Luwu dan Bone dikenal dengan kitta' dan di Kajang dikenal dengan pasang.
Bahasa yang terdapat dalam ketiga sumber falsafah hidup orang-orang sul-sel itu nampaknya satu sama lain ada kemiripan. Dalam pasanga banyak kata-kata yang mirip dengan yang terdapat di Kitta’ ataupundi Lontara. Kitta’ ini sendiri berbahas bugis, sementara lontara berbahasa makassar. Jadi dalam bahasa konjo, bukan hanya di pengaruhi oleh bahasa makassar, tapi juga bahasa bugis.
Mitos tentang Amma Toa dan Struktur Sosial Masyarakat Adat
Pada Masyarakat Bugis makassar dikenal adanya struktur masyarakat yang agak berbeda dengan yang lainnya di Nusantara. Hal ini misalnya telah doigambarkan oleh Frederick dalam desertasinya (1933) tentang struktur sosial masyarakat tersebut. Pada dasarnya struktur masyarakt di bugis ini dikenal dalam tiga tingkatan yaitu
*anakkaraeng atau anak araung yaitu golongan bangsawan yang kemudian masi dibagi lagi yaitu Ana Ti’no yaitu anak asli keturunan raja yang masih belum berdarah campuran dan anak karaeng maraengannayya yaitu keturunan raja yang tidak termasu gholongan pertama tadi, sudah berdarah campuran.
*To Maradeka yaitu orang merdeka, ini juga dibagi dua Tubaji yaitu orang baik-baik dan Tu samara yaitu orang kebanyakan.
*Ata yaitu hamba sahaya, yang kemudian dibagi tiga Ata sossorang (hamba sahaya keturunan) dan ata nibuang (sahaya baru)[5].
Di kajang khususnya didalam kawasan adat sendiri stuktur sosial ini bertalian dengan persoalan To manurung. To Manurung ri kajang ini kemudian dikenal nanti sebagai Amma Toa yang menjadi pemimpin adat di daerah ini (K.M Usop;1978). Ada beberapa mitos tentang kemunculan amma Toa ini. Mengenai asal usul Ammatoa atau Ammatoa pertama, menurut cerita adat atau mitos dikalangan Komunitas Adat Kajang ada banyak versi.
Dikisahkan bahwa Ammatoa sebagai Tau Mariolo turun dengan seekor burung dari langit. Ada yang mengatakan burung itu bernama kajang, sehingga sebagaian kalangan peneliti seperti Samiang Katu menggap bahwa nama kajang berasal dari nama burung ini. Versi lain diceritakan oleh Massewali (keturunan Tanah Toa kajang) menceritakan bahwa burung itu datang dari ketinggian langit di tumpangi oleh sesorang yang nanti menjadi amma Toa pertama. Terbang dengan tinggi seperti itu dalam bahasa orang-orang kajang disebut dengan akkoajang, dari sinilah kemudian nama kajang itu diperoleh.
Terlepas dari versi-versi cerita diatas namun yang jelas dalam mitos ini bahwa Amma Toa pertama yang allinrung (amma Toa dianggap tidak mati tapi hanya tidak tampak dalam pandangan mata biasa) menurunkan 5 orang anak dari istrinya yang disebut dengan ando atau anronta. Kelima orang anak itu, masing-masing (1), Galla’ Pantama (2), Galla’ Kajang (3), Galla’Puto (4), Galla’ Lombo (5), dan yang menggantikannya menjadi Ammatoa. Dari kelima orang anaknya tersebut memerintah satu wilayah tertentu diKajang.
Dalam versi lain dikisahkan bahwa asal-usul Ammatoa di Kajang berkaitan erat dengan Kajang bulaeng (atap perahu yang terbuat dari emas) yang dibawa oleh datu manila putri cantik dari kerajaan Luwu. Putri ini dikawinkan oleh Galla’ Puto’ dengan mas kawin (sunrang) berupa tanah, yaitu daerah gallarang Puto’ yang terletak di sebelah Timur Maccini, bagian pesisir Timur Possi’ tana (pusat bumi) Kajang. Makam putri kerajaan Luwu ini masih bisa ditemukan disana. Ammatoa pertama itu disebut Bohe Tomme. Ia kemudian lenyap tanpa bekas (raib) setelah mempunyai keturunan yang disebut tau kentarang. Tau kentarang ini adalah orang yang bercahaya ibarat bulan purnama, karena itu biasanya pemilihan amma Toa menurut Puto Palasa Amma toa saat ini maupun Puto Beceng pemilihan Amma selalau diakaitkan dengan bulan purnama. Dari keturunan tau kentarang inilah muncul satu persatu Ammatoa, diantaranya ialah Bohe ta’bo, Puto’ Sampo ri Pangi, Puto’ Palli ri Tambolo, Soba ri Tambolo, Puto’ Sembang, Puto’ Cacong dan sekarang Puto’ Nyonya yang bermukim dibenteng.
Dalam Mitos lain diceritakan munculnya amma Toa diakitkan dengan kisaah pettung, kisah ini mirip dengan kisah To manurung dibeberapa tempat yang lain di sul-sel. Menurut ceritanya muncullah seorang wanita cantik dari seruas bambu (pettung) yang disebut Batara Daeng ri Langi’ yang dikawini oleh Tamparang Daeng Maloang atau Tau Ala Lembang Lohe. Menurut kisah, Tamparang Daeng Maloang memiliki seorang isteri yang lain bernama Pu’binanga, tetapi mandul. Jadi ia tidak mempunyai anak keturunan. Karena itulah, ia mengawini sang putri yang muncul dari seruas bambutersebut. Dari isteri kedua ini lahirlah keturunan mereka, Yaitu
1) Tau Kale Bojo (bentuk badannya seperti labu). Dari sinilah ranji silsilah Karaneg Lembaga (kini: Lembanna).
2) Tau Sapa Lilana (orang yang lidahnya bercabang) yang menjadi pemula silsilah karaeng Kajang atau Karaeng Ilau di Possi Tana (wilayah Desa Possi Tana sekarang). Keturunan dari Tau Sapa Lilana mewarisi kemampuan menyampaikan pesan-pesan secara lisan dari leluhur mereka yang disebut Pasang ri Kajang.
3) Tau Tentaya Matanna (orang yang bermata juling). Ini merupakan awal silsilah Karaeng Laikang
4) Tau Kadatili Simbolenna (orang yang kecil sanggulnya). Anak yang keempat ini lenyap bersama ibunya[6]
Tokoh-tokoh adat di dalam kawasan meyakini tokoh tau manurung yang turun di Tukku Bassi-Gowa yang kemudian dinobatkan menjadi raja di kerajaan Gowa oleh bate salapang (sembilan wilayah kekuasaan) dibawah pimpinan paccalayya adalah anak keempat dari Tamparang Daeng Maloang yang disebut Tau Kaditili. Keberadaannya ditempat itu berkaitan dengan kisah marahnya perempuan yang berasal dari ruas bambu. Kemarahan itu disebabkan karena suatu ketika Tamparang Daeng Maloang berbincang-bincang dengan isterinya yang bersal dari ruas bambu. Nampaknya Tamparang dg maloang menyesalkan anaknya yang terlahir cacat. Ada yang bermata juling. Ada yang bercabang lidahnya. Ada yang seperti labu. Ada yang kecil sanggulnya. isterinyapun tersinggung, lalu raib bersama-anak yang kecil sanggulnya dan kemudian muncul di Tukku bassi Gowa.
Mitos lain adalah yang berhubungan dengan Sawerigading . Dikisahkan bahwa Batara Guru yang berasal dari kerajaan Luwu, mempunyai anak kembar yang bernama Sawerigading (laki-laki) dan Yabeng ri Botinglangi (perempuan). Karena keduanya lama tidak berjumpa ketika Sawerigading melihat Yabeng ri Botinglangi yang terkenal cantik jelita, ia tertarik dan bermaksud mangawininya. Tetapi hal itu tidak dapat dilaksanakan karena antara keduanya adalah bersaudara, kepada sawerigading ditunjukkan oelh saudaranya bahwa dia mempunyai sepupu yang sanagt mirip dengan dia yang bernam we cudai, Sawerigading bisa mengawini sepupunya dan itu tidak terlarang. Dalam versi cerita ini We cudai yang tiggal di Cina itu ternyata adalah satu tempat yang ada di Kajang yang brenama Ganta disanalah Saerigading dating dan bertemu dengan We Cudai. Iapun kawin dengan sepupu satukalinya bernama We Cudai Daeng ri Sompu itu. Dari sinilah lahirnya kemudian keturunan di kajang yang kemudian menjadi pemimpin yang bergelar galla. Bahkan diyakini pula di tempat yang lain seperti di Gowa, Bone, Luwu, Kajang, Selayar, dan sebagainya silsilah kebangsawanannya berasal dari sini [7]
Anak-anak dari amma Toa inilah seperti dalam cerita diatas yang dikenal dengan lima Gallarrang yaitu gallarrang (galla) Pantama, Galla Anjuru, Galla Kajang, Gallarang Puto dan Galla Lombok. Ini kemudian dikenal dengan Ada Limayya, inilah yang merupakan lembaga pemerintahan adat. Selain itu belakangan juga muncul Ada Tanayya yang terdiri dari Galala Puto, Lompo Ada, Lompo karaeng, sanro kajang, Pua kadaha dan Tau Toa sangkala.
Inilah kemudian yang menjadi pemimpin adat di dalam tanah Toa, yang beda dengan struktur Bugis Makassar pada umumnya. Struktur ini tidaklah menciptakan strata sosial tertentu karena keturunan, ini hanyalah gelar yang ditujukan bagi para pemangku adat. Maka dalam kehidupan sehari-hari masayarakat adat ini tidak mengenal istilah karaeng dan ata sebagaimana yang ada diluar. Persoalan orang manjadi rendah status derajatnya disebabkan karena biasanya mereka melakukan pelanggaran tertentu. Dalam pergaulan sehari-hari masyrakat dalam kawasan adat sendiri dikenal hanya mengenal dua sapaan, untuk orang dewasa yaitu Puto untuk laki-laki dan jaja untuk perempuan.
Kepercayaan Masyarakat
1. Percaya kepada Tau Rie A’ra’na
Percaya kepada To rie Ara’na adalah keyakinan yang paling mendasar pada komunitas tanah toa kajang. Tau Rie A’ra’na merupakan penamaan terhadap zat yang maha kuasa. Ini sama dengan kepercayaan pada To Kammayya Kananna dalam kepercayaan patuntung. Istilah Tau ri Akrana sendiri sebenranya juga dikenal dalam agama patuntung[8] , jadi sebenarnya istilah-Istilah ini suadah ada sebelum datangnya islam. Hanya saja dalam konteks dialognya saat ini dengan agama resmi, To Rie akra’na disamakan dengan nama-nama dalam islam seperti Allah atau Rabb. Hanya saja menurut mereka, Tuhan tidak disebut langsung dengan nama allah karena mereka bersikap sangat hati-hati, tidak mau meyebut nama allah itu secara sembarangan.
Komunitas Adat Kajang meyakini bahwa Tau Rie A’ra’na adalah pencipta segala sesuatu, Maha Kekal, Maha Mengetahui, Maha Perkasa dan Maha Kuasa. Ia bertahta di atas kehendak-Nya (ammantang ripangga’ rakkanna). Seperti dikemukakan tadi keyakianan tentang To rie akra’na ini tidak digambarkan secara gambling, seperti termuat dalam Pasang:
“Anre nisse rie’na anre’na Tau Rie A’ra’na nakippala doang.
Padato’ji pole natarimana pangaroanta iya toje’na”[9]
Artinya:
Kita tidak tahu (esensi) keberadan-Nya, Ia maha berkehendak, dan (karena itu) kita mohon perlindungan dan pertolongan (do’a) kepada-Nya. Demikian juga kita tidak tahu diterima atau ditolaknya permohonan kita.
2. Percaya kepada Pasanga ri Kajang
Pasanga ri Kajang adalah pesan-pesan suci yang berasal dari Tau Rie A’ra’na yang diturunkan kepada manusia pertama (Ammatoa) dan diwariskan secara lisan dari generasi ke generasi secara berkesinambungan hingga saat ini. Pasanga tersebut wajib ditaati, dipatuhi dan dilaksanakan oleh masyarakat Ammatoa, dan akan menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan bila tidak dilaksanakan. Sebagaimana diutarakan dalam pasang
“Punna surukki, bebbeki
Punna nilingkai pesokki.”[10]
Artinya:
Kalau kita jongkok, gugur rambut (gundul) dan tidak tumbuh lagi. Kalau dilangkahi, kita lumpuh.
Isi Pasanga diatas menunjukkan bagaimana seharusnya masyarakat Adat Tanah toa memposisikan Pasanga ri kajang, dimana mereka harus memahaminya, mematuhinya dan melaksanakannya dalam kehidupan sehai-hari. Bagi mereka yang tidak mentaati pasanga, akan mendapatkan malapetaka dan dikutuk oleh To Rie Akrana.
Tradisi lisan yang disebut Pasanga ri Kajang ini memuat nilai-nilai yang sangat luas; mengenai hubungan dengan Tuhan, hubungan manusia dengan manusia, hubungan manusia dengan alam, hubungan anggota masyarakat dengan pemerintah, hukum-hukum atau aturan-aturan masyarakat, dan segala dimensi kehidupan yang dijalani oleh umat manusia.
Selain Pasang yang materinya telah direkam oleh K.M.A. M. Usop sebanyak 83, juga ada istilah kelong (nyanyian) dan rupama (dongeng). Materi Kelong ini bisa dibagi empat;
kelong Bassing, isinya mengekspresikan rasa sedih, dan biasanya dilagukan pada waktu acara ritual kematia, contoh bait dari Kelong basing ini adalah seperti dibawa ini:
Tala Jammengi matea, mallikanaji rianja ee….malingkanaji rianja
Karianja bede bori ri suruga
Pammempoan ri suruga ee...pamempoang ri suruga
(kematian bukalah sesuatu yang pahit sebab kita hanya berangkat kealam berikutnya. Alam dimana terdapat syurga. Tempat tinggal di surga tempat tinggal kita disyurga)
kelong osong atau jaga, isinya mengungkapkan rasa gembira, sehingga biasanya dilantunkan pada acara pernikahan atau acara pesta lain seperti saat Akkattere dan akkalomba, dibawah ini adalah salah satu contoh dari kelong jaga tersebut :
Pajjaga pada pajjaga memang ri bola bannia. Ee...bannia kua memang bela pajjaga
(Pesta pesta yang dilakukan pada malam hari ee....memang nanti pada malam hari pesta dilakukan)
Kelong palele pare, biasanya didendangkan oleh petani yang sedang bekerja di sawah dan di ladang, seprti misalnya :
Bulaeng pale parea
Intang pale tukkattoa
Pare Baji Ni lamung
Ia baji nipatimbo
Makkio bija mappasse’re pammanakkang
(Emaslah padi itu, intang yang memetiknya, padi bagus ditanam bagus pula ditumbuhkan, mendatangkan keluarga mengumpulkan sanak famili)
Yang terakhir sendiri adalah kelong dappu-dappu yang berisi tanya jawab antara muda-mudi. Sementara rupama (dongeng) itu adalah cerita-cerita yang disampaikan oleh orang tua kepada anak-anaknya sebagai pengantar tidur[11].
3.Percaya kepada allo riboko (hari kemudian)
Kepercayaan terhadap allo ri bokko berkaitan erat dengan keyakinan terhadap keyaklinan terhadap To rie Akra’na. To rie Akranalah yang dianggap akan mebalas segala perbuatan manusia pada Allo ri boko. Orang-orang yang menuju hari kemudian atau allo riboko, sesungguhnya adalah proses kembali kepada To Rie Akra’na, seperti diuraokan dalam pasanga:
“A’lampami nai’ ri Tumappare’na
Amminro ri assala’na
Amminro ri sipa’-sipa’na.”
Artinya:
(seorang yang meninggal) lepas naik ke Sang Pencipta, kembali ke asalnya, kembali ke sifat-sifatnya.
Juga Dalam bait pasang yang lain dijelaskan:
“Anne linoa pammari-marianji
Allo riboko pammantangang karakkang
Artinya:
Dunia ini hanya tempat istirahat, sedangkan hari kemudian tempat abadi.
Karena itu untuk selamat di kehidupan allo ri boko komunitas tanah Toa harus berbuat baik dalam kehidupan, pasrah dan berserah diri kepada To rie akrana (ammnyu-manyu mange To Rie A’ra’na). Berserah diri tersebut tercermin dalam kehidupan manusia yaitu memiliki sifat lambusu (jujur), appesona (ikhlas), dan sabbara (sabar), juga tidak melakukan perbuatan tercela seperti termaktub dalam pasang:
“Anre’ na hilu-hilu
Anre’ na pakkira-kira
Anre’ na pasikodi-kodi
Anre’ na napasikua ri paranna rupa tau.”
Artinya:
Tidak iri atau dengki, tidak berburuk sangka, tidak menjelek-jelekkan orang lain, dan tidak mengadu domba.
Karena itulah bagi masyarakat Kajang dalam kehidupan beragama ini yang paling subtansi adalah bagaimana mampu melaksanakan ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari, dalam berhubungan dengan sesama manusia, alam semesta dan lainnya. Seperti disebutkan dalam pasanga :
:
“Pakabajiki ateka’nu Iyamintu agama
Naiyantu sembayanga, jama-amanjintu
Pakabajiki gau’nu Sara-sara’na kananu
Nanuliliyang labatabaya.”
Artinya:
Perbaikilah hatimu, karena itulah agama. Sedangkan sembahyang hanya ‘pekerjaan’. Perbaiki tingkah lakumu, sopan santun dan tutur katamu, agar kamu terhindar dari celaan.
Ini lebih diperjelas lagi dalam Pasanga yang lain “jenne telluka sempajang temmatappu”(wudhu yang tidak pernah batal dan sembahyang yang tidak pernah putus). Tanpa mematuhi ajaran pasang seperti diuraikan di atas maka seorang tidak akan mendapatkan keselamatan di dunia dan di hari kemudian (anre’ nasalama ri lino, tulusu’ mange ri allo ribokona Tau Rie A’ra’na).
4. Percaya Kepada Nasib.
Kepercayaan terhadap nasib atau takdir inilah yang membuat masyarakat kajang sanggup hidup dalam kesahajaannya. Sebab bagi komunitas tanah Toa hidup kamase-mase adalah kehidupan yang sudah menjadi garis nasib mereka, ditegaskan dalam pasang:
“Dodongi kamase-mase
Hujui rikalenna
Anre’ nakulle kaite-ite
Anre’ nakulle kalumpa-lumpa. Anre’ nakulle katoli-toli
Kasugihanga anre’ nakulle antama ri butta kamase-mase”
Artinya:
Meski kita serba susah dalam kesederhanaan, tetap berpegang pada prinsip sendiri. Tidak boleh sembarang melihat. Tidak boleh sembarang melompat. Tidak boleh sembarang mendengar. Kekayaan tidak akan pernah masuk di kawasan adat kamase-mase.
Keempat keyakinan masyarakat Tanah Toa diatas sudah dianggap sebagai bagian yang tak terpisahkan dengan kehidupan mereka. Keyakinan-keyakinan itu dianggap sebagai sesuatu yang hadir dan mengada dengan sendirinya dari Yang Maha Kuasa.
Kita tentu tidak akan memperdebatkan keyakinan diatas, apakah betul sesuatu yang melangit atau tidak. Sebab disadari atau tidak semua hal termasuk keyakinan adalah sesuatu yang berhubungan dengan konstruk, yaitu satu bangunan yang dibentuk dan diolah oleh tangan dan pemikiran manusia.
Namun tentu saja persoalan ini membuat kita harus melihat lebih jeli keyakiann-keyakinan tersebut, apalagi dalam konteks kekinian untuk kepentingan tertentu bisa saja diolah ulang, ditapsir dan diplesetkan. Seperti misalnya persoalan keyakinan pada nasib, sehingga membuat orang Tanah toa dalam kehidupannya pasrah dan menerima, Ini dimanfaatkan oleh negara, pengusaha dan kekeuatan lain utnuk memaksakan keinginan. Menjustifikasi sebagai takdir terhadap apa yang mereka lakukan, sekalipun itu menyengsarakan orang tanah toa.
B.Study Literatur
Tentu saja yang paling banyak merumuskan keberadaan komunitas Tanah Toa ini adalah kalangan akademisi, peneliti dan antropolog. Meskipun sebenarnya yang menulis tentang komunitas tanah Toa kajang ini belumlah sebanyak yang lainnya, misalnya komunitas dayak atau berbagai komunitas lain. Setahu saya tulisan tentang kajang yang dilakukan oleh orang-orang barat baru antara lain Penard dalam “De Patoengtoeng dan Rossler dalam Striving for Modesty, dua penulis ini sendiri tidaklah menfokuskan penelitiannya pada komunitas Tanah Toa Kajang, mereka hanya mengambil komunitas ini sebagai salah satu yang menjadi penganut agama Patuntung. Keyakinan Patuntung ini sendiri dianggap sebagai keyakinan kuno sebagaian masyarakat sul-sel yang berdiam disebelah selatan makassar, antara lain Gowa, Takalar, bantaeng, Bulukumba dan sebagian Sinjai. i.
Kedua buku diatas saya tidak miliki, saya hanya mendapatkan penjelasan sepintas mengenai dua buku tersebut dari buku lain yaitu Ilalang Arenna tulisan Chris de Jong.
A.A. Cence; The Patuntung in Mountain of Kajang
Salah satu orang barat yang menulis cukup serius tentang Komunitas kajang adalah A.A. Cence dalam karyanya The Patungtung in Mountain Of Kajang. Tulisan ini memang difokuskan pada kepercayaan Patuntung sebagai kepercayaan Orang-orang Tanah Toa kajang. Tulisan ini sendiri menurut Mattulada adalah laporan perjalanan seorang Belanda yaitu A. A. Cence pada tahun 1931, judul aslinya adalah De Patoentoengs in Het van Kajang. Laporan aslinya sekarng ini tersimpan dalam perpustakaan Belanda di Leiden yaitu perpustakaan KITLV dengan nomor daftar Cat.C.170.1931[12].
Jadi diyakini bahwa sebelum datangnya Islam masyarakat Tanah Toa Kajang sudah memilki satu keyakinan yang disebut dengan Patuntung. Dalam Patuntung ini diyakini adanya Yang maha Kuasa yang bersemayam di tempat yang tinggi. Nama-nama yang Maha Kuasa ini disesuaikan dengan bahasa dan keyakinan setempat, misalnya To Rie Akrana (Yang Maha Berkehendak) atau To Kammayya Kananna (Yang Terwujud Firman-Nya). Dijelaskan bahwa ,penganut Patuntung karena meyakini adanya yang maha Kuasa di tempat yang tinggi, maka ritualnya biasanya selalu dilaksanakan ditempat yang btuinggi misalnya gunung ataupun bukit.
A.A. Cence juga mencopba melukiskan, bagaimana Islam pertama kalinya masuk ke tanah Toa Kajang. Cukup menarik lukisan Islamisasi di daerah ini, karena disitu digambarkan tarik menarik antara ajaran Islam yang datang dengan ajaran setempat yang bersumber dari pasanga ri Kajang. Salah satu kutipan A.A. cence menggambarkan bagaimana ketika itu Amma Toa menerima Islam dengan beberapa persyaratan.
Amma Toa Bohe Sallang (kato) setelah menerima Islam lalu menunjuk Tosara menjadi Qadhi di kajang samapai darah Bulo-Bulo. Tonasiba ditunjuk jadi qadi di lembang dan guru Tomi ditunjuk menjadi guru Toa di kajang lembang. Setelah memberikan tugas-tugas itu Amma Toa lalu memeberikan wejangannya: “wahai Toasara, Tonasiba dan Tomi’di jika engkau diperintahkan oleh Bulo-Bulo dan Tiro (maksudnya rajanya) maka ikutilah. Sekarang anda keluar dari daerah Tukamse-masea. Hanaya ada dua hal yang bisa dikembangkan didaerah ini yaitu kalatting (bacaan orang meninggal) dan sura nikah (surat nikah; mengurus pernikahan), juga kalian bisa menerangkan masaalah zikir. Segala sesuatu yang saya perintahkan kepada anda, anda haus turuti. Bila saya perintahkan anda ke barat anda harus kebarat, kalau saya perintahkan ke timur anda harus ketimur, bila tidak diindahkan apa yang menjadi perintah saya, maka saya akan tinggalkan engkau beserta seluruh masyarakat tanah Toa.’.
A.A. cence menggambarkan bagaimana Islam diterima di Tanah Toa tapi tidak sepenuhnya. Bahkan dalam berbagai hal Amma Toa tetap harus menjadi rujukan dan pemimpin spritual dan bukannya para ulama-ulama yang menyebarkan Islam di daerah ini.
Sayangnya penyampaian-penyampaian tentang Islamisasi di daerah tanah Toa ini A.a. cence lebih banyak merujuk kepada sejarah-sejarah remi daripada cerita-cerita yang berkembang di masyarakat. Sehingga Islam yang diangkat oleh A.A. Cence adalah islam yang berasal dari luar yang masuk ke tnah Toa, sesuatu yang baru yang pada akhirnya harus dipeluk oleh masyarakat yang ada di daerah ini. Gambaran resitensi masyarakat terhadap proses Islamisasi dari sejarah yang seperti ini kurang tercermin dengan kuat.
Lain halnya bila yang disorot adalah cerita-cerita Islamisasi di daerah ini yang justru berasalah dari daerah ini sendiri dan bukan berasal dari luar. Disitu pengungkapan perlawanan masyarakat Tanah Toa secara simbolis nampak sekali. Tentu saja cerita-cerita semacam ini tidak akan didapat dalam sejarah-sejarah resmi, namun lebih banyak kita temukan dalam masyarakat di antara cerita-cerita dan parupama yang sering mereka lontarkan.
Karena fokus tulisan A.A. Cence juga lebih banyak kepada kepercayaan dan masa lalu masyarakat Tanah Toa, sehingga konteks Tanah toa sekarang yang sudah semakin beragam termasuk dalam kawasan ilalang embayya sekalipun tidak terekam dengan baik. Sekarang ini sulit menunjukkan hal yang betul-betul khas dalam masyarakat Tanah Toa. Menurut penjelasan Tamrin di dalam kawasan adat orang beragam, ada yang masih tetap setia pada Pasanga, ada yang sudah meninggalkannya dan beralih ke Islam, dan ada juga yang mencampurkan kedua-duanya.[13] Persis seperti kata Edward Said semua kebudayaan terkait satu sama lain, tidak ada yang tunggal dan murni, semuanya hybrid tidak monolitik dan tak ada yang benar-benar khas.[14]
Dr. Chris G.F. de Jong; Ilalang Arenna
Peneliti barat yang lain yang menulis tentang tanah Toa Kajang adalah Chris Jong dalam bukunya Ilalang Arenna (dalam namanya). Cuma persoalan Tanah Toa kajang ini hanya disinggung sepintas dalam kaitannya dengan persoalan zending di sul-sel. Dalam tulisan itu Chris Jong melihat kepercayaan di tanah Toa sebagai kepercayaan Patuntung.
Jong misalnya menuliskan :
Ummat Amma toa adalah penganut dari sebuah keyakinan kuno yang disebut dengan patuntung......pusat spritual yang terpenting dari Amma toa berada didesa kajang, kabuopaten Bulukumba yang terletak pada pantai utara semananjung sul-sel. Pada zaman dahulu kala keyakinan kuno ini tersebar disebagaian besar sul-sel, tetapi akibat tekanan pihak islam abad ke 19, maka wilayah penyebarannaya sangat terbatas dan jumlah penganutnya semakin berkurang. Akan tetapi kepercayaan ini belum lenyap sama sekali, selain di kajang masih terdapat di sebagaian besar Gowa Timur dan selatan, dalam wilayah luas sekiatar pegunungan Lompobattang dan Bawakaraeng.[15]
Karena tulisan ini berkaitan dengan persoalan zending di sul-sel maka komunitas-komunitas lokal seperti Tanah toa kajang ini dilihat sebagai salah satu hambatan dalam penyebaran agama kristen. Disisni digambarakan bagaimana proses zending yang harus bisa mengkristenkan komunitas lokal seperti ini tampa harus dilihat barat tetapi sekaligus tidak terjebak untuk mencampur adukkan antara ajaran kristen dan ajaran lokal.
Misalnya dalam buku itu dikatakan bahwa salah satu tantangan bagi zending adalah bagaimana cara mendekatai kepercayaan Kuno itu dengan kepercayaan terhadap kristus tampa harus menjadi korban seperti Islam kolot, yang telah bercampur aduk dengan ajaran lokal tersebut.
Meskipun demikian disini juga diangkat bagaimana keberhasilan salah seorang pendeta Pribumi yang bernama Syamsuddin Denzo yang berhasil mengabarkan tentang kristen tampa harus dilihat sebagai barat. Tentu saja konsekwensinya harus melebur masuk nilai-nilai budaya seperti yang terdapat di tanah toa Kajang ini. Meskipun menurut Jong, oleh beberapa kalangan kristen ini dianggap berbahaya karena kristen sudah menjadi kabur dan bercampur dengan adat istiadat.[16]
Selain itu, komunitas Tanah Toa kajang ini dalam beberapa hal dilihatnya telah dipengaruhi oleh islam, sehingga menjadi tantangan berikutnya dalam proses zending untuk masyarakat-masyarakat semacam ini.
Tentu saja tulisan Jong yang singkat mengenai komunitas Tanah Toa kajang ini, tidaklah menggambarkan komunitas ini dalam pergulatannya dengan berbagai hal-hal baru, misalnya Islam ataupun modernitas. Tulisan ini hanya sedikit mengupas tentang kepercayaan komunitas Tanah Toa Kajang, sebagai satu keyakinan atau kepercayaan lokal yang ada di sul-sel.
Yusuf Akib; Potret Manusia Kajang
Tulisan Akib ini senbenarnya adalah skripsi pada tahun 80-an yang belum lama ini diterbitkan menjadi satu buku dengan judul Potret Manusia Kajang. Dari judulnya sebenarnya sudah tercium apa yang mau disampaikan oleh Akib dalam tulisannya tersebut. Namun sebelum kita melihat lebih jauh, saya mau cerita sedikit tentang buku ini.
Ketika saya ke lokasi penelitian yaitu Tanah Toa, buku Potret Manusia kajang saya bawa serta, disamping tipis dan agak kecil sehingga praktis dibawa-bawa juga buku itu saya mau berikan kepada teman saya yang ada di Kajang. Setelah sampai disana, buku itu kemudian saya perlihatakan kepada beberapa teman di Komunitas Tanah Toa Kajang diantaranya Tamrin dan anak perempuan dari Amma Toa. Ketika mereka melihat buku itu, belum membaca isinya baru melihat judul disampulnya, tiba-tiba ada yang nyeletuk. “kok potret manusia kajang, kata-kata itu seakan-akan dekat dengan manusia purba dan manusia primitif. Saya agak kaget juga mendengar komentar itu. Lalu Tamrin salah seorang teman dari komunitas tanah Toa ini ikut mengomentari. “Ya judulnya masa begitu, mestinya Potret masyarakat tanah Toa atau Potret Komunitas Tanah Toa, kita ini dilihat seakan-akan bangsa asing yang lain dari yang lain.”
Saya lalu menyarangkan membaca isi buku itu, buku itu pertama-tama dibaca oleh Tamrin. Besoknya dia berkomentar tentang buku itu. “Waduh buku ini melihat komunitas Tanah Toa Kajang seperti masyarakat yang masih terbelakang yang perlu dibangun dan dididik”. Saya hanya diam tidak mengomentari. “Buku ini perlu dulu dibaca masyarakat sini pak Ijhal ya”. Lanjut Tamrin kemudian, saya mengiyakan. Buku itu kemudian diambil oleh putri Amma Toa.
Inilah gambaran sepintas`tentang buku itu yang ternyata oleh beberapa orang dari komunitas Tanah Toa telah memberikan apresiasinya.
Buku ini memang menggambarkan komunitas Tanah Toa dan beberapa kearifan yang dimiliki oelh masyarakat yang ada dikomunitas ini. Buku ini juga menggambarkan Pasanga dan prinsip kamase-masea yang ada dilam komunitas tanah Toa Kajang. Meskipun demikian buku ini lebih banyak menggambarkjan secara fisik komunitas tanah Toa ini, misalnya tentang pakaiannya yang hitam-hitam dan rumahnya.
Ketika berkaitan dengan beberapa kearifan dan prinsip hidup dalam komunitas tanah Toa, misalnya hidup kamase-mase dan tidak perlu sekolah maka dia menyimpulkan bahwa ini adalah salah satu bentuk ketertinggalan dan saat ini pemerintah telah menggalakkan proyek pembangunan untuk hal itu.
Termasuk ketika dibicarakan tentang keyakinan dalam komunitas Tanah Toa, menurut buku ini keyakinan itu adalah bentuk dari pemahaman islam yang belum sempurna. Karena itu buku ini lalu memberi tafsiran bahwa yang dimaksudkan dengan Patuntung adalah upaya untuk mencari dan memepelkajari islam agar bisa lebih memahamai dan bisa terhindar dari keslah pahaman seperti sekarang ini.
Tentu saja latar belakang Akib menulis buku ini ikut mempengaruhi penulisannya, saat itu memang lagi marak pembangunanisasi termasuk kedaerah-daerah yang dianggap masih terbelakang dan tertinggal. Karena itu tulisan akib saat itu muncul dalam kerangka mendukung proyek pembangunanisasi dari pemerintah Orde Baru.
Dra Sitti aminah P.H.; Nilai-Nilai Luhur Budaya spritual Masyarakat Amma Toa Kajang.
Buku Dra Aminah dengan judul Nilai-nilai Budaya Spritual Masyarakat Amma Toa Kajang adalah buku proyek dari PEMDA Sul-sel. Buku ini sendiri diterbitkan oleh Kanwil DEPDIKBUD Propensi Sul-Sel tahun 1989. Buku ini muncul dalam kaitannya dengan SK Menteri Pendidikan saat itu Nomor : 0304/0/1984 tentang tugas Bidang sejarah dan Nilai tradisional adalah mencatat, meneliti, dan mendokumentasikan hasil kehgiatan kesejarahan dan Nilai tradisional termasuk penghayatan kepercayaan terhadap tuhan Yang Maha esa.
Buku ini adalah salah satu buku yang beruipaya mendokumentasikan apa yang dianggap pemerintah saat itu sebagai aliran kepercayaan. Yaitu Tanah Toa Kajang. Buku ini sendiri lebih banyak mendeskripsikan tentang nilai-nilai dan ajaran yang ada dikomunitas Tanah Toa baik dalam persoalan hubungan dengan Pencipta, Manusia dan juga hubungan dengan alam.
Selain itu buku ini juga mencoba mendeskripsikan tentang masuknya Islam dan kepercayaan patuntung di Tanah Toa Kajang. Yang cukup menarik dalam buku ini adalah ulasannya tentang patuntung. Buku ini mengangkat patuntung sebagai keyakinan masyarakat maskipun masyarakat sendiri tidak mau mengakuinya sebagai agama. Karena itu dalam buku ini disimpulkan bahwa memang telah terjadi percampuran antara ajaran patuntung yang berlandaskan pada pasanga ri kajang dengan ajaran islam. Sehingga kepercayaan masyarakat disana adalah percampuran antara keduanya.
Meskipun demikina buku ini jelas muncul dalam kerangka mendukung pembangunan kebudayaan nasional. Seperti diungkapkannya pada pendahuluan :
dalam rangka tercapainya pembangunan nasional yaitu pembangunan manuisa seutuhnya dan pembangunan Indosnesia seluruhnya yang berdasarkan pancasila, maka nilai-nilai yang tersebar di daerah-daerah diseluruh pelosok tanah air merupakan pra kondisi yang menentukan keberhasilan pembangunan
Karena itu dalam mendeskripsikan nilai-nilai yang ada di kajang buku ini mencoba memilah yang mana nilai-nilai yang dianggap bisa mendukung dari pembangunan nasional yang dinginkan oleh Orde baru saat itu.
Dr. Samiang Katu; Pasanga ri Kajang; Akomodasi Islam dengan Budaya Lokal di Sul-sel.
Dalam satu tulisan di buku itu diungkapkan:
Masyarakat pendukung Amma Towa kajang yang mengaku beragama islam tetapi tidak berpegang teguh terhadap al-qur’an dan hadis.[17]
Dalam halaman lain Samiang Katu menuliskan :
Setiap kebudayaan mengandung sejumlah nilai. Nilai budaya menurut sifatnya dapat dibedakan atas nilai utama dan nilai yang tidak utama. Nilai-nilai yang terdapat dalam Pasang ri Kajang yang menjadi bahasan utama dalam kajian ini, hanya dibatasi pada nilai-nilai yang menurut hemat kami, termasuk nilai yang utama, yang disebut oleh masayarakat Amma Towa sebagai Appa Pagentunna Tanayya na Patungku,na Langi’ (empat hal tempat bergantungnya tanah dan penopang langit).[18]
Buku yang merupakan desertasi dari Samiang ini mencoba memaparkan tentang . berapa hal dari komunitas Tanah Toa Kajang. Dia mulai menggambarkan bagaimana masuknya Islam dan menuturkan beberapa pasanga ri Kajang. Fokus tulisan ini sebenarnya adalah soal akomodasi Islam terhadap budaya lokal. Tetapi cara melihat komunitas lokalnya adalah dari kacamata Islam, sehinggga yang dimaksudkan dengan akomodasi Islam terhadap nilai-nailai yang ada di Kajang adalah niali-nilai yang sesuai dengan Islam. Karena itu lebih awal dia memilah dulu yang mana nilai yang ada di Tanah Toa di kajang yang sesuai dengan Islam dan yang mana yang tidak. Yang tidak sesuai dengan nilai Islam bagi samiang harus diperbaharui dan di Islamisasi.
C. Permasalahan/Persoalan yang di Kaji
Dari sekian tulisan tentang Tanah Toa Kajang tadi, ulasan tentang Islam hanya di fokuskan pada sejarah masuknya. Disana tidak digambarkan bagimana benturan-benturan yang terjadi ketika Islam itu masuk. Apa kemudian yang terjadi dengan Kepatuntungan orang Kajang sekaligus apa yang terjadi dengan KeIslaman itu sendiri ketika sampai di Tanah Toa belum dijelaskan.
Dalam tulisan ini fokus permasalah yang akan diangkat adalah soal problem Keber-Islam-an dan Kepantuntungan, bagaimana konstruksi itu berlangsung dalam masayarakat Kajang. Disini akan coba diuraikan Bagaimana relasi ini berlangsung antara kepatuntungan dan ke-Islaman-an. Bagaimana benturan dan negosiasi yang terjadi antara keduanya. Dan terakhir bagaimana problem Formalisasi Syariat dalam kaitannya dengan hak-hak komunitas Tanah Toa Kajang untuk menjalankan keIslamannya menurut keyakinan mereka.
Selain itu, persoalan lain yang akan diangkat adalah persoalan Pencacahan, Sekolah, tanah, konstruk tentang identitas orang Tanah Toa Kajang dan administrasi wilayah. Hanya persoalan yang terakhir ini tidak dianalisa seperti persoalan KeIslaman orang-orang Tanah Toa Kajang.
D. Metode Penelitian
Sebelum saya bicara sedikit mengenai komunitas Tanah Toa kajang ini, mungkin lebih baik saya awali perjumpaan saya dengan komunitas ini. Dari sini kemudian saya akan menguraikan bagaimana cara-cara saya mencari data di lapangan.
Pertama-tama saya harus akui bahwa komuniutas Tanah Toa Kajang bukanlah sesuatu yang asing bagi saya. Saya tinggal di kabupaten Bulukumba dimana komunitas ini berada. Tempat tinggal saya jaraknya tidaklah terlalu jauh dari lokasi Tanah Toa. Bahkan dari cerita-cerita yang saya dengar dari kakek saya, moyang di desa yang kami tinggali sebenranya berasal dari Kajang. Bahkan kakek saya sendiri adalah keturunan dari daerah Kajang ini dan sampai sekarang hubungan kekeluargaan itu tetap berlangsung dan terus menerus dipintal lewat perkawinan.
Sejak saya kecil saya telah banyak mendengar cerita tentang tanah Toa ini. Tentang kepercayaannya, tentang tradisinya dan juga tentang dotinya (ilmu hitam). Sejak itupulalah sebenarnya saya sudah menyerap beberapa data tentang komunitas Tanah Toa ini.
Namun perjumpaan saya secara intens dengan komunitas ini terjadi setelah saya berkecimpun didunia NGO. Sejak saat itu saya sering datang ke Tanah Toa. Apalagi ketika terjadi peristiwa LONSUM, dimana beberapa masyarakat Tanah Toa ikut terlibat dan menjadi korban dalam peristiwa ini saya semakin sering terlibat dan datang ke komunitas Tanah Toa Kajang.
Ini menjadi gambaran awal bahwa penelitian saya di Tanah Toa Kajang tidaklah murni penelitian seperti yang sering kita pahami. Namun disitu juga merupakan bagian dari pendampingan ( kalau boleh dikatakan pendampingan) saya dengan komunitas Tanah Toa Kajang. Karena posisi saya seperti itu, penelitian yang saya lakukan di Tanah Toa Kajang ini tidaklah formal. Saya sendiri tidak merasa melakukan penelitian seperti yang dibayangkan banyak orang, yang harus mencari orang untuk wawancara dengan rapi, bikin FGD, dan seterusnya. Posisi saya diantara mereka lebih banyak sebagai mitra dari NGO dan sebagai keluarga. Terkadang saya ikut kekebun bermalam, karena kebetulan saat itu lagi masa pakkamikang (menjaga kebun jagung dari kera dan babi). Disana kemudian kami ngobrol sampai larut malam. Juga terkadang saya ikut kepesta atau acara-acara adat disana kemudian ikut terlibat dalam forum-forum dadakan yang biasanya muncul dalam acara-acara tersebut. Ngobrol kadang diselingi dengan minum tuak khas Kajang. Dengan kondisi seperti ini saya tidak harus dress down dan harus membangun dulu pertemanan yang dilandasi pemahaman empati dan Unconditional Positive regard[19]
Juga dengan kondisi seperti ini saya tidak mengikuti secara runtut metodogi etnografi sebagaimana yang lazim. Misalnya harus Menetukan terlebih dahulu informan, melakukan wawancara terhadap informan, membuat catatan etnografis. Mengajukan pertanyaan deskriftif, Melakukan Analisis wawancara etnografis, membuat analisis domain, mengajukan pertanyaan struktural, membuat analisis taksonomik. Mengajukan pertanyaan kontras, membuat analisis komponen, menentukan tema-tema budaya dan akhirnya menulis etnografi.[20].
Hanya pada persoalan wawancara mendalam yang biasanya menjadi patokan etnografi yang mungkin banyak yang saya lakukan, meskipun modelnya tidak formal dan lebih banyak seperti ngobrol, selain itu saya juga konsisten membuat catatan etnografis baik yang saya dapatkan lewat ngobrol maupun yang lewat pengamatan. Pengamatan ini sendiri tidak harus melalui seleksi setting, tapi langsung menfokuskan pengamatan dan seleksi pengamatan..
Tentu saja meskipun model saya dengan masyarakat disana lebih banyak ngobrol namun saya tetap mengingat panduan dan arah dari penelitian yang saya lakukan. Sehingga dalam ngobrol itu saya banyak meyisipkan hal-hal yang penting berkaitan dengan penelitian. Dalam konteks seperti itu biasanya saya memposisikan masyarakat yang saya sedang temani ngobrol sebagi teman diskusi, bukan sebagai orang yang darinya sedang saya gali data. Misalnya saya mengangkkat satu persoalan katakanlah tentang Perda-Perda Syariat islam yang sedang marak di Bulukumba, persoalan itu menjadi objek diskusi saya dengan masyarakat yang sedang saya temani ngobrol. Dalam berdiskusi saya berusaha untuk tidak seperti mengevaluasi terhadap tindakan atau pernyataan lawan bicara, termasuk berusaha untuk tidak bersikap atau mengeluarkan komentar yang dapat menghambat atau mencegah ekspresi perasaan dan ide-ide lawan bicara. Singkatnya saya berusaha berkomunikasi dengan sikap no reservation.
Apa yang saya lakukan di komunitas Tanah Toa Kajang sebagi subjek primer dari penelitian ini, agak berbeda dengan pencarian data saya pada informan sekunder, misalnya kepada Insatansi Pemerintah, Peneliti dan Budayawan. Pada mereka wawancara saya memang lebih terstruktur disamping tentunya saya menggunakan alat-alat wawancara. Saya harus menentukan pertyanyaan-petrtanyaan apa yang penting yang saya harus ajukan berkaitan dengan penelitian saya. Ini tentu saja berkaitan dengan waktu yang sangat singkat untuk wawancara dengan mereka.
Pada pengumpulan data ini meskipun mungkin tidak sepenuhnya mengikuti metode etnografi atau penelitian kwalitatif, tetapi ada beberapa hal yang saya lakukan diantaranya:
- Triangulasi : Pengumpulan data lewat diskusi, dialog atau ngobrol, pengamatan dan dokumentasi)
- Member checks: melakukan cek interpreasi tentang data itu diperoleh darimana
- Peer examination, ini tidak banyak dilakukan, saya hanya meminta komentar satu orang budayawan dan NGO local tentang data dan temuan penelitian saya.
- Prolinged engagement, berkaitan dengan pengalaman pribadi dan lamanya tinggal dilapangan, meskipun waktu penelitian hanya satu bulan tetapi saya sebelumnya sudah banyak berinteraksi.
Disamping itu, karena di tanah Toa kajang ini banyak sekali cerita-cerita rakyat, dongeng, mitos-mitos dan sangat kuat tradisi lisannya maka Analisa Folklor juga tidak bisa diabaikan dalam melihat berbagai data-data tersebut.
2. Ragam Masalah di Komunitas Tanah Toa Kajang
a.Kategorisasi Angka-angka Terhadap Komunitas Tanah Toa Kajang
Sejak dikenalnya pemerintahan desa di daerah ini proses pendataan penduduk secara statistik (pencacahan) mulai dilakukan di Tanah Toa Kajang. Ini seiring dengan program Bersih Desa yang dilakukan pemerintahan Orde Baru saat itu. Pencacahan ini termasuk dilakukan terhadap masyarakat yang terdapat dalam kawasan ilalang embayya. Meskipun pencacahan terhadap masyarakat dalam kawasan adat ini secara umum dimasukkan sebagai bagian dari Tanah Toa sebagai desa.
Pencacahan ini telah menetapkan secara angka-angka masyarakat Tanah Toa Kajang. Termasuk disini komunitas yang ada dalam ilalang embayya. Pencacahan ini berkaitan dengan agama, pendidikan, tanah dan statistik lainnya. Pencacahan dalam hal agama, sekolah dan tanah (hutan) ini dalam beberapa hal telah menimbulkan problem mendasar bagi komunitas Tanah Toa khususnya dalam kawasan adat.
Dalam soal agama misalnya, masyarakat Tanah Toa dalam data statistik, 100 % dianggap sebagai Islam. Termasuk disini masyarakat dalam kawasan ilalang embayyapun semuanya dianggap sebagai orang Islam. Tentu saja dalam pencacahan ini tidak bisa menjelaskan seperti apa misalnya keberislaman masyarakat dalam kawasan adat dan kenapa keberislaman mereka berbeda dengan yang diluar kawasan adat. Pencacahan ini hanya mendefenisikan masyarakat Tanah Toa sebagai islam.
Implikasinya kemudian, karena dalam asumsi negara masyarakat Tanah Toa secara keseluruhan adalah agama Islam maka wajib bagi mereka untuk melaksanakan ajaran Islam, seperti yang dilakukan masyarkat muslim lainnya. Namun karena kenyataan yang ditemukan di komunitas Tanah Toa khusunya di Ilalang embayya berbeda praktek keberagamannya dari yang dianggap seharusnya, maka mereka dianggap cacat agama dan cacat kebudayaan. Inilah kemudian alasan mengapa negara dengan segenap aparatnya berupaya untuk lebih mengIslamkan lagi komunitas Tanah Toa ini. Ini dilakukan dengan memberikan bantuan-bantuan keagaman misalnya membangun mesjid, memberi buku-buku keagamaan, menggalakkan dakwah dan berbagai program lainnya. Kalangan ulama dan akademisi ikut serta dalam program ini. UMI misalnya ikut membantu mendirikan mesjid yang diberi nama Al-Tajdid. Pemerintah malah sudah berupaya mendirikan mesjid disekitar daerah ilalang embayya.
Masyarakat Ilalang embayya, memang selama ini tidak pernah mempermasalahkan kategori Islam yang dilekatkan kepada mereka dari hasil pencacahan itu. Namun proses Islamisasi yang dilakukan setelah pencacahan itu, mereka tidak terima secara mentah-mentah. Meskipun misalnya mereka telah dibuatkan mesjid di dekat kawasan adat, namun mereka jarang bahkan sama sekali tidak pernah menggunakannya.
Saat ini ketika muncul Formalisahsi Islam di Bulukumba, dengan Perdaisasinya, cacah penduduk ini semakin menjadi persoalan bagi komunitas mereka. Karena selama ini mereka sudah dianggap sebagai Islam, maka komunitas Tanah Toa yang ada dalam Ilalang embayyapun dianggap wajib melaksanakan PERDA-PERDA syariat.
Dalam kasus lain yang berkaitan dengan pendidikan, komunitas tanah Toa dalam kawasan ilalang embayya dianggap rata-rata tidak melek huruf, belum berpendidikan. Ini muncul karena data statistik menunjukkan kurangnya orang yang sekolah dalam kawasan Ilalang embayya ini. Padahal dalam keyakinan komunitas ini, pintar itu tidak harus diidentikkn dengan sekolah tapi pada kebijakan dan kebajikan hidup.
Namun karena terlanjur ukuran kepintaran dalam statistik adalah sekolah, maka terhadap komunitas ini dilakukan proyek sekolaisasi. Mereka kemudian dibangunkan sekolah dan diberi penyuluhan. Beberapa dari mereka memang telah mengikuti proyek ini, anak-anaknya disekolahkan bahkan lanjut sampai keperguruan tinggi. Namun masih lebih banyak yang bertahan untuk tidak menyekolahkannya. (Lebih lanjut dalam problem Konstruk Pendidikan oleh negara)
Inilah logika statistik negara. Dalam logika seperti ini, menjadi orang Indonesia berarti harus masuk dalam kategori statistic negara. Mulai dari nama, agama (ini tidak boleh keluar dari yang diresmikan negara), jenjang pendidikan, jenis kelamin (harus laki-laki atau perempuan tidak boleh ada banci taupun bissu, seperti kategori gender di sul-sel). Dalam konteks ini kita harus menjadi manusia yang statis, tidak boleh berubah-ubah apalagi mencoba untuk neko-neko. Kalau kita adalah islam, maka islamnya harus yang benar, sesuai pakem yang diresmikan. Dalam logika ini tidak boleh ada Islam yang disebut dengan islam kejawen, Islam bugis ataupun Islam Patuntung.
b. Konstruk Geografis; Relokasi dan Marjinalisasi?
Meskipun beberapa peneliti, telah memberikan gambaran geografis dari tanah Toa Kajang. Seperti M.Usop mengutarakan lokasi tepatnya Tanah Toa yaitu di bagian selatan Jazirah Sulawesi yang terletak 50 -60 dan melingkar merdian 1200, dengan bujur timur posisi serong barat laut tenggara. Beberapa dari peneliti juga telah memberikan gambaran batas-batas sungai yang menjadi batasan daerah adat. Juga sebutan ilalang embayya dan ipantarang embayya untuk menunjukkan batas komunitas yang masih memegang teguh prinsip Pasanga dan yang sudah mulai menganut tradisi luar, telah dijelaskan oleh beberapa peneliti mengenai Daerah tanah Toa kajang ini.
Namun dari sekian penelitian tersebut, semuanya mengarah pada kealamiahan konstruk geografis tersebut. Artinya keberadaan batasan-batasan seperti sungai, sebutan ilalang embayya dan Pantarang Embayya atau rabbang seppang dan rabbang luara dianggap sebagai hal yang alamiah. Asumsi inilah, sehingga persoalan geografis sampai saat ini belum ada yang mempertnayakan dan mengutak-atiknya.
Tentu saja kesulitan lain untuk mengungkap ini, karena memang kurangnya data, dan juga karena berbagai sumber di tanah Toa sendiri sekan-akan menganggapnya sudah alamiah. Untuk pandangan masyarakat tanah Toa sendiri yang menganggap alamiah batasan-batasan geografis ini paling tidak bisa disebabkan dua hal:
Pertama; Memang dalam pemikiran mereka atau sejauh yang mereka tahu, batasan-batasan itu memang sudah seperti itu dari dulu. Hal ini misalnya muncul dari jawaban mereka tentang persoalan batasan-batasan yang ada di daeraha tanah Toa Kajang. Seperti disebutkan oleh Salam, kepala desa tanah Toa kajang, bahwa persoalan batasan-batasan geografis tanah Toa, misalnya tentang Ipantarang dan Ilalang embayya memang sudah ada sejak dulu kala. Jadi sejak adanya Kajang hal itu sudah ada dengan sendirinya. Komentar senada juga disampaikan oleh kepala dusun Benteng, dia juga menggap bahwa persoalan batasan-batasan tersebut sudah ketentuan alamiah.Sejak Amma Toa pertama batasan-batasan geogafis itu sudah ada.
Kedua: Pandangan ini muncul sebagai bagian dari cara beberapa masyarakat kajang mempertahankan eksistensi Tanah Toa. Konstruksi batasan-batasan seperti ini sengaja diterima agar Pasanga ri kajang masih memiliki kedaulatan dibeberapa tempat. Sekedar diketahui bahwa komunitas Tanah Toa ini terus menerus mendapatkan tekanan dari luar, mulai dari masa awal kedatangan Islam, colonial, DI/TII, samapai masa pemerintahan ORBA dan juga saat ini. Salah satu cara menghadapi hal itu dengan menerima konstruk geografis tentang adanya kawasan dalam dan kawasan luar, sehingga disatu sisi mereka tidak membangkang untuk menerima perubahan, namun disisi lain mereka juga bisa mempertahankan kedaulatan mereka pada daerah tertentu.
Untuk pandangan yang kedua ini mereka sesungguhnya mengetahui bahwa dulu tidak ada pembagian daerah Tanah Toa seperti saat ini. Namun daripada mereka sama sekali tidak punya lagi daerah untuk ke-eksisan ajaran Amma Toa , maka lebih baik mereka menerima pembagian daerah itu, bahkan memberikan legitemasi bahwa itu alamiah.
Namun soal kelamiahan geografis yang ada di Tanah Toa ini, masihbisa dikritisi lebih jauh. Soalnya ada bebeapa komentar dari masyarakat dan data yang mengindikasikan bahwa kondisi geografis di Tanah Toa adalah konstruk.
Soal pembentukan atau konstruksi ini ada dua versi, satu cerita mengatakan orang luar kajang yang membentuknya yang lainnya mengatakan bahwa ini adalah kesepakatan Amma Toa dengan kalangan yang berasal dari luar Kajang, meskipun pada akhirnya kesepakatan itu muncul secara terpaksa dari pihak Tanah Toa.
Batas-batas daerah Tanah Toa ini selain disebut dengan Ilalang Embayya dan Ipantarang Embayya, terkadang juga disebut dengan Rabbang seppang dan rabbang luara. Rabbang seppang ini mejadi daerah adat sekaligus batas-batas dimana Amma Toa boleh berada. Amma Toa tidak boleh melewati daerah batasan yang ditetapkan yang dikenal dengan Rabbang seppangnna Amma. Batasan itu misalnya disebutkan Limba pakalau,na, doro parai’na, Sangkala pantale’na, Tuli Nunggang . batas kedaerah timur yaitu sampai di daerah Limba, kearah barat samapi di Doro, keselatan Sangkala dan batasan ke utara adalah Tuli. Karena itu meskipun ada acara-acara adat yang dilakukan di Tanah Toa atau daerah yang masih menganut tradisi Amma Toa tapi sudah berada diluar batasan tadi, maka Amma Toa tidak bisa ketempat tersebut. Biasanya yang memimpin upacara adat adalah pemangku adat yang lain yang diwakilkan oleh Amma Toa.
Meskipun ada batasan seperti ini, namun ada hal yang menarik, karena dalam cerita-cerita rakyat dikenal bahwa dulu pada masa kerajaan Gowa, Amma Toa sering diundang oleh pihak kerajaan mengunjungi Gowa. Biasanya ia diminta datang untuk memberikan nasehat-nasehat spiritual kepada raja yang sedang berkuasa, bahkan ada kalanya ia diundang untuk memimpin upacara adat. Hal ini misalnya juga diakui oleh Amma Toa, Puto Palasa bahwa dulu Amma Toa sering ke daerah Gowa. Hal senanda juga disampaikan oleh Puto Kalu seorang Sanro di tanah Toa Kajang. Bahkan Pasanga ri kajang menyebutkan: “napassiallo Kajang na Gowa Amma Toa” (Amma Toa menempuh perjalanan dari Kajang ke Gowa Pergi-Pulang dalam waktu sehari). Cerita ini menunjukkan adanya kontradiski dengan asumsi batas-batas wilayah adat dan batas-batas dimana Amma Toa bisa berada alamiah adanya.
Selain itu ada beberapa hal yang menarik dicermati dalam konteks batasan geografis ini, yaitu adanya pengakuan dari kalangan masyarakat adat bahwa ada Tanah-tanah Adat yang diambil oleh kalangan Pengusaha Lonsum. Padahal kalau dilihat dari konstruk geografis yang sudah ada, daerah-daerah itu jauh berada diluar lokasi adat. Hal ini juga dikuatkan oleh Amma Toa sendiri bahwa masih banyak tanah adat yang berada diluar daerah yang mana dikenal saat ini sebagai kawasan adat
Meskipun tidak banyak literatur yang cukup jelas menceritakan kapan mulainya muncul batasan-batasn wilayah dan pengaruh Amma Toa ini namun dari berbagai komentar tokoh-tokoh adat, hal ini dimulai ketika Islam mulai datang ke daerah ini.[21]. Hal ini tentu saja berkaitan dengan proses Islamisasi dan keinginan dari komunitas ini untuk mempertahankan haknya memeluk keyakinan Patuntung yang sejak dari dulu mereka pegangi. Disini saya belum menjelaskan bagaimana proses islamisasi itu berlangsung, namun yang penting dalam konteks ini bagimana proses Islamisasi itu telah memposisikan komunitas Tanah Toa ini tersudut kepinggir dan harus melakukan reposisi dan relokasi.
Dalam berbagai literatur dijelaskan bahwa proses islamisasi di daerah sekitar Kajang dimulai ketika Abdul Khatib Bungsu yang kemudian bergelar dengan Datuk ri tiro, meyebarkan islam di sekitar Tiro. Di Kajang sendiri proses penerimaan Islam tidaklah serta-merta, apalagi di daerah kajang memiliki system tradisi dan kepetrcayaan tersendiri, mereka memiliki Amma Toa sebagai Penghulu adat dan dianggap pemimpin spiritual yang tertinggi. Apalagi ada beberapa kebiasaan-kebiasaan masyarakat adat di kajang yang dilarang oleh agama Islam misalnya minum tuak dan makan babi. Namun tentu saja sebagai kerajaan yang berada dibawah naungan Gowa yang telah memeluk Islam, maka komunitas adat yang ada di kajang inipun harus rela menerima agama baru tersebut.
Penerimaan komunitas Amma Toa terhadap Islam ini tidaklah secara totalitas menerima apa yang dikandung dalam ajaran islam, disatu sisi mereka tetap ingin mempertahankan beberapa keyakinan mereka, seperti Keyakinan akan pasanga ri Kajang, Amma Toa sebagai titisan Yang Maha Kuasa atau To rie Akra’na dan juga beberapa praktek-praktek ritual lainnya. Hal-hal seperti itu tentu saja tidak dibenarkan oleh Islam. Menurut cerita Galla Puto saat itu terjadi pertarungan antara Amma Toa dengan penganjur Islam yang datang (datuk ri Tiro) pertarungan itu diawali dengan perdebatan persoalan hakiki, pertarungan yang berlangsung cukup lama ini akhirnya berlangsung imbang. Pertarungan kemudian dilanjtkan dengan adu kesaktian, inipun akhirnya berakhir imbang. Akhirnya saat itu antara Amma Toa, Karaeng Kajang dan penganjur Islam yang datang (tidak jelas apakah Datuk ri Tiro yang dimaksudkan) sepakat untuk membagi wilayah Kajang ini. Ada daerah dimana tradisi Pasanga yang berlaku yang dikemudian hari dikenal sebagai Tanah Toa dan ada daerah dimana ajaran Islamlah yang berlaku. Oleh Datuk ri Tiro hal ini di terima karena pada prinsipnya apa yang dilakukan oleh masyuarakat adat di kajang tentang proses ritual dan keyakinan ada kemiripan dalam islam.
Adapun Amma Toa dan kalangan adat menerima tetapi dengan catatan tidak boleh saling mengganggu antara ajaran islam dengan keyakinan yang di pasanga. Karena itu al-quran dan beberap ajaran islam seperti haji dan shalat tidak boleh masuk ke dalam daerah dimana pasanga yang berlaku. Di daerah dimana Pasanga berlaku kebiasaan seperti minum arak pada acara-acara adat juga tidak boleh di larang.
Pembagian wilayah ini pada akhirnya membatasi ruang dimana ajaran Pasanga beserta kearifan masyarakat adat berlaku. Dulu pengaruh pasanga ri kajang berikut keyakinan seperti patuntung dan ritual masyarakat berlaku secara luas didaerah bulukumba. Hal ini misalnya dapat dilihat di berbagai daerah di Bulukumba seperti Kindang yang sampai saat ini masih ada beberapa masyarakatnya yang memiliki tradisi mirip di Tanah Toa Kajang. Bahkan keyakinan tentang patuntung ini yang sumbernya dianggap berasal dari Kajang berlaku di beberapa daerah lain seperti bantaeng, Jeneponto, Gowa dan pangkep (daerah-daerah disekitar Bawakaraeng). A.A Cence menyatakan bahwa keyakinan ini dipeluk oleh semua kalangan masyarakat di daerah-daerah tersebut tadi. Sedangkan di pangkep sendiri dapat ditemukan beberapa tradisi masyarakat yang juga oleh Dr.Chris G.F.de Jong dalam Ilalang Arenna dianggap Patuntung dan bersumber dari Pasanga ri Kajang[22]. .
Namun setelah adanya pembagian wilayah tadi akhirnya ruang dimana Pasanga dan keyakinan Patuntung berlaku, mulai dipersempit. Meskipun demikian daerah cakupan pasanga ri kajanga ini masih cukup luas pada masa itu.
Namun seiring dengan dan peyebaran Islam dan proses kolonialisasi di daerah ini di mana berlaku Pasanga ri kajang semakin dipersempit. Batasannya semakin jauh memperkecil daerah kekuasaan Amma Toa dengan kepercayaan Pasanga ri Kajang dan patuntung.
Masa DI/TII wilayah kekuasaan dari Amma Toa semakin dipersempit oleh munculnya gerakan DI/TII ini. Kalau awalnya daerahnya masih sampai ke daerah tanete,kini wilayahnya hanya berada disekitar wilayah kajang . Tahun 80-an seiring dengan semakin gencarnya gerkan dakwah dan arus modernisasi kedaerah ini, wilyah kekuasaan dimana berlaku ajaran Patuntung semakin dipersempit. Tepatnya ketika daerah itu dikunjungi oleh seorang pejabat daerah (gubernur) daerah kawasan adat yang kemudian dikenal dengan ilalang embayya daerahnya semakin kedalam, dipersempit seperti yang kemudian kita saksikan sekarang.
Era Islamisasi sekarang dengan model baru yaitu dengan Perdaisasi Syariat Islam jelas semakin mempengaruhi wilayah atau apa yang sering disebut dengan ilalng embayya . Sebab seperti yang dikemukakan oleh Bupati Bulukumba, Perda tentang syariat Islam, seperti kewajiban berbusan muslim, pandai baca tulis al-qur’an berlaku bagi seluruh masyrakat yang berada di wilyah Bulukumba dan secara resmi memeluk agama Islam.[23]
Kalau demikian adanya, maka bagi komunitas Tanah Toa diwajibkan juga untuk mengikuti Perda-Perda tersebut. Artinya beberapa kearifan yang mereka miliki tentang kewajiban bagi masyarakat ilalang embayya untuk mngikut kepada pasanga ri kajang akan hilang. Hilangnya keyakinan ini degan sendirinya akan menghilangkan batasan-batasan ilalang embayya dan ipantarang embayya. Sebab seperti dikatakan semula, batasan-batasan itu bukan sekedar batasan geografis, tetapi juga berkai erat dengan cara pandang dan keyakinan yang mereka miliki.
Saat ini dampak dari proses Perdaisasi tersebut berkaitan dengan persoalan konstruk ilalang embayya dan ipantarang emabayya sudah mulai muncul. Seperti yang diceritakan oleh salah seorang penduduk kawasan adat, Badda. Saat itu saya dan Tamrin serta Aso, singgah dirumah penduduk tesebut, sebab dia lagi mengadakan acara syukuran setelah habis panen jagung:
“anak-anak yang merupakan generasi sekarang ini sudah pintar semua membaca al-Qur’an, kami dulu memang tidak pintar membaca itu, sebab kami selalu dijarkan pasanga oleh para Bohe (orang tua yang memahami pasanga ri kajang), dan mengetahui itu sama saja dengan tahu membaca al-Qur’an. Beda sekarang semua kalangan termasuk dalam kawasan adapt ini, harus tahu membaca al-Quran. Anak-anak kami semua sudah harus belajar membaca al-Qur’an. Bahkan Amma Toa harus memberi batas baru kawasan ilalang embayya, karena ada satu rumah yang sebelumnya masuk dalam kawasan adapt yang di tempati anak-anak belajar mengaji. Kini rumah tersebut oleh Bohe (panggilan penduduk terhadap Amma Toa) diberi garis dan ditempatkan diluar kawasan adat.”[24]
Proses ini tidak lama lagi akan membuat kawasan adat (ilalang embayya) akan lenyap, kalaupun ada, itu hanyalah sekedar nama dan menjadi bentukan Negara terhadap satu kumpulan komunitas adat, mereka di konservasi, sebagaia bagian dari kebudayaan Negara yang unik, yang menarik dipertontonkan kepada orang asing. Maka sekali lagi penentuan lokasi dan konstruk tentang geografis ini adalah bagian dari kepentingan pembangunan dan modernisasi pemerintah.
c.Gambaran Masyarakat Adat di Ilalang Embayya dan Ipantarang Embayya .
Meskipun telah digambarkan secara sepintas bahwa batasan-batasan daereah adalah konstruk yang dibangun namun masyarakat di desa Tanah Toa sendiri sebagain besar sudah menerima hal itu sebagai kenyataan yang alamiah. Dalam kehidupan sehari-hari mereka telah mengidentifiukasi diri mereka dalam batas-batas daerah yang telah dibangun tersebut. Karena itu meskipun sebenarnya ilalang embayya dan ipantarang embayya berada dalam satu desa namun dalam hal-hal tertentu mereka berbeda.
Dalam kawasan ilalang embayya atau sering pula disebut dengan rabbang seppang, prinsip-prinsip pasanga ri kajang berlaku dengan ketat, meskipun pasanga ini tidak semuanya mengetahuinya namun ia menjadi pedoman hidup masyarakat dalam kawasan ini. Ajarannya disebarkan oleh Amma Toa dibantu oleh pemangkju-pemnagku adat yang lainnya. Karena berlaku ajaran pasanga maka kehidupan masyarakat di kawasan ini diatur berdasar ajaran yang terdapat dalam pasanga. Mulai dari cara beragama, cara hidup yang sederhana, samapai kepada bentuk rumah dan pakaian.
Adapun bentuk keagamaan dari masyarakat ini meskipun secara resminya Islam namun dalam praktiknya mengikuti ajaran patuntung. Patuntung ini adalah satu bentu ajaran kegamaan yang suadah ada sebelum datangnnya agama-agama semit. Prinsip dari patuntung ini adalah sikap yang selalu ingin mencari kebenaran yang sejati atau keinginann yang sungguh-sungguh untuk mendalami pasanga sehingga bisa mendalami hakikat sampai pada puncak yang tertinggi (Chris Jong; 1996). Bagi penganut patuntung ini keberagamaan tidaklah diukur dari sejauh mana mepraktekkan syaraiat, tetapi justru yang diukur adalah sejauh mana kejernihan hati dan sikap dalam hidup.
Prinsip hidup sederhana (kamase-mase) dalam kawasana ilalang embayya di praktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Ini misalnya dapat diolihat dari bentuk rumah yang sederhana, hanya terbuat dari kayu dan beratap rumbia dan kalau Amma hanya terbuat dari bamboo dengan atap rumbia, pakaian jumlahnya tiga pasang berwarna hitam. Singkatnya dalam bahasa mereka bisa makan, bisa tidur dan bisa berpakaian sudah cukup. Dalam pasanga hal ini disebutkan:
Anre Kalumannyang Kalupepeang ri kmase-mase (Tidak ada kekayaan yang melimpah ruah yang ada hanya keshajaan dan kesederhanaan)
Dalam pasanga yang lain disebutkan pula :
Anganre na rie
Care-care na’ rie
Pammali Juku na’ rie
Tana, koko, galung rie
Balla situju-tuju[25]
Artinya :
Makanan ada
Pakaian ada
Pembeli ikan ada
Tanah, kebun, sawah ada
Rumah sederhana saja.
Dalam hal pengobatan masyarakat dalam kawasan ilalang embayya juga masih mempercayakan pada dukun. Dukun ditempat ini dikenal dengan nama sanro. Selain tugasnya mengobati penyakit-penyakit tertentu juga biasanya membantu melahirkan.
Hal-hal yang digambarkan diatas yang terjadi di masyarakat ilalang embayya, agak berbeda dengan kehidupan masyarakat yang ada di ipantarang embayya. Di kawasan luar Kajang ini masyarakat sudah memeluk Islam yang mainstream, ini ditandai dari cara merewka melaksanakan ajaran islam, juga dari adanya mesjid.
Dalam hal lain misalnya upacara-upacara adat mereka masih melakukan seperti yang di ilalang embayya misalnya mereka melakukan upacara akkalomba (upacara ritrual bagi anak) akkattere (upacara ritual yang dilaksanakan bagi yang memiliki kemampuan, ini dianggap juga sebagai haji) dan andingingi (upacara minta keselematan) namun mereka tidak lagi mengikuti aturan upcara itu yang berasal dari ajaran pasanga secara ketat.
Prinsip kamase-masea juga tidak berlaku di daerah luar kawasan ini, mereka banyak yang kaya, memilki kendaraan dan rumah-rumah yang besar, selain itu mereka juga telah bersekolah.
Gambaran ini kalau kita amati secara cermaat saat ini, mungkin hanya sekedar cerita. Sebab perbedaan antara ilalang embayya dengan pantarang embayya saat ini sudah semakin tipis. Kecuali dalam keeksotisan mereka yang tetap diusahakan terjaga oleh berbagai kalangan, yang lainnya sudah hampir sama. Hal ini terjadi karena mereka memang dipaksakan dari luar baik lewat cara-cara hegemoni maupun dengan sikap yang tegas.
Bahkan dalam prinsip kamase-mase misalnya, perlu mendapatkan perhatian dan pembacaan yang agak jeli. Sebab kalau menurut pengakuan dari Kepala Desa Tanah Toa kajang, masyarakat adalam kawasan adapt tidaklah sungguh-sungguh miskin. Bahkan menurutnya justru masyarakat dalam kawasan biasanya memiliki kekayaan samapai bernilai puluhan juta. Salah satu contoh yang diberikan adalah kalau ada orang yang meminjam uang, biasanya meminjamnya kemasyarakat ilalang embayya. Kepala desa tanah toa ini malah melihat prinsip kamase-mase hanyalah bagian dari penampilan masyarakat Ilalang embayya. Jadi menurutnya pasang itu hanyalah ditujukan pada: bagaimana komunitas Tanah Toa, khususnya dalam kawasan ilalang embayya dalam kehidupan sehari-hari menunjukkan sikap kesederhanaan dan kesahajaan, ini sama sekali tidak berkaitan dengan persoalan kepemilikan.
Hal ini agak berbeda dengan pandangan Baso Kahar, mantan kepala desa Tanah Toa yang saat ini sebagia salah satu anggota legislative dan calon wakil Bupati. Menurutnya secara kepemilikan, masyarakat dalam kawasan memang tidak memiliki apa-apa, pakaian hanya cukup tiga pasang, rumah yang penting cukup untuk berteduh dan seterusnya.
Bagi komunitas tanah Toa sendiri, dalam kasus tertentu, hal ini memang menjadi satu persoalan, diantara mereka kelihatannya memang ada kalangan-kalangan elitnya yang kaya dan memiliki banyak harta, namun di masyrakat umum banyak juga yang tidak memiliki harta. Bahkan banyak dari kalangan masyarakat dalam kawasan ilalang embayya yang harus keluar dari kampungnya untuk mencari penghidupan. Sperti yang dijelaskan oleh sanro Kalu mengenai keadaan keluarganya:
Ini adalah cucu-cucu saya, anak-anak saya semuanya sudahh menikah, namun hanya satu anak saya yang berkeluarga yang tetap tinggal di Tanah Toa Kajang, yang lainnya keluar mencari penghidupan, ada anak saya yang ke Bone menjadi tukang batu. Ya….ini demi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.[26]
Tentu saja ini menarik kerena bagi kalangan masyarakat kajang diluar kawasan adapt atau diluar ilalang embayya, soal prinsip kamase-mase ini selalu didengung-dengungkan dan itu juga diamini oleh kalangan elit atau para pemangku adat. Sementara itu mereka yang banyak menganggkat ini adalah kalangan yang ternyata berkecukupan bahkan memilki harta. Sementara sebagian masyarakat yang ada dalam kawasan adapt terbelenggu dalam keterpurukan.
Boleh jadi memang prinsip kamase-masea adalah sesuatu yang menjadi cirri khas masyarakat Tanah Toa yang telah dikonstruk atau paling tidak direkonstruksi dari luar. Prinsip ini sendiri menjadi sarana paling efektif untuk menghilangkan hak kepemilikan masyarakat adat. Masayarakat Tanah Toa sendiri meskipun kelihatan menjadikan prinsip itu sebagai bagian dalam kehidupan mereka, namun kelihatannya juga mensiasatinya dan bahkan pada tataran tertentu malah sama sekali tidak menjalankannya.
d. Problem Penguasaan Tanah Masyarakat Adat
Dalam pandangan orang Kajang tanah tidak sekedar mempunyai arti ekonomi, akan tetapi juga sarat dengan makna filosofis yang sangat tinggi. Tanah bagi masyarakat Kajang adalah ibu (angrongta) . Hal ini disebabkan karena keyakinan masyarakat kajang bahwa asal muasal manusia dari tanah. Penghargaan masyarakat kajang terhadap tanah ini diwujudkan dengan adanya tanah tertentu yang tidak bisa dijual juga adanya tanah yang tidak bisa diinjak memakai alas kaki tertentu.
Bagi masyarakat tanah toa, mereka juga puya hubungan spiritual yang mendalam dengan tanah. Bukan hanya karena di situ mereka sering mengadakan ritual tertentu, tetapi dalam beberapa ritual mereka, unsur tanah memang ikut berperan penting. Di beberapa tempat di tanah Toa misalnya di kenal Saukang, yaitu satu tempat yang dikeramatkan di tanah tertentu. Tanah-tanah yang mereka keramatkan ini hampir semunya punya mitos-mitos tertentu yang menunjukkan keterikatan mereka dengan tanah-tanah tersebut.
Hubungan yang sedemikan dekat antara komunitas tanah Toa dengan Tanahnya sehingga mereka tidak mau mengeksploetasi secara berlebih-lebihan tanah-tanah yang ada di daerah mereka. Karena itu ada aturan tersendiri, bahwa pengelolaan tanah, seperti sawah misalnya hanya bisa dikelola satu tahun. Dalam kedudukan tanah sebagai pemenuhan kebutuhan ekonomi, bagi orang Kajang pun penghormatan tetap dijaga. Bahwa membangun hubungan harmonis antar manusia dengan alam (hutan, tanah dan air) menjadi keharusan dan merupakan cerminan dari tata kehidupan kamase-mase (hidup sederhana). Melakukan eksploitasi secara berlebihan terhadap sumber daya alam adalah perbuatan yang tidak dibenarkan, makanya pengolahan tanah bagi orang Kajang hanya bisa sekali setahun.
Salah satu yang menarik pula adalah bahwa tanah tidak bisa dijual dan dimiliki secara pribadi karena kepemilikannya berdasarkan komunal yang penguasaan dan pengaturan diberikan kepada Galla/Tutoa pada lokasi tersebut. Karena itu mereka tidak mengenal sertifikasi.
Persoalan inilah menjadikan mereka sangat marah saat tanah dan sumber daya alam dieksploitasi oleh perusahaan perkebunan PT.Lonsum. Saat ini mereka tidak bisa lagi melakukan beberapa ritual yang berhubungan dengan penghargaan terhadap alam karena beberapa lokasi adat mereka telah dijadikan perkebuan. Seperti melakukan ritual untuk minta hujan karena lokasi dimana mereka sering melakukan itu yakni Rarang Ejayya telah dirampas oleh Lonsum.
Perubahan yang sangat mendasar pula dapat dilihat dari pola pemanfaatan tanah yang dulunya sekali setahun, kini tidak lagi. Menurut pengakuan mereka bahwa sempitnya lahan pertanian menjjadikan mereka harus mengolah tanah dua kali dalam setahun. “Kalau tidak begitu, orang Kajang tidak bisa menghidupi keluarganya” Kata kepala Dusun Lurayya Desa Tanah Toa. Saat ini, hanya di kawasan Ammatoa saja yang sekali setahun karena mengikuti aturan adat Kajang.
Tidak adanya sertifikasi tanah oleh masyarakat adat inilah yang dimanfaatkan oleh kalangan Pemerintah dan Pengusaha untuk mengambil alih tanah-tanah masyarakat adat. Dan inilah yang terjadi ketika LONSUM mengambil alih tanah mereka. Ketika akhirnya persoalan ini menjadi sengketa, pihak Lonsum diatas angina karena mereka punya bukti-bukti persuratan. Celakanya lagi dalam beberapa kali tuntutan masyarakat adat ini, mereka dihadapkan dengan aturan-aturan formal agraria yang sangat tidak memberikan tempat pada system pemilikan tanah secara adat.
d.1. Konflik Tanah dengan Pihak LONSUM
Konflik komunitas yang ada di Kajang dengan perkebunan sebenarnya sudah berlangsung lama, namun terakhir ini konflik itu semakin keras karena sampai menimbuilkan korban dari pihak petani dimulai ketika hutan-hutan mereka dijadikan perkebunan serei, kapok dan kopi oleh NV.Celebes Landbouw Maschappijh (MSC) seluas ± 7.092,82 berdasarkan atas hak erfpaht yang diberikan oleh pemerintah Hindia Belanda tahun 1919. Usaha perkebunan kolonial ini kemudian dilanjutkan oleh tiga jenis perusahaan yang berbeda yakni PT.Perkebunan Sulawesi (1960-1964), PN.Dwikora (1964-1968) dan terakhir adalah PT.PP.London Sumatra Indonesia Tbk.(1968-sekarang)[27].
Sampai pada keluarnya HGU kedua PT.PP.London Sumatra Indonesia Tbk. (Selanjutnya, PT.Lonsum tahun 1998, total lahan orang Kajang yang telah dikuasai dan beralih fungsi menjadi perkebunan karet seluas 5.784,46 Ha, yang tersebar di empat kecamatan di Bulukumba yakni Kec.Herlang, Kec.Bulukumpa, Kec.Ujungloe dan Kec.Kajang. Proses pengalihan tersebut tidak hanya mengakibatkan penyempitan wilayah kelola orang Kajang, tetapi juga menghancurkan sejumlah aturan adat orang Kajang berkenaan dengan sistem tenurial[28].
Problem yang mendasar disini adalah hak penguasaan tanah secara adat di Tanah Toa Kajang ini yang belum mendapatkan pengakuan dan perlindungan secara hukum.Meskipun misalnya ada yang kita sebut dengan hak ulayat namun ini tidak memberikan ruang bagi komunitas adat, karena yang dimaksud dengan ulayat itu harus ditetapkan oleh pemerintah berdasarkan penelitian oleh pakar tertentu terhadap daerah atau tanah tersebut.
Hal ini akhirnya memicu kemarahan komunitas`adat yang tanahnya di rampas,merekapun lalu melakukan perlawanan dengan melakukan reclaiming terhadap tanah yang dikuasai oleh PT Lonsum.
Pihak pemerintah daerah sendiri bersdama aparat keamanan pemihakannya kelihatan diarahkan kepada Perusahan ini, diabnding dengan petani. Bagi pemerintah daerah PT LONSUM adalah perusahan dengan pemasukan pajak yang paling tinggi di
bulukumba. Yang terjadi kemudian dari sikap pemihakan PEMDA beserta aparatnya, adalah terror yang dirasakan oleh para petani.
d.2. Reclaiming sebagai bentuk perlwanan Fisik
Seiring dengan perjalanan waktu persoalan tanah bagi orang-orang kajang ini tidak bisa lagi diselesauikan dengan perlawanan-perlawanan simbolik, negosiasi maupun perebutan-perebutan makna. PT Lonsum kemudian dilawan, gerakan mulai diorganisir. Aksi reclaiming pada tanggal 21 Juli 2003 adalah salah satu bentuk perlawanan yang dilakukan oleh masyarakat kajang.
Perlawanan ini sebenarnya tidak hanya dilakukan oleh masyarakat adat dalam kawasan adat tanah Toa, tetapi beberapa desa di Kajang telah bersatu untuk melakukan perlawanan menuntut hak mereka atas tanahnya.
Proses Reclaiming tanah oleh komunitas adat ini dituturkan oleh Idham Arsyad dalam makalahnya Potret Perlawanan Orang Tertindas:
Keberhasilan warga Dusun Ganta Desa Bonto Biraeng Kec.Kajang memenangkan proses gugatan perdata dan berhasil dieksekusi atas tanah seluas 540,6 Ha berdasarkan keputusan MA No.2553.K/Pdt/1987, telah memotivasi warga desa lainnya untuk melakukan perlawanan terhadap PT.Lonsum.Hal ini tidak hanya ditunjukkan dengan banyaknya aksi unjuk rasa yang memprotes keberadaan PT.Lonsum di Bulukumba, tetapi juga proses konsolidasi pun mulai berlangsung sampai pada lahirnya aksi re-claiming di Bonto Mangiring tanggal 21 Juli 2003.
Data Yayasan Pendidikan Rakyat (YPR) Bulukumba menunjukkan bahwa dalam kurung waktu pasca eksekusi ke aksi re-claiming (1998-2003) gelombang unjuk rasa semakin gencar dilakukan oleh masyarakat. Aksi unjuk rasa itu sendiri tidak hanya dilakukan di kantor Bupati dan DPRD Bulukumba, akan tetapi masyarakat juga mendatangi kantor Pengadilan Tinggi dan DPRD Sulawesi Selatan.
Gelombang perlawanan petani Kajang menuntut dikembalikan haknya seolah tiada kata akhir. Tanggal 25-26 Desember 2000 di Desa Tammatto, Bonto Mangiring dan Desa Balleanging terjadi penebangan karet. Kurang lebih 1000 pohon dan luasnya 1 Ha kebun karet Lonsum di Pallangisang Estate yang berhasil ditebang oleh masyarakat sebelum mereka dihalau oleh Polres Bulukumba. Dalam peristiwa tersebut sebanyak 15 orang warga ditangkap dan dipenjarakan rata-rata 2,6 tahun.
Menghadapi perlawanan orang Kajang yang semakin gencar dan terkonsolidasi, PT.Lonsum bukannya menghentikan aktivitasnya. Justru mereka terus mengupayakan berbagai macam cara untuk menguasai lahan masyarakat. Misalnya pada tanggal 2 Maret 2003, PT.Lonsum mengklaim telah membayarkan uang kompensasi terhadap tanah seluas 94 Ha di Dusun Lapparayya Desa Bonto Mangiring, sehingga tanggal 5 Maret 2003 melakukan penggusuran di dusun tersebut. Padahal uang tersebut tidak sampai di masyarakat, melainkan diambil oleh mandornya PT.Lonsum sendiri, Karaeng Makking (55 thn) dengan memanipulasi dan memalsuan tanda tangan warga.
Tindakan PT.Lonsum ini kemudian direspon dengan aksi pendudukan di Kantor DPRD Bulukumba. Namun aksi tersebut sama sekali tidak membuahkan hasil, karena dari empat tuntutan orang Kajang (lihat tabel 2, nomor 3) tak satupun dipenuhi, baik oleh Pemkab dan Polres Bulukumba. Dan karena kecewa atas sikap Pemkab dan Polres Bulukumba, maka orang Kajang memutuskan melakukan reclaiming.
Sepulang dari pendudukan DPRD Bulukumba, maka melalui Aliansi Serikat Petani (ASP) Kajang (Organisasi ini dibentuk tahun 2003, sebagai wadah perjuangan orang Kajang melawan PT.Lonsum) dilakukanlah proses konsolidasi untuk reclaiming. Menurut keterangan Rauf, sekretaris ASP bahwa dalam proses konsolidasi tersebut, kepada masyarakat telah disampaikan soal resiko yang akan dihadapi yakni “Darah, Penjara dan Mati”. Proses konsolidasi itu juga berhasil mengumpulkan 3 ton beras dan 2 karung ikan kering teri sebagai logistic untuk aksi pendudukan tersebut.
Perjuangan itu kemudian berbuntut pada reclaiming yang kronologisnya sebagai berikut:
Box 1 : Kronologis aksi orang Kajang, 21 Juli 2003[29]
|
Perjuangan ini tidak berakhir sampai disini, terakhir kalinya pada bulan Februari sampai Maret, selama sebulan mereka menduduki DPRD Bulukumba, meminta di bentuk Pansus Lonsum, untuk menyelesaikan kasus mereka selama ini. Mereka memang berhasil mendesak legisletatif untuk membentuk Pansus Lonsum ini, namun pada akhirnya Para anggota legisletaf itulah yang ditunggu nuraninya, masihkah memihak rakyat atau malah masih berkolaborasi dengan pemerintah eksekutif dan pengusaha.
Disini ada beberapa hal yang menarik dicermati:
1. Perjuangan untuk memiliki hak atas tanah mereka tidak mendapat respon dari pemerintah, disamping karena persoalan investor yang memasukkan pajak ke PEMDA sangat besar, juga masyarakat tidak kuat pada payung hukumnya.
2. selama ini telah ada advokasi yang dilakukan oleh kalangan LSM terhadap perjuangan masyarakat adat ini misalnya YPR dan termasuk akhirnya LAPAR ikut terlibat. Paradigma pemberdayaan yang menitik beratkan pada kesadaran petani akan hak tanahnya dan perjuangan lewat jalur hukum yang dilakukanoleh lembaga-lembaga pendamping ini perlu untuk mendapatkan evaluasi, utamanya mengenai perjuangan lewat jalur struktural dengan menuntut secara hukum tanah-tanah masyarakat sebab sekali lagi payung hukum untuk tanah adat, khsusnya di Tanah Toa ini tidak kuat. Tentu saja ini tetap penting, namun perlu ada pemikiran lain dalam rangka gerakan konsolidasi secara kultural masyarakat adat dan masyarakat lainnya.
3. Persoalan pengakuan terhadap tanah adat ini sebenarnya diakui dalam The Draft UN Declaration on The Right Of Indegeneous People. Dalam sembilan pasal yang diakui salah satunya adalah land and Resource right. Ini memberikan peluang sebenranya untuk memperjuangkan lewat jalur hukum, namun tentunya ini tidak bisa terjadi kalau jaringan kita lemah termasuk ke jaringan internasional. Pertanyaan lainnya apakah komunitas tanah Toa Kajang bisa digolongkan sebagai indegeneous people?. Dari pernyataan-pernyataan komunitas Tanah Toa bahwa disinilah awal mulanya dunia, tanah Toa adalah yang pertamna dan yang paling asli mungkin bolelah menjadi rujukan bahwa mereka dalam konteks Hak Asasi ini digolongkan sebagai indegeneous people, namun hal ini masih harus didiskusikan lebih jauh.
f. Problem Parawisata
Saat ini pihak pemerintah dalam melihat kebudayaan yang ada di tanah Toa kajang masih dalam konteks kebendaan. Budaya di masyarakat ini hanya dilihat dari persoalan fisik belaka. Persoalan-persoalan kehidupan masyarakat ini yang berkaitan dengan keyakinan,filosofi dan juga keraifan-keraifan mereka sama sekali tidak mendapatkan perhatian dan perlindungan dari pemerintah setempat. Malah dalam beberapa hal persoalan-persoalan kemanusiaan yang ada di komunitas ini cenderung ingin dirubah oleh pemerintah bersama kalangan agamawan. Misalnya aja dalam kepercayaan dan keyakinan masyrakat kajang dalam menjalankan Islam,bagi kalangan pemerintah hal itu harus diperbaiki karena tidak sesuai dengan Islam yang “benar”. Soal pandangan mereka tentang pendidikan juga sering kali dipermasalahkan oleh pemerintah setempat.
Seperti dijelaskan sebelumnya, bahwa pemerintah yang menekannkan kebudayaan tanha Toa ini hanya pada soal fisiknya saja membuat kebudayaan di tanah toa ini hanya dilihat dari sisi bagaimana ia bisa dipertunjukkan dan dipertontonkan. Disini peran parawisata sebagai satu elemen pemerintah berpern sangat penting.
Keberadaan dari parawisata sendiri dalam pengelolaan kebudayaan masyarakat memang masih sering diperdebatkan. Beberapa kalangan seperti Volkman misalnya menyindir keberadaan parawisata sebagai borok di tubuh kebudyaan, apalagi keberadaan parawiata ini telah membentuk dan menciptakan sebauh objek yang lain dalam tubuh kebudayaan yang membuat kebudayaan itu justru hanya bisa difoto, dijual dan juga dibeli[30]. Sejumlah masalah lain juga bisa muncul dari Parawisata ini misalnya komodifikasi kebudayaan, konsumerisme, dan dominasi elit-elit lokal dan marjinalisasi penduduk asli.
Demikianlah keberadaan Parawisata dan inipula yang terjadi di kabupaten Bulukumba dimana komunitas adat Tanah Toa ini berada. Komunitas ini dilihat oleh kalangan parawisata hanya sebagai temapat yang bisa dijual kepada touris,krena itu program mereka adalah bagaimana Kajang yang menurut mereka cukup eksotis,bisa menjadi daya tarik tersendiri bagi para wisatawan.
Inilah masalahnya, karena komunitas ini hanya dilihat dari sisi fisik dan keeksotisannya maka sangat besar kemungkinan nantinya akan dikonsirfasi. Dibiarkan keeksotisannya tapi keyakinan dan pola berfikir mereka dirubah. Hal ini sendiri sudah diakui oleh pijhak Parawisata dan DEPAG. Menurut Kepala DEPAG Bulukumba komunitas Tanah Toa harus dirobah pola berfikirnya dan keyakinan mereka, kalaupun ada yang bisa dipertahankan dari sisi yang bisa menarik Touris saja.[31]
Komunitas Tanah Toa sendiri tidak menerima kalau mereka hanya mau dijadikan objek wisata. Mereka misalnya melarang didaerahnya dibangun tempat-tempat penginapan para wisatawan. Karena menurut mereka kalau dibangun mereka akan betul-betul menjadi tontonan, seperti orang aneh.
Memang samapai saat ini komunitas tanah Toa kajang ini belum secara serius disentuh oleh pihak parawisat, namun kelihatannya hal ini akan dilakukan. Karena itu pada akhirnya ini harus memerlukan pertimbangan-pertimbangan pemerintah daerah disana, apa yang mereka harus lakukan terhadap komunitas tanah Toa Kajang dan sejauh mana mereka harus mencampuri komunitas ini. Tentu saja diharapkan kalangan pemerintah tidak samapai melakukan reinvensi dikomunitas ini untuik kepentingan-kepentingan ke-Parawisataan, karena bila itu yang terjadi, maka pemerintah memang hanya melihat komunitas tanah Toa ini sebagai barang, fisik dan bukan sekumpulan orang.
g. Konstruksi negara tentang pendidikan bagi masyarakat adat tanah Toa
Secara keseluruhan, warga Komunitas Adat Kajang jarang yang pernah mengecap pendidikan formal, dan karena itu sangat sedikit diantara mereka yang tahu tulis- baca, terutama di kalangan orang dewasa. Persoalan ini sebnranya tidak sesederhana seperti yang dibayangkan oleh pemerintah bahwa masyarakat kajang khusunya yang didalam kawasan tidak sekolah karena kurangnya pemahaman mereka dan juga karena factor ekonomi, tetapi juga ini berkait erat dengan soal keyakinan dan pandangan hidup masyarakat kajang.
Di masyarakat kajang dikenal prinsip hidup kamase-masea, yaitu hidup sederhana dan bersahaja dan tidak mementingkan ke kayaan apalagi hidup berlebih-lebihan. Dalam pasanga disebutkan:
“Dodongi kamase-mase
Hujui rikalenna Anre’
nakulle kaite-ite Anre’
nakulle kalumpa-lumpa Anre’ nakulle katoli-toli
Kasugihanga anre’ nakulle antama ri butta kamase-mase”
Artinya:
Meski kita serba susah dalam kesederhanaan, tetap berpegang pada prinsip sendiri. Tidak boleh sembarang melihat. Tidak boleh sembarang melompat. Tidak boleh sembarang mendengar. Kekayaan tidak akan pernah masuk di kawasan adat kamase-mase.
Prinsip kamase-masea ini yang oleh masyarakat kajang sendiri sudah menjadi bagian dari identitas mereka penting untuk dilihat lebih jauh. Meskipun sebagaina besar mereka menganggap bahwa itu sudah mewrupakan ajaran pasanga dan wajib diapatuhi, namun dalam hal tertentu penting untuk kita pertanyakan ulang. Pertanyaan kita adalah siapa sesungguhnya yang mengkonstruk prinsip kamase-masea ini ? Sebab dalam perkembangan terakhir ada kecenderungan dari masyarakat Tanah Toa ini mulai meninggalkan prinsip ini. Seperti yang diakui oleh kepala desa Tanah Toa kajang, bahwa sesungguhnya masyarakat adapt tanah toa adalah orang-orang yang berduit, mereka punya banyak binatang ternak dan tanah yang cukup luas, hanya penampilannya saja yang sederhana dan tetap bersahaja. Ini
Dari prinsip kesederhanaan inilah yang membuat masyarakat Kajang merasa tidak perlu untuk sekolah dan menuntut ilmu formal. Karena dalam pandangan masyarakat kajang menuntut ilmu formal adalah bagian dari mencari prestitise, pangkat dan juga kekayaan. Padahal kesemuanya itu bagi masyarakat adat Tanah Toa tidaklah penting.
Mengenai persoalan ini, masyarakat kajang punya cerita tersendiri yang menarik, yaitu cerita tentang Datuk ri Tiro yang sesungguhnya dalam versi ini adalah juga murid Amma Toa, namunkarena menginginkan kepintaran dan ilmu maka oleh Amma Toa diberinya tugas diluar daerah Tanah Toa yaitu di Tiro, karena bagi kawasan adat ini tidak ada “kepintaran”. [32]
Tentu kepintaran yang dimaksudkan disini oleh masyarakat tanah Toa ini lebih pada hala-hal yang sifatnya formal, misalnya kepandaian membaca, menulis dan yang lainnya yang berkaitan dengan tradisi tulisan. Sebab sesungguhnya kepandaian atau tepatnya kearifan justru dimiliki oleh masyarakat ini, yang sumbernya dari Pasanga ri Kajang.
Hal inilah yang justru tidak dipahami sama sekali oleh pemerintah dalam melihat persoalan Masyarakat kawasan adat yang tidak sekolah. Dalam pemahaman pemerintah pandangan yang dimilki oleh masyarakat adat ini karena pemikiran mereka yang masih terbelakang, bahkan dainggap cenderung kolot. Ketertinggalan ini dalam pandangan pemerintah harus diselesaikan dengan proyek sekolaisasi. Maka dengan bekerja sama dengan institusi semacam UMI, proyek inipun mulai dijalankan.
Pada tahun 1991-1992 didirikan sekolah dasar 351 Kawasan Amma Toa. Sekolah ini bertujuan untuk menarik minat sekolah anak-anak dalam kawasan adat murid-muridnya sampai pada tahun 2004 ini telah ada 126 orang dan dari sini telah melanjutkan sekolah ke Menengah pertama sebanyak 7 orang. Ketujuh orang ini berasal dari dalam kawasan.
Pada tahun 2004 sudah semakin banyak anak-anak yang bersekolah, yang diluar kawasan hampir semua anak usia sekolah sudah bersekolah de SD Balagana, dalam kawasan sendiri hampir 126 ikut sekolah meskipun 55 diantaranya tidak aktif. Yang mencapai gelar sarjana juga semakin banyak yaitu sebanyak 7 orang dengan dua diantaranya adalah berasal dari dalam kawasan yaitu Muh Zaid (anak dari Galla Puto Beceng) dan Abu. UMI sendiri memberikan beasiswa bagi masyarakat dalam kawasan adapt yang ingin melanjutkan sekolah samapai ke perguruan tinggi khususnya bila melanjutkan ke UMI dan mengambil fakultas agama.
Proyek sekolaisasi ini di tindak lanjuti oleh pemerintah desa mereka. Karena itu ukuran keberhasilan pemerintah desa yang ada disana adalah sejauh mana mampu “menyekolahkan” masyarakatnya sekaligus “mengislamkannya”. Selain itu mereka juga mencoba memakai makna siri dalam persoalan ini. Siri kalau desa mereka tidak berhasil menyekolahkan warganya sementara desa lainnya sudah maju. Siri kemudian bermaknakeberhasilan pelaksanaan tugas dalam program pembangunan. Disini siri berfungsi untuk memotivasi untuk meraih keberhasilan dalam pembangunan dengan harapan memperoleh niali dan martabat dari atasannya.[33]
Meskipun demikian, dimana telah diupayakan berbagai cara untuk mempengaruhi mereka agar memanfaatkan fasilitas pendidikan yang disiapkan pemerintah, banyak orang tua yang kemudian memberhentikan anaknya sebelum tamat Sekolah Dasar atau menghalangi untuk lanjut di sekolah lanjutan pertama dengan alasan praktis. Alasan itu umumnya dikaitkan dengan pemanfaatan tenaga kerja anak-anak untuk membantu orang tuanya di ladang, sawah, atau menggembala ternak. Selain hal tersebut diatas, masyarakat Adat Kajang berpandangan bahwa pengetahuan hanya bersumber dari pasang. Dengan mengetahui pasang maka terpenuhilah seluruh kebutuhan hidup, terkhusus dalam kawasan. Adapt.
Demikian pula dengan pengetahuan tulis menulis, mereka berpendapat bahwa pasang disampaikan dengan cara lisan, sehingga pengetahuan tentang tulis menulis tersebut tidak diperlukan. Namun seiring perjalan zaman, sedikit demi sedikit pandangan tersebut terkikis. Hal ini dapat dilihat fenomena baru yang terdapat di lingkungan kawasan adat yang mana sebagian anak-anak usia sekolah tersebut ikut dalam sekolah dasar. Ini juga tentu saja karena keinginan mereka untuk tidak sekolah secara formal tidak mendapatkan perlindungan apa-apa atau memang tidak ada perlindungan hukum tentang itu, khususnya dinegara kita ini, meskipun sebenarnya kalau dilihat dalam draft deklarasi hak bagi indegeneus people persdoalan ini sebeanrnya telah diberikan ruang, meskipun tidak secara tegas dikatakan hal itu. Artinya pengetahuan bagi komunitas yang tergolong indigeneous people bias ditentukan sendiri oleh mereka. Kalau pilihannya adalah pengetahuan tanpa jalur formal maka itu sah-sah saja dan mestinya diberikan ruang. Masyarakat kajang sendiri bisa di kategorikan sebagai indigeneous people karena masyrakat kajang sendiri merasa adalah penduduk asli di kabupaten Buluklumba. Sebutan tanah Toa menunjukkan bahwa tanah mereka adalah yang tetua di daerah tersebut, bahkan di dunia.
h. Dualisme Kepemimpinan Amma Toa dan Intervensi Politik
Saat ini meskipun beberapa pemangku adat dan kepala desa menganggap bahwa amma toa di kajamg tetap satu, tetapi realitasnya di kajang telah terjadi, Dualisme kepemimpinan.
Di tengah komunitas adat sendiri realitas dualisme ini nampak jelas sekali. Dalam acara-acara adat, masyarakat terbagi dalam mengundang Amma. Ada yang mengundang Puto Palasa (yang diakui oleh KADES). Ada pula yang mengundang Puta Bekkong. Apa sebenarnya yang terjadi, dalam pemilihan ini? Menurut Puto Kalu kalau seandainya pemilihan ini konsisiten dengan tata cara pemilihan dulu, maka mustahil akan terjadi dualisme semacam ini. Beberapa Amma Toa mulai dari To Appaa, Buhe Tau Toa, To Annanga, Buhe Tutiaka, Buhe Renre, Buhe Tabbo, Buhe Dokkong, Puto sampo, Puto palli, Puto Soba (Amma ri pangi), Puto Japo, Puto sembang, Puto Cacong, Puto Nyongnyong, tidak terjadi konflik seperti ini, memang ada pertentangan tapi tidak samapi separah ini.[34] Apakah dengan demikian pemilihan Amma Toa sudah di intervensi atau sudah di konstruk dari luar?
Sebelum menjawab itu kita lihat dulu bagaimana sebenarnya pemilihan Amma Toa di Kajang. Pemilihan Amma Toa ada beberapa tahapan.
Tahap pertama
Calon amma atau biasa juga disebut dengan amma Lolo, mengalami mas percobaan dan bimbingan selama tiga tahun.selama masa itu dia mendapatkan bimbingan dari Amma galla.. selama masa percobaan itu para pemangku adat melihat gejala-gejala alam, apakah pada masa percobaan alam bersahabat dengan komunitas Tanah Toa. Dalam pasanga disebutkan naparanakkang juku, napaloloiko raung kaju, nahambangiko allo ri nabattuiko lorang tua nakajariangko tinannang ( ikan bersibak, pohon-pohon bersemai, matahari bersinar, hujan turun air tuak menetes, tanaman menjadi. ).[35]
Pada masa percoabaan itu Amma juga mulai memelihara seekor kerbau. Bila seleksi alam ini sudah selesai, barulah masuk pada tahap kedua.
Tahap kedua
Setelah tahap pertama dilewati, maka mulailai dipersiapakan acara pelantikan dari amma toa. Bahan-bahan semua didingingi, selama seminggu dirumah amma lolo dterangi oleh kanjori.
Tahap ketiga
Pada tahap ini, mereka sudah bersiap masuk hutan, biasanya ini berlangsung tiga hari sebelum bulan purnama. Tempat yang dituju ada dua, kalau bukan Parasanga rilau maka yang didatangi adalah parasanga riaja. Laki-laki tidak memakai baju, hanya memakaio Tope, yaitu sarung berwarna hitam khas kajang, yang perempuan memakai sarung hitam dan baju bodo juga berwarna hitam
Tahap ketiga ini berlangsung tiga hari. Tiap-tiap hari ada acara yang dilakukan.
Hari Pertama
Kerbau hitam peliharaan amma Lolo yang dilepas kedalam hutan dicari. Setelah itu nisaui (dimantrai dengan asap dupa ). Kerbau kemudian disembelih, lalu dibakar dan kemudian diiris-iris menjadi seratus irisan, sesuai dengan jumlah yang hadir dan digantungkan dibarung-barung (rumah adat)
Hari Kedua
Amma Lolo bersama para pemangku adat membahas pasanga. Ini dimaksudkan agar calon amma Toa menguasai seluruhnya. Saat itu mereka duduk dengan tangan didada dengan sikap berdoa.
Hari ketiga
Tamu-tamu kemudian datang dibarung-barung pada petang harinya. Amma Lolo kemudian memantrai makanan dan beras yang ada. Guru patuntung kemudian mengucapkan mantra. Amma Lolo bersama empat puluh galla kemudian pamit dan menuju lapangan. Mereka duduk disana dengan sikapa berdoa, khusyuk menantikan suara atau wahyu dari langit.
Apabila suara itu sudah terdengar ayam hitam yang sudah sejak lama dipelihara amma Toa dilepas, bila ayam itu bertenger di bahu amma lolo maka sudah menjadi pertanda amma Toa sudah direstui menjadi Amma Toa. Pada saat itu cahaya bulan purnama menyerot dan menyinari Amma Lolo, maka resmilah ia menjadi Amma Toa.
Anronta ri Pangi (julukan ; Ibu Yang di Pangi) kemudian melantiknya dengan memasangi sarung. Setelah itu kemudian anronta ri bongki kemudian menyuguhkan kepada amma Toa siri, pinang dan kapur (palekokkang).
Setelah itu Amma Toa kemudian berdiri dan berkata pada khalayak : Kunni-kunni aklaklang ngase mako ri nakke, nasaba inakke najokjo pangngellae ri to rie akra’na, nakuanjari ngasenmo nipa’lalangngi. (sekarang ini anda sekalian berlindung dibawah naungan saya karena saya telah mendapat rakhmat dari To Rie akra’na bahwa anda sekalian berlindung dibawah naungan saya)
Intervensi itu nampaknya jelas. Sebab meskipun masih mengikuti tata cara yang ada, namun ada beberapa hal yang berubah misalnya pada awalnya yang terpilih adalah Puto Bekkong dengan wangsit namun informasi yang beredar ia lalu menyerahkan kepada Puto Palasa. Padahal dalam pemilihan Amma sebenarnya tidak ada alasan yang semacam ini, meskipun yang terpilih secara wangsit adalah orang yang sudah tua. Dan anehnya saat ini Puto Palasa juga menganggap Puto Bekkong sebagai wakil.
Sekedar diketahui pemilihan Amma dilakukan menjelang pemilihan legislative, namun apakah ada kaitannya dengan persoalan pemilihan legislative dengan dualisme ini, nampaknya agak susah dipastikan meskipun ada indikasi kearah sana. Namun politisasi pemilihan Amma jelas, dan ada kepentingan luar yang bermain. Yang paling jelas dalam hal ini berkaitan dengan posisi Amma yang saat ini terbilang cukup strategis untuk ditarik keberbagai kepentingan . Cerita tentang pemilihan Amma Toa kali ini juga nampak muncul dalam dua versi. Versi pertama yang adanya penyerahan tadi, versi kedua tidak ada penyerahan yang terangkat memang Puto palasa, versi yang kedua inilah yang banyak beredar keluar.
Persoalan dualisme bagi masyarakat adat sendiri ditanggapi dengan biasa-biasa saja, bagi mereka mana yang paling absah nanti ditentukan oleh alam dan Yang maha Kuasa, yang duluan meninggal dalam pandangan mereka, berarti itulah amma Toa yang palsu. Namun persoalan ini justru dimanfaatkan oleh kalangan luar dan hal ini juga ada karena kepentingan-kepentinagn dan intervensi kalangan dari luar tersebut.
Bila memang ada intervensi sehingga terjadi dualisme semacam ini, maka ini adalah persoalan besar bagi komunitas tanah Toa kajang. Komunitras ini betul-betul telah mengalami perubahan akibat desakan dan intervensi dari luar.
Saat ini menjelang pemilihan Bupati lewat Pemilihan langsung, akankah kembali Komunitas ini dijadikan objek oleh tarikan berbagai kepentingan ?. Kalau samapai itu terjadi maka Komunitas Tanah Toa Kajang ini akan betul-betul berubah, berubah karena tekanan dan inetrvensi dari berbagai kepentingan luar. Wajar kemudian jika raut muka Puto Kalu salah seorang sanro dalam Komunitas tanah Toa menjadi sedih dan muram melihat berbagai perubahan itu. Perubahan ini memang patut ditangisi.
i. Konstruk Tentang Identitas Kajang
Identitas selama ini kita yakini sebagai sesuatu yang melekat pada bangsa, komunitas bahkan pada diri seseorang. Padahal sesungguhnya identitas lebih banyak dirumuskan dari luar dan terkadang identitas itu hanyalah satu imajinasi dari kalangan tertentu tentang orang atau komunitas diluar lainnya. Hal ini misalnya diyakini oleh Victor King (Ethnicity in Borneo: An Anthropological Problem ), Andrian Vickers (Bali: A Paradise Created), Stuart Hall (“The Question of Cultural Identity”), Thomas Hylland Eriksen dalam Ethnicity & Nasionalism: Antropological Perspectives, Rita Smith Kipp (Dissociated Identities: Etnicity, Religion and Class in an Indonesian society) dan Robert E.Wood (“Touristic Ethnicity: A Brief Itinerary” Ethnic and Racial studies). Misalnya bagaimana bayangan orang-orang barat tentang masyarakat dayak yang suka memetong kepala manusia. Konstruk ini sebenranya dibayangkan lalu dibangun sedemikian rupa oleh orang-orang barat, khususnya kalangan antropolognya[36].
Karena itu seperti yang dikatakan oleh Joel S Kahn, sebenranya apa yang menjadi kebudayaan yang kemudian dianggap sebagai identias komunitas tertentu adalah bagian dari proses dari budaya-budaya sebelumnya yang constructed. Tentu tidak semata-mata hanya itu, disana juga ada pertalian dan interaksi yang dinamis antara konstruk dan konteks[37].
Hal ini misalnya dapat pula kita saksikan pada komunitas tanah toa. Di tanah Toa Kajang misalnya Orang-orang tidak pernah merumuskan dirinya secara tunggal. Misalnya bahwa kami orang Kajang adalah kalangan Patuntung dan seterusnya. Bahkan sebenrnya apa yang selama ini dianggap sebagai identitasnya orang tanah Toa adalah konstruk. Konstruk itu sendiri banyak berasal dari luar. Misalnya anggapan bahwa Komunitas Tanah Toa adalah penganut ilmu hitam yang lazim disebut sebagai Doti kajang Le’leng, ini seakan-akan melekat pada masyarakat Tanah Toa sebagai bagian dari identitasnya. Hal ini mungkin mirip dengan pandangan beberapa kalangan dari luar Dayak, tentang dayak sebagai pemburu kepala manusia.
Saya ingat sekali sejak kecil, saya selalu diceritakan tentang Doti komunitas kajang Le’leng ini, bahkan orang tua saya sering memarahi saya, bila duduk didepan pintu pada waktu magrib. Katanya saat itu orang-orang kajang dalam (ilalang embayya) tengah menghembuskan Dotinya kepada orang-orang tertentu dan biasanya kalau sasaran meleset akan mengenai orang-orang yang selalu duduk dideapan pintu pada waktu magrib. Siapa yang kena ilmu ini akan menderita sakit bahkan kepalanya bisa lembek. Cerita-cerita itu melahirkan rumusan saya tentang komunitas ini pada awal-awal sebelum saya mengenalnya lebih jauh.
Sealin certita tentang identitas kajang dengan Dotinya ini, cerita bahwa mereka juga adalah orang Islam dengan keyakinan sesat juga muncul dikalangan luar Kajang. Cerita ini kebanyakan dikembangkan oleh kalangan agamawan. Seorang ketua Muhammadiyyah dari Sinjai menceritakan satu mitos bahwa beberapa ulama diutus ke daerah Bulukumba untuk bertarung dengan jin kafir yang dipuja oleh orang-orang tanah Toa. Ulama-ulama ini akhirnya memnangkan pertarungan, jin kafir yang menjadi panutan komunitas`kajang ditewaskan. Bersamaan dengan meninggalnya jin kafir ini, meninggal pulalah amma Toa yang sebenranya mendapatkan kekuatan dari Jin Kafir tersebut.
Selain itu, pemerintah, khususnya Orde baru yang lalu juga mengembangkan konstruk tersendiri terhadap masyarakat Tanah Toa Kajang ini. Tanah Toa dainggap sebagai etnis tertentu yang masih tertinggal, bodoh, dan Islam tapi Islamnya belum sempurna. Sekaligus juga pemerintah mengagap bahwa komunitas ini eksotis dan karenanya menarik untuk menjadi daerah parawisata. Konstruksi pemerintah yang semacam ini melahirkan semacam ambigiuitas, disatu sisi mereka ingin memajukan masyarakat kajang misalnya dalam soal pemahaman agama, kesehatan dan dunia sekolah namun disi lain mereka tetap ingin suapaya eksotisme yang ada di kajang tetap bertahan, itu artinya kehidupan mereka tetap harus dengan kondisi yang masih alami seperti sekarang ini.
Pada dasarnya konbstruk identtas yang dibangun oleh kalangan luar, baik pemerintah, agamawan dan yang lainnya terlalu menyederhanakan keberadaan komunitas ini. Misalnya tetang persoalan doti, ilmu hitam atau guna-guna. Yang satu ini sebenarnya tidak hanya ada di komunitas Kajang dalam, tetapi diberbagi tempat di sul-sel di kenal adanya ilmu seperti ini. Di komunitas Kajang Dalam sendiri pesoalan ilmu ini tidak juga tunggal dan tidak semuanya juga tahu. Tidak tunggal, karena di dalam masyarakat Kajang ilmu kebatinan tidak selamanya hitam, disana juga diyakini tentang ilmu-ilmu ghaib yang putih, yang digunakan untuk pengobatan atau juga digunakan untuk menghukum orang-orang tertentu yang melakukan pelanggaran adat.
Sama halnya dengan ke-Islaman yang dilekatkan sama mereka, dalam kawasan adat ke Islaman itu tidak tunggal. Ada yang mulai islamnya mengikuti yang resmi ada yang mencampukannya dengan tradisi Pasang (ini yang domianan), tapi ada pula yang masih tetap dengan keyakinan Pasanga ri Kajang dengan Patuntung sebagai agamanya (yang terakhir ini tidak mau diakui sebagai agama orang kajang oleh pemerintah, bahkan oleh kepala desa tanah Toa sendiri).
Hal yang mungkin tidak disadari dengan adanya konstruk semacam ini teantang identitas orang kajang adalah lahirnya semacam stigma dari kalangan masyarakat luar tentang kajang. Kajang dianggap sebagaia komunitas yang menyeramkan karena punya doti dianggap masih musyrik karena Islam tapi punya keyakinan-keyakinan lain. Dari sinikemudian muncul sikap mendiskriminasikan kelompok ini. Inilah salah satu jawaban kenapa ketika terjadi peristiwa penembakan terhadap beberapa msayarakat adat dalam peristiwa LONSUM masyarakat diluar komunitas ini seakan-akan menimpakan kesalahn itu justru pada masyarakat adat yang korban, sebab dikepala mereka memang sudah ada konstruk tersendiri tentang masyarakat Adat tanah toa ini.
Secara kesluruhan identitas yang dibangun oleh pemerintah terhadap komunitas ini masih berpatoakan pada homogenitas komunitas Kajang sehingga seakan-akan Kajang Dalam (Tanah toa) ini hanya merujuk pada tiga acuan yaitu persoalan etnis, geografis dan administratif. Konstruksi ini masih belum menangkap denyut khidupan yang beragam dari komunitas ini termasuk persoalan agama dan sistem sosial mereka.
Yang menarik justru beberapa kalangan di komunitas ini sendiri dalam kontek tertrtrntu malah senang dan betah dengan konstruk yang dibangun dari luar, bahkan mereproduksinya. Khusunya konstruksi pihak parawisata tentang keksotisan mereka,misalnya pakainnya yang hitam-hitam, model rumahnya dan lain-lain. Seperti misalnya Puto Kalu seorang sanro di komunitas ini dia merasa bahwa Masyarakat Adat Tanah Toa yang sesungguhnya adalah masyarakat yang tidak pernah pake sandal, diamanapun berada dan tidak pernah melepas`pakaian hitamnya.
3. Analisa Problem KebIslaman dan Kepatuntungan Komunitas Tanah Toa
A. Sejarah Islamisasi di Sul-Sel ; Problem Awal
Seperti kita ketahui kedatangan Islam di Sul-sel awalnya memang berasal dari kekuasaan. . Islam sendiri Sampai ke makassar diperkirakan sekitar tahun 1546-1565 pada saat raja Gowa ke-16 Tunipalangga. Raja Tonijallo sendiri sudah mendirikan mesjid untuk kalangan orang melayu di Mangalekana. Sekalipun demikian menurut Mattulada dua kerajaan besar yang kembar ini secara resmi memeluk agama Islam pada abad 16, tepatnya pada tanggal 9 November 1607. Kita kemudian kenal kerajaan kembar Goa dan Tallo inilah sebagai sumber dari penyebaran agama Islam. (Mattulada 1997:20-21). Memang ada perbedaan pendapat tentang kapan pastinya Islam masuk ke Makassar secara resmi. Diperkirakan oleh Spelman sekitar tahun 1603 (Notitie van speelman/ catatan spelman; 1669) ini disepakati oleh F.W.Stapel (Het Bongais verdrag; 1922) atau oleh Matthes (Makassarsche Cherestomathic;1883)dan Crawfurd (History of the Indian Archipelago; 1820) pada tahun 1605. seorang peneliti lain Rouffaer dengan bersandar kepada Makassarsche Historien menunjuk tahun 1607, sebagai tahun masuknya islam. Perbedan ini dilukisakan dengan cukup detail oleh Noorduyn dalam Islamisasi di Makassar[38].
Ada satu cerita menarik yang menggambarkan bahwa awalnya ada perseteruan antara Datu Tinate (Raja tanete) anak dari Raja Gowa dengan ayahnya, dia mencurigai ayahnya tertarik bahkan telah memeluik agama islam, ia sendiri sebelumnya telah memeluk agama Kristen. Menurutnya Islam lebih berbahayan bagi keberlangungan agama local yang telah ada dibanding dengan Kristen. Perseteruan itu hampir saja berubah menjadi peperangan, sampai orang potugis menegahinya dan menyarankan kedua raja itu mengundang masing-masing tokoh-tokoh agama dari kedua belah pihak. Maka Raja Gowapun mengundang tokoh agama islam dari aceh dan Raja Tanete mengundang tokoh agama Kristen Katolik dari Australia. Utusan raja Gowa sampai di aceh dan mengutus Datuk ri banding dan kawan-kawan ke Gowa, kebetulan saat itu datuk ri Bandang lagi berada di Demak, dan jarak Demak ke makassar lebih dekat dibanding Aceh.
Menurut kronik Gowa, setelah Datuk ri bandang, Datuk patimang dan Datuk ri Tiro mendarat di Pantai Manggara Bombang kerajaan Tallo (1605), raja tallo mengetahui kedatangannya, maka iapun bersegera menemuinya. Dalam perjalanan menuju ke pantai tersebut, Raja Tallo bertemu dengan seorang tua berpakaian putih. Orang tua itu bertanya: “Hendak kemana gerangan wahai raja Tallo”?,
“Saya hendak ke pelabuhan menemui tamu yang baru saja datang”? jawab Raja tallo. Orang tua itu lalu meminta Raja tallo menyodorkan kedua tangannya, kemudian ditelapak tangan itu di tuliskan Dua Kalimat Syahadat. Raja Tallo diminta untuk memperlihatkan tulisan itu kepada tamu-tamunya yang baru datang.
Setelah raja tallo menemui tamu itu, dan memperlihatkan tulisan ditangannya serta menceritakan pertemuannya dengan orang Tua aneh yang tiba-tiba muncul, ketiga tamu itu nampak kaget, lalu serta merta mencium tangan dari Raja tallo. “Paduka telah memeluk Islam sebelum kami datang, yang menuliskan ini adalah Rasulullah. Pada saat itulah menurut cerita ini, Raja Tallo mengatakan Makkasaraki nabbia, (nabi telah menampakkan dirinya). Sebagian kalangan menggap bahwa dari sinilah nama Makassar diambil[39]
Adapun tokoh Kristen yang diundang tidak pernah sampai ke daerah Sul-sel, awalnya mereka sampai di ternate, lalau atas saran raja ternate mereka singgah di Pilipina, disana mereka meyebarkan Kristen. Dua diantaranya mendapatkan musibah dan gagal melanjutkan perjalanan ke Sul-sel.
Lupakan sejenak proses islamisasi diatas, sebab proses islamisasi ini beserta tahun-tahunnya adalah sejarah resminya islam disebarkan dan diterima di makassar oleh para raja. Justru karena sejarah islamisasi yang dari atas kebawah ini (Top Down) yang membuat Belanda pada tahun 1895 mengeluarkan peraturan yang sangat merugikan komunitas local. Salah satu peraturannya saat itu adalah peraturan nomor 198 yang mewajibkan semua perkawinan yang bukan Kristen dan Hindu untuk kawin secara Islam. Dari sini juga muncul kategori-kategori dari colonial yang ditujukan kepada kalangan komunitas local yang masih teguh terhadap keyakinannya sebagai heidenen (kafir) dan sebagai a residual factor (barang yang tersisa)
Padahal sesengguhnya banyak yang memperkirakan kedatangan Islam jauh sebelum itu,Namun demikianlah adanya sejarah islamisai di sul-sel ini selalu berasal dan diawali dari cerita para raja. Cerita tentang islamisasi yang berangkat dan berasal dari masyarakat local atau subaltern diabaikan sama sekali.
Tentang hal ini banyak cerita yang menarik yang perlu kita angkat, salah satunya adalah pengakuan dari K.H. S. Jamaluddin Assegaf Puang Ramma dalam bukunya Kafaa dalam Perkawinan dan Dimensi masyarakat Sul-sel (Tp dan Tt) masuknya islam ke sul-sel diperkirakan sekitar tahun 1320, jauh dari tahun yang tertera dalam naskah-naskah sejarah yang ada.
Yang pertama datang ke sul-sel ini adalah seorang sayyid yang bernama Sayyid Jamaluddin Akbar al-Husaini. Ia adalah kakek dari Maulana Malik Ibrahim,Sunan Giri dan sunan gunung Jati. Sayyid Jamaluddin datang dari aceh lewat Pajajaran ke majapahit, saat itu yang memerintah adalah Raden Wijaya. Dari Sini sayyid Jamalauddin lalu melanjutkan perjalanannya ke Sul-sel. Sampai di sul-sel ia mendarat di pantai Bojo nepo kabupaten Barru dan masuk ke Bugis Tosara (Wajo). Sayyid Jamaluddin meninggla sekitar tahun 1320 M.
Versi ini kemudian menjelaskan bahwa masuknya islam di Sul-sel adalah sekitar abad ke -13 , dan raja yang pertama memeluk agama Islam adalah La-Maddusila. Ini juga di temukan dalam kitab Hadiqatul Azhar yang ditulis oleh Ahmad bi Muhamad Zain al-Fattany mufti kerajaan Fattani (Malaysia).
Penyebaran islam yang dilakukan oleh Sayyid Jamaluddin al-Husaini ini, tidak kental nuansa Syariatnya, malah yang menarik, pertama-tama datang didaerah Wajo yang diajarkan oleh Sayyid ini adalah Ilmu bela diri yang kemudian belakangan dikenal dengan Langka Arab. Dari sini kemudian kata ini berobah menjadi Langkara dari sini lalu menjadi Langgara, yang kemudian dikenal sebagai nama Mushollah .
Selain cerita ini, cerita lain tentang islamisasi yang terjadi di Sul-sel, juga tidak pernah didiangkat oleh sejarah. Islamisasi itu dilakukan oelh Sayyid Jalaluddin di Mangara Bombang sekarang dikenal dengan Cikoang. Penyebabnya tentu saja karena Sayyid jalaluddin ini tidaklah diterima baik dalam lingkungan kerajaan Gowa. Akhirnya Karena peyebaran ajarannya tidak melalui kekuasaan dan legitemasi para raja, diapun kurang dikenang dalam sejarah islamisasi, malah keturunan dan pengikutnya saat ini mendapat cap pelaku bid’ah dalam islam. Padahal proses islamisasi yang dilakukannya tidak dengan nuansa syariat yang kaku tapi penuh dialog dengan budaya setempat. Misalnya saja dia mengganti rebbana yang terkesan Arab dengan Ganrang sebagai alat musik saat memperingati maulid dan mengganti nama Maulid Nabi dengan kaddo minyak.
Demikian halnya para penganjur islam Lokal, seperti Latola Pallipa Putewe, iapun tidak mendapatkan tempat yang laik dalam sejarah islamisasi di Sul-sel. Padahal Latbola ini adalah penganjur Islam, Ia dalah wali yang secara langsung mendapatkan anugerah berupa wahyu dari Allah SWT. Bagi keturunan Latola Semacam Puang Barakka dan Peno, Latola adalah seorang wali yang sangat berjasa meyebarkan Islam di Langga, dan Katteong bahkan Pinrang pada umumnya. “Latola adalah penganjur Islam di daerah ini, dialah yang mengajarkan kepada masyarakat pada masa itu bagaimana seharusnya seorang muslim mengamalkan ajaran agamanya”. Ujar Puang Barakka dengan tegas. Seorang peneliti yang lain yang juga berasal dari IAIN Alauddin Fakultas Adab yaitu Muhammad Adnan justru mengambil kesimpulan bahwa Latola ini adalah seorang wali penganjur Islam di mattiro Sompe kabupaten Pinrang. Hal ini juga didukung oleh Dra. Syamsuez Salihima M.Ag Sekretaris Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam di fakultas Adab IAIN Alauddin Makassar. Tentang cara-cara Latola dalam mengembangkan ajaran Islam yang masih ada unsur-unsur kepercayaan lokal menurut Dra Syamsuez, Islam dalam pengembangannya memang harus berdialog dengan budaya setempat, “Islam datang kesatu tempat tidak boleh hitam putih tapi harus bisa saling mengisi dengan budaya di tempat mana ia akan menapak”.tandasnya. Bahkan cerita menganai kewalian dari latola yang bisa ke Mekkah dengan mengendarai kuda menuruitnya itu bisa saja terjadi bagi seorang wali.[40]
Cara-cara para penuilis sejarah yang menganggkat proses Islamisasi yang berasal dari kerajaan ini membuat cerita-cerita keberislaman yang lain, yang lokal, yang bernuansa sufiistik, yang berdilaog dengan kultur setempat dan lainnya tidak terlalu dikenal dalam masyarakat. Sehingga keberislaman yang muncul seperti di Cikoang, Bissu, Karampuang, cerekang dan juga di Tanah Toa tidak mendapatkan apresiasi. Malah ketika itu muncul, dianggap sebagai keganjilan,anomali bahkan kesesatan dalam islam, karenanya perlu diluruskan bahkan ditumpas.
Jangankan itu, yang masih berkaitan dengan kerajaan tapi nuansa ceritanya meyimpang, misalnya Cerita tentang bagaimana Islam pertama diterima oleh raja Tallo yang berkaitan dengan Nabi Muhammad menampakkan dirinya, jarang diangkat oleh para penulis sejarah. Cerita ini lebih banyak berkembang di masyarakat. Bahkan Norduyeen mengharapkan kehati-hatian terhadap cerita semacam ini. Padahal dalam konteks masyarakat lokal, cerita seperti ini adalah bagian dari permainan dan plesetan mereka. Bagaimana pusat dialihkan tempatnya, tidak lagi di mekkah, apalagi di aceh, tetapi berasal dari makassar sendiri. Tokh nabi Muhammad muncul di makassar, dan langsung mengislamkan sendiri raja Tallo saat itu, sebelum ketiga datuk yang terkenal itu mengislamkannya.
Konstruk sejarah islamisasi di sul-sel inilah yang merupakan problem awal. Dimana masyarakat diperlihatkan gambaran awal tentang Islam yang berangkat dari otoritas tertentu. Demikian halnya gambaran tentang kekuasaan yang dekat dengan agama nampak jelas dari berbagai uraian sejarah masuknya islam disul-sel ini. Ini juga memberikan legitemasi bahwa negara atau pemimpin berhak mengatur agama masyarakatnya.
Maka jangan heran bila saat ini para pengusung Formalisasi syariat islam juga bicara tentang sejarah masuknya Islam di sul-sel. Sejarah yang dimaksudkannya tentu saja sejarah yang berlkaitan dengan islamisasi yang berasal dari kerajaan.
B. Islamisasi di Tanah Toa; Dari Gowa, Luwu atau Muncul dari Kajang sendiri
Proses Islamisasi di daerah ini terjadi hampir bersamaan dengan proses islamisasi di kerajaan Gowa, kedaerah ini diutus Datuk ri Tiro untuk mengembangkan ajaran islam. Hal ini terjadi sektar abd ke-!7. Dalam versi Mattulada kedatangan Islam di Tanah Toa Kajang bermula ketika kerajaan Gowa resmi memeluk agama Islam, saat itu Amma Toa beserta pembantunya mengadakan rapat merespon kedatangan agama baru ini, hasil dari rapat itu mengutus beberapa orang untuk mempelajari Islam, yaitu Janggo Toa, ke Luwu belajar pada Datuk Patimang disana ia mempelajari syhadat, tata cara peyembelihan hewan, sedsekah dan khitan, Janggo To Jarra ke Wajo belajar disana untuk melengkapi pengetahuan tentang Islam dan juga belajar tentang rukun Islam, Tu Asara daeng Mallipa dikirim ke Gowa. Diantara ketiganya hanya ajaran yang diterima Janggo Toa dari Datuk Patimang yang diterima oleh Amma Toa, sedangkan ajaran yang diterima oleh Janggo To Jarra dan Tu Asara dg Mallipa ditolaknya karena dianggap merusak kesakralan ajaran yang ada di tanah Toa Kajang[41].
Versi lain yang dia kutip dari A.A. Cence, The Patuntungs in the Mountains of Kajang bahwa ketika masyarakat Kajang telah bersentuhan dengan ajaran Islam Karaeng Matoa yang biasa disebut juga dengan Janggo Toa Kajang diutus ke Bulo-Bulo untuk mempelajari Islam. Ajaran yang didapatkannya adalah sikkiri, kalatting, sembajang dan takkang jeko (tongkat yang dipakai ketika khutbah). ketika Janggo Toa Kajang telah memeluk Islam dan menerima beberapa ajaran agama ini ia tetap masih terus makan babi, maka dianggap bahwa ini adalah bentuk ketidak sempurnaannya ajaran Islam yang diterima oleh Janggo Toa. Akhirnya posisi Janggo Toa Kajang ini digantikan oleh guru Patuntung dalam memimpin upacara ritual potong rambut seorang anak yang diadakan oleh Karaeng Kajang.
A.A Cence juga menceritakan bahwa ketika datang agama islam terjadi perbincangan antara Ada’ Limayya dengan Amma toa yang saat itu dijabat oleh Bohe Kato. Hasil pembicraan itu Bohe kato mengirim tiga utusan dari Lembang untuk belajar islam di Gowa, mereka adalah To asara, Tomi’di dan Tonasiba. Di daerah Gowa yaitu tepatnya di Bonto Langkasa mereka mendapatkan ajaran islam yang berkaitan dengan Puasa, Kallong Karambu (tata cara pemotongan kerbau), kalatting (talking), nikah, sambajang (sembahyang), sikkiri (dzikir), Korang (Qur’an), Katuba (khutbah), Poke Pangka (tombak bercabang), sakka Pittara (zakat fitrah).[42]
Setelah kedatangan ketiga utusan ini membawa ajaran islam, diceritakan bahwa Amma Toa saat itu yang bernama Bohe Kato memeluk agama islam, dia kemudian digelari dengan Bohe Sallang. Pada saat itu masyarakat tanah toa merasa bahwa islam sudah diterima di daerahnya, maka merekapun menerima agama ini.
Di masyarakat sendiri ada cerita sendiri tentang proses Islamisasi yang terjadi di Tanah Toa ini, seperti yang diceritakan oleh Galla Puto (juru bicara Amma Toa, nama aslinya Puto Beceng).
Syahdan, kedatangan Datuk ri Tiro, diketahui oleh Amma Toa, Amma Toa juga mengetahui, bahwa Datuk ri Tiro ini datang membawa ajaran baru. Selain itu datuk ri Tiro juga diketahui memiliki ilmu yang tinggi. Lalu diundanglah Datuk ri Tiro, untuk mengetahui apa maksud dan tujuannya, serta ajaran apa yang dibawanya. Akhirnya terjadilah dialog yang menarik anatara keduanya, dialog itu seputar hakikat ketuhanan dan hakikat diri manusia. Dalam dialog yang sifatnya saling menjajal kedalaman pengetahuan itu diceritakan berakhir imbang. Pertarungan lalu dilanjutkan untuk menjajal kesaktian masing-masing. Datuk ri Tiro lalu menyusun telur sampai tingginya melewati puncak rumah. Namun amma toa sendiri menunjukkan kesaktiannya dengan mengambil telur itu mulai dari tengah, dan telur itu tetap tersusun, tidak ada yang jatuh. Pertarungan lalu dilanjutkan mereka berdua melompat kepelepah pohon kelapa, Datuk ri Tiro berdiri di atas pelepah itu, sedangkan Amma Toa berdiri dibawahnya dengan kepala menghadap ke tanah. Setelah pertarungan ini, mereka lalu ngasoh dibawah pohon kelapa tersebut. Amma Toa lalu menawarkan apakah Datuk ri tiro ingin minum air kelapa, datuk ri tiro mengiyakan, lalu Amma Toa tanpa memanjat berhasil mendapatkanbeberapa butir pohon kelapa, dia hanya menunjuk buah kelapa di pohonnya dan kelapa itu jatuh ketanah. Datuk ri Tiro tersenyum, lalu berkata: “kenapa-suasah-susah menjatuhkan kelapanya ketanah”. Datuk ri tiro lalu berdiri dan melambaikan tangannya kearah pohon kelapa, pohon kelapa itu tiba-tiba merunduk, lalu dengan gampang Datuk ri tiro memetik buah kelapa tersebut[43].
Selain cerita ini, amma Toa punya cerita tersendiri tentang proses islamisasi di Tanah Toa Kajang. Bagi Amma Islam justru bukanlah berasal dari luar kajang, tatpi malah berasal dari Tanah Toa itu sendiri, dari sini baru kemudian tersebar keluar kedaerah-daerah lain. Namun dia melanjutkan bahwa pelaksanaan ajaran Islam di tanah Toa kajang tidak sama dengan yang diluar. Kenapa ? Dia lalu menjelaskan, bahwa awalnya Islam itu asalnya dari dalam Tanah Toa, “Kunni nampa Tassue Sulu” (Disini mulai lalu tersebar keluar). Karena itu menurutnya semua syariat Islam itu keluar semua dari tanah Toa, kedaerah-daerah lain. Itulah sebabnya mengapa di luar orang melaksanakan syaraiat seperti shalat, naik haji, zakat dan Membaca al-quran. Adapun yang tinggal di kajang adalah hakikat yang disebut dengan tapakkoro[44].
Menurut cerita Amma Toa pada saat itu nustru Datuk ri Tiro dan datuk ri Bandanglah yang berasal dari tanah Toa Kajang, tetapi karena mereka berdua meminta ilmu dan kekuasaan, maka amma Toa memberikannya tempat diluar Tanah Toa. Tanah Toa sendiri tidak bisa dijadikan sebagai tempat mengembangkan ilmu dan kekuasaan karena tanah Toa adalah tanah kamase-masea. Keduanya ini adalah justru murid dari Amma Toa. Yang bertarung kemudian dan pertarungannya berakhir imbang adalah dua datuk itu dan bukan pertarungan Amma Toa dengan salah dari mereka.
Pertarungan yang menakjubkan yang menurut ceritan ini akhirnya berakhir imbang, yang oleh sebagian akademisi, seperti Samiang Katu dari IAIN Alauddin Makassar, tidak mau memperpegangi storytelling semacam ini. Menurutnya mengutip Azyumardi Asra (1995) dari De Graaf dan Johns, penceritaan semacam ini tidak bisa sepenuhnya dijadikan pegangan, karena tidak akurat dan banyak mengandung mitos. Padahal menurut T.Minha, tugas storytelling memang bukan untuk mengangkat fakta-fakta sejarah, karena alih-alih mangangkat fakta yang terjadi storytelling malah mengalih tempatkan dan mengaburkan antaran fakta dan fiksi, sebab tugas storytelling memang seperti itu. Dari sini biasanya cerita itu ingin mneunjukkan sesuatu sekaligus sebagai bentuk perlawanan terselubung komunitas yang punya cerita. Seperti katan T.Minha: Fungsi Storytelling dalam pandangan Trinh T. Minha adalah
to (re)tell stories is to enter into the constant recreation of the world, of the community, of mankind. Talking therefore brings the impossible within reach. It Contributes to widening the horizon of one’s imagination; to constantly shifing the frontier between reality and fantasy; and to questioning, through the gifts of the so called supernatural and the unusual, the limits of all that is thought to bhe ordinary and believable.
{(berulang) cerita adalah memasuki wilayah kreasi terus menerus tentang dunia ini, tentang komunitas, tentang kemanusiaan. Berbicara, bercerita dengan demikian membuat yang tidak mungkin menjadi mungkin untuk dicapai. Ia membantu memperluas cakrawala imajinasi; secara terus menerus, menggeser dan mempertukarkan daerah garis depan yang memisahkan antara realitas dan fantasi, dan dengan keadialamiaannya dan ketidak biasaannya, mempertanyakan batas-batas segala hal yang dianggap biasa dan mudah dipercaya). (Minha 1997:28)
Cerita ini misalnya ingin menunjukkan bahwa anatara Islam dan ajaran Patuntung atau Pasanga ri kajang tidak ada yang lebih tinggi dan lebih benar, keduanya sama-sama mengandung nilai yang luhur, karena itu mestinya anatara keduanya yang terjadi adalah dialog dan bukannya salaing menaklukkkan, karena bila yang terakhir yang terjadi maka hanya akan merugikan keduanya.
Juga ketika Amma menceritakan bahwa Islam sesungguhnya berasal dari kajang baru kemudian keluar kledaerah lain, ini adalah hal yang luar biasa. Komunitas lokal ini sedang membalikkan yang mana pusat dan yang mana pinggiran dalam Islam. Kalau selama ini cerita para ulama pusat islam adalah di mekkah, maka dalam cerita amma Toa pusat islam ya....di Tanah Toa itu sendiri dan yang lainnya adalah pinggirannya[45].
Selain ini, yang menarik kita amati dalam proses Islamisasi di tanah Toa ini adalah adanya berbagai versi tentang pertama kalinya masuk Islam didaerah ini. Tentu saja yang menarik bagi saya bukan yang mana yang paling absah dan validitasnya dalam sejarah yang paling diakui. Tetapi beragamnya versi tersebut khususnya ketika masyarakat memproduksi sndiri cerita tentang masuknya islam di Tanh Toa Kajang menunjukkan bagaimana sesngguhnya sejarah ketika muncul saat ini. Sejarah bukan lagi muncul untuk kepentingan menceritakan fakta yang sudah lalu tetapi ia muncul dan diuaraikan ulang, diceritakan dan dipaparkan ulang untuk kepentingan masa kini.
Perdebatan sejarah tentang datangnya islam pertama kali di daerah ini, apakah dari Gowa, Luwu ataupun dari tanah Toa sendiri bukanlah sekedar perdebatan data-data sejarah ini adalah bagian dari perebutan kuasa.
C. Periode Kedua dan Gelombang Ketiga Peyebaran Islam di tanah Toa
Demikianlah cerita awal masuknya Islam di daerah Tanah Toa ini , suasana dialog dan saling mengisi antara islam dengan kbudayaan yang ada di kajang terjadi dengan harmoni. Periode ini kita bisa sebut periode pertama atau gelombang pertama islamisasi di tanah Toa. Setelah itu pada masa kolonial, khusunya pada masa pergerakan kemerdekaan tidak ada gerkan islmasisai yang signifikan. Justru pada masa Pemborontakan Kahar Muzakkar sekitar Tahun 1950 - 1957, proses Islmisasi dalam bentuk yang lain berlangsung di Tanah Toa ini. Periode kedua atau gelombang kedua dari Islamisasi agak berbeda dari sebelumnya. Pada masa ini islamisasi cenderung dilakukan oleh gerombolan kahar Muzakkar dengan cara-cara kekerasan[46].
Saat itu bukan hanya komunitas Tanah Toa Kajang saat itu yang mersakan akibat dari gerakan Islmisasi yang dilakukan oleh DI/TII ini. Hampir semua komunitas lokal di sul-sel merasakan akibat dari gerakan islamisasi yang dilakjukan oleh gerombolan DI/TII ini. Bissu misalnya, pada masa itu diburu-buru, ditangkap, sebagian besar dibunuh, peralatan ritualnya dihancurkan[47]. Yang tertangkap dipaksa bekerja dan dipaksa menjadi laki-laki tulen. Tak kalah memprihatinkannya adalah apa yang dialami oleh komunitas Bawakaraeng[48], komunitas ini juga diburu-buru, dicegat keberangkatannya ke puncak gunung bawakaraeng, banyak diantara mereka yang terbunuh karena tetap memaksakan diri pada keyakinannya. Cerita serupa juga dialami oleh komunitas Cikoang di Takalar, Karampuang di Sinjai dan beberapa komunitas yang lain yang ada di sul-sel ini.
Di komunitas Tanah Toa kajang sendiri, gerombolan Kahar Muzakkar yang masuk membawa missi memurnikan agama Islam komunitas tanah Toa Kajang. Menurut Amma Toa, banyak dari kalangan masyarakat yang merupakan pendukung adat saat itu yang dihabisi oleh pasukan DI/TII. Meskipun menurut Amma Toa gerombolan ini tidak berhasil masuk kedalam kwasan ilalang embayya, tetapi mereka banyak merusak peralatan ritual dan kalompoang-kalompoang yang ditemukan di rumah penduduk[49].
Selain melakukan pemurnian islam dengan cara kekerasan, pasukan kahar menurut penjelasan amma Toa saat itu juga memungut pajak dari masyarakat. Pungutan pajak saat itu sebanyak sesuku (1/2 Rupiah), kalau tidak sanggup dibayar malah semakin dinaikkan. Bagi yang tidak mau membayar malah diculik.
Persoaln inilah kemudian yang memicu perlawanan dari masyarakat Tanah Toa kajang ini. Menurut penjelasan dari Puang Mukale salah seorang mantang veteran yang ada di desa tamaona kecamatan Kindang yang banyak terlibat perseteruan dengan gerombolan DI/TII ini . Awalnya Amma Toa datang ke Alia T, komandan batalyon DI/TII yang berkedudukan di Hulo (salah satu desa di Bulukumba). Amma Toa kemudian menceritakan tindakan dari gerombolan DI/TII terhadap komunitas Tanah Toa Kajang. Saat itu Alia T mengatakan kalau ada pasukan DI/TII yang melakukan tindakan seperti itu, maka dia bukanlah bagian dari kami. “Silahkan lawan bila mereka melakukan tindakan sewenang-wenang”. Ucap Alia T saat itu. Lalu Amma Toapun kembali ke komunitasnya. Setelah sampai dikomunitasnya iapun membentuk pasukan yang disebut dengan Dompea. Dompea ini awalnya berjumlah tujuh orang, dipimping oleh Galla Sangkala. Mereka kemudian berlatih di Borong karamah. Dari jumlah tujuh orang kemudian bertambah banyak dan akhirnya menjadi satu pasukan. Dompea ini kemudian melakukan perlawanan bersenjata terhadapa pasukan Kahar atau pasukan DI/TII saat itu.
Periode kedua Islamisasi di Tanah Toa kajang ini dalam ingatan orang-orang tanah Toa berlangsung cukup kelam. Islam muncul saat itu dengan wajah yang bengis, tak ramah dan bahkan sama sekali tak mau berdialog dengan tradisi setempat. Meskipun saat itu terjadi perlawanan dari komunitas Tanah Toa kajang, namun gerkan yang dilakukan oleh kahar dan pasukannya cukup mempengaruhi beberapa kalangan di daerah Kajang. Banyak diantara mereka yang betul-betul mulai meninggalkan tradisi yang mereka sudah yakini selama ini, dan beralih menjadipenganut islam puritan.
Setelah periode ini,periode berikutnya bisa kita katakan sebagai gelombang ketiga Islamisasi di tanah Toa Kajang. Islamisasi ini bentuknya lewat gerakan kultural yaitu lewat dakwah dan pendidikan. Ini mulai berlangsung sekitar tahun 1970-an samapai sekarang. Ini dilakukan karena kalangan ini menganggap bahwa komunitas`Tanah Toa Kajang adalah islam. Namun menurut mereka islam yang dianut oleh komunitas tersebut belumlah sempurna, masih perlu dilakukan bimbingan. Hal ini juga diamini oleh kalangan pemerintah. Karena itu baik dari institusi pemerintahan maupun dari organisasi keagamaan seperti Muhammadiyyah dan UMI mulai melakukan program keagamaan khusus di dalam kawasan adat.
Muhammadiyyah misalnya menjalankan dakwah khsuus untuk daerah ini, mereka melakukan pengajian di mesjid al-tajdid yang ada di desa tanah Toa dan setiap bulan ramadhan melakukan safari ramadhan di tempat ini. Menurut ketua Muhammadiyyah kabupaten Bulukumba, dakwah yang dilakukan di daerah ini harus bersifat kultural dan persuasif tidak boleh dengan jalan kekerasan seperti yang sudah-sudah. Menurut Ustas Kamaluddin pimpinan Muhammadiyyah bulukumba ini, gerakan dakwah kultural yang dilakukan Muhammadiyah di daerah kajang sudah berlangsung lama, bahkan sejak masuknya Muhammadiyyah diBulukumba sekitar tahun 1920. Bahkan menurut penjelasannya kedatangan pertama K.H. Ahmad Dahlan k e sul-sel, langsung mengunjungi daerah kajang di Bulukumba, disana memang sudah ada muridnya yaitu Kr. Aco, H. Yahya dan Bolong dg Matallang. Cuma saat itu gerekannya belum sistematis dan terorganisisr dengan baik. “Saat ini Muhammadiyyah baru melkaukan gerkan dakwah kedaerah itu lebih terorganisir”, jelas Ustas Kamaluddin.
Bagi Muhammmadiyyah Bulukumba daerah tanah Toa Kajang memang perlu pendidikan dan dakwah, sebab beberapa hal disana masih menyimpang dari ajaran Islam. Bahkan seperti diakui oleh ketuanya Ustas kamaluddin ada beberapa tradisi Islam disana yang juga sudah harus di hilangkan. Misalnya zikkiri juma’, ini memang berasal dari tradisi Islam, yaitu membaca barazanji setiap malam jumat, namun dilakangan masyarakat lokal seperti di tanah Toa Kajang cara membacanya sudah salah, karena biasanya melakukan penambahan-penambahan dan juga pengurangan-pengurangan.
Pemerintah sendiri melalui departemen agama sejak dari dulu sudah aktif melakukan gerakan dakwah didaerah ini. Dengan dalih memberi bantuan, proses islamisasi itu mulai dijalankan. Dirjen Haji misalnya telah memberikan bantuan Qur’an sebanyak 500 buah, sarung 500 buah dan mesjid satu buah di desa tanah Toa dusun Lurayya pada tahun 1986. Pihak Pemda melalu departemen Agama seperti yang dijelaskan oleh Drs. Syafruddin kepala DEPAG Bulukumba sanagat aktif melakukan gerkan dakwah dan pendidikan ke daeraha ini. “Pola berfikir dan keyakinan masyarakat Tanah Toa harus berubah, dan pelan-pelan kita sudah usahakan itu, yang kita tidak robah nanti adalah keadaan lingkunagannya yang alami da keeksotisan masyarakatnya”. Jelas Kepala Depag Bulukumba ini
Pemerintah bahkan bekerja sama dengan kalangan akademisi untuk membentuk kesempurnaan keberagamaan komunitas adat tanah Toa kajang ini. Dengan Universitas Muslim Indonesia (UMI) misalnya dengan dalih melakukan pembinaan mental terhadap komunitas Tanah Toa Kajang, sejak tahun 1994 telah menjadikan desa ini sebagai desa binaan. Setiap tahunnya dikirim KKN dari UMI ke lokasi ini dengan menitik beratkan programnya pada pembinaan mental dan spritual. Tidak hanya itu UMI bahkan aktif memberikan bantuan-bantuan keagamaan, seperti qur’an dan buku-buku agama, bahkan UMI pulalah yang punya peran penting mendirikan mesjid pertama di desa Tanah Toa ini yang diberinya nama al-tajdid (Pembaharuan).
Selain itu sejak tahun 80-90-an Pemerintah telah aktif mensosialisasikan al-Quran di daerah Tanah Toa, namun pada saat itu masih disekitar ipantarang embayya (kawasan Tanah Toa tapi diluar kawasan adat). Tapi akhir-akhir ini gerakan ini semakin gencar. Seiring dengan gerakan formalisasi Syariat Islam di Bulukumba dengan pemberlakuan PERDA-perda syaraiat Islam maka gerakan Islamisasi semakin jaun kedalam kedaerah kawasan adat Tanah Toa. (Persoalan Perdaisasi ini akan dibahas tersendiri)
Proses panjang dari islamisasi ini, memang telah membentuk bangunan tersendiri pada komunitas tanah Toa kajang ini. Komunitas Tanah Toa dengan proses ini tidak bisa lagi mempraktekkan Patuntung dengan pasanga Rikajang seperti nenek moyang mereka dulu melakukannya, ada ajaran baru yang secara perlahan dialirkan dan didesakkan dikepala mereka. Namun betulkah proses ini membuat Komunias tanah toa kajang betul-betul telah meninggalkan seratus persen ajaran tentangn patuntung dan pasanga ri kajang? Jawababnnya tentu saja tidak, dan tulisan sebelumnya telah menggambarkan sepintas hal itu, bahwa yang terjadi justru adalah munculnya tradisi baru, ruang hibrid hasil dari kreatifitas komunitas ini mendialogkan dan menegosiasikan antara trdisi lokal mereka dengan tradisi yang baru, termasuk Islam diantaranya. Cerita berikut ini mungkin bisa lebih menggambarkan hal itu.
D. Konstruksi tentang Kepatuntungan
Sebelum lebih jauh membicarakan soal konstruk ke-Islaman dan kapantuntungan ini dan bagaimana relasi yang terabangun antara keduanya, saya terlebih dahulu akan menjelaskan tentang Patuntung atau ke-Patuntungan ini, sebab soal kepatuntungan ini juga masih menimbulkan perdebatan.
Selama ini memang masih menjadi perdebatan dikalangan para peneliti komunitas Tanah Toa Kajang tentang agama atau keyakinan orang-orang Tanah Toa kajang. Beberapa peneliti dari Barat seperti A.A. Cence dan G.F. De Jong jelas menganggap. bahwa komunitas tanah toa Kajang ini adalah penganut Patuntung yaitu suatu keyakinan kuno atau kepercayaan yang sudah ada di sebagian masyarakat Sul-sel yang berdiam disekitar Gunung Bawakaraeng, mulai dari Gowa, Takalar, Bantaeang, Bulukumba, sebagain sinjai dan juga sebagian Pangkep sebelum datangnya Islam ataupun Kristen. Masyarakat Tanah Toa dianggap sebagai pusat dari ajaran Patuntung ini. Istilah Patuntung dalam bahasa Konjo bermakna beberapa hal diantaranya:
- Belajar; yaitu orang yang menuntut ilmu kebatinan dan ilmu-ilmu yang berkaitan dengan religi untuk lebih mengenal Tuhan.
- Puncak atau ketinggian; sesuatu yang menjadi batas terakhir pencarian seseorang, seseorang penganut patuntung akan berupaya menjcapai tingkatan ini.
- Mancari, yaitu satu kemauan yang keras dengan tekad bulat berupaya mendapatkan apa yang dicarinya, jadi bukan sekedar mencari, tetapi disana ada kemauan keras untuk mendapatkan apa yang dicari[50].
Dalam patuntung ada delapan ajaran pokok antara lain :
- anre nakulle nialle tauwwa Atuya
- anre nakulle abbura-bura, aklukka na botoro
- Anre nakulle ammuno paranta tau
- Parallui sa’bara
- Parallui tuna
- Parallui nihargai paranta rupatau
- parallui atunru-tunru na nibantui paranta tau
- Parallui ni hargai paraturanna karaengnga, ada’ na amma Toa[51]
Artinya:
- Tidak boleh mengganggu kepercayaan orang lain
- Tidak boleh berdusata, menipu, mencuri dan berjudi
- Tidak boleh membunuh orang lain, kecuali terpaksa untuk mempertahankan diri
- Harus sabar
- Sopan dan rendah hati
- Harus menghargai sesama manusia
- Haus patuh mengikuti perintah dan bersedia memberikan pertolongan kepada orang lain
- Patuh kepada pemimpin, raja dan Amma Toa
Persoalan Patuntung memang terdapat dalam Pasanga ri Kajang seperti diutarakan oleh Galla Pantama, Solong dg palalo:
Patuntung Manuntungi (Yang mencari, menghayati dan mengamalkan).
Beberapa kalangan orang Kajang sendiri seperti Kahar Baso dan beberapa pemangku adat lainnya bahkan termasuk Amma Toa tidak mau mengakui bahwa inilah agama orang-orang Tanah Toa. Menurut mereka itu hanya sebutan orang terhadap mereka. Patuntung bagi masyarakat Tanah Toa ini adalah bagian dari tarekat yang mereka yakini untuk mencapai kesempurnaan dalam hidup dan mencapai apa yang kiata sebut dengan Insan kamil.
Amma Toa sendiri mencoba memilah-milah apa yangdimaksud dengan Patuntung Manuntungi ini. Namun penjelasannya tidak sepenuhnya betul-betul menjelaskan tentang Patuntung ini. Menurutnya Pasanga adalah Manuntungi maksudnya pasanga ini yang menuntun orang untuk mencari kebenaran. Islam nituntungi yang dicari yang dituju sedangkan sembahyang Nipatuntungi yang terakhir ini Amma justru menjelaskannya diluar yang saya bayangkan. Nipatuntungi dalam artian ini ternyata dibenturkan. Maksudnya pada shalat kita membenturkan dahi kita dilantai pada saat sujud.
Ini agak membingungkan, tetapi kelihatannya masyarakat Tanah Toa tidak terlalu ingin persoalan ini disentuh. Mereka tidak ingin persoalan ini banyak diungkit-ungkit oleh orang. Ini boleh jadi dilakukan karena selama ini memang persoalan keyakinan mereka yang selalu distigmatisasi oleh orang lain. Kalau mereka banyak mengungkit persoalan Patuntung maka boleh jadi ini menjadi senjata lagi bagi kalangan yang selama ini selalu menekan komunitas Tanah Toa Kajang. Apalagi sebutan patuntung saat ini hanya ditujukan khusus bagi komunitas Tanah Toa Kajang.
Tentu memang saat ini kita tidak bisa serta merta mengatakan bahwa masyarakat Tanah Toa adalah penganut Patuntung, disamping karena mereka memang tidak mau dikatakan sebagai penganut agama itu juga karean saat ini telah terjadi perkawinan antara keyakinan Patuntung ini dengan ajaran Islam, sehingga meskipun dulu mereka diyakini sebagai penganut Patuntung, namun sekarang yang benar-benar sebagai Patuntung yang khas sudah tidak ada lagi . Komunitas ini sendiri sudah tidak bisa membedakan mana yang ajaran yang berasal dari patuntung dan mana yang berasal dari islam, keduanya sudah bercampur dan membentuk satu kebudayaan yang hibrid.
Namun Juga tidak mungkin mengatakan bahwa mereka sama sekali tidak meyakini tentang Patuntung ini sebab banyak dari tradisi-tradisi yang mereka jalankan saat ini baik bentuk, cara maupun tempat pelaksanaannya merupakan bagian dari keyakinan ini. Apa lagi sangat keliru kalau mengaggap apa yang dimaksud dengan patuntung adalah bagian dari ajaran Islam, seperti yang diungkapkan oleh beberapa peneliti tentang Tanah Toa kajang ini. Yusuf Akib misalnya menjelaskan bahwa namanya patuntung bagi masyarakat Tanah Toa adalah upaya untuk mengetahui secara sungguh-sungguh ajaran islam untuk mencapai derajat yang lebih tinggi[52]. Tentu kalau Akib yang mengungkapkan ini, akan berbeda kalau masyarakat lokal sendiri yang mengungkapkannya. Kalau Akib jelas ingin menunjukkan bahwa esensi Patuntung sebagai keyakinan sebenarnya tidak ada, ia hanya merupakan cara dalam memahami agama Islam. Tapi kalau ini diungkapkan oleh komunitas Tanah Toa belum tentu mereka ingin mengatakan bahwa yang namanya Patuntung hanya bagian dari cara memahami Islam, tetapi ini diungkapkan boleh jadi sebagai bagian dari siasat untuk bertahan dan supaya tidak terus menerus di stigmatisasi.
Meskipun masih menjadi perdebatan, namun dalam tulisan ini saya juga menyebut keyakinan orang kajang sebelum datangnya Islam dengan Patuntung dengan Pasanga ri kajang sebagai wahyunya.
E.Konstruk Tentang Ke-Islam dan resitensi Orang kajang dengan Kepatuntungan
Suatu hari di awal tahun 2004, saya bersama dengan Desantara berkunjung ke Tanah Toa Kajang. Kami menyempatkan diri bertemu dengan Amma Toa (Saat itu masih sebagai pejabat sementara karena belum ada pemilihan). Setelah basa-basi sejenak dan menyantap suguhan khas tanah Toa, kamipun bercakap-cakap dengan Amma Toa. Dalam percakapan itu tiba-tiba saja Amma Toa melontarkan pertanyaan. “Kalin ini, anak-anakku tentu adalah orang-orang pintar, karena itu saya mau tanya, dalam sembahyang kalian sesungguhnya meyembah siapa, siapa yang anda bayangkan ketika meyebut nama Tuhan dalam shalat”?.
Saya terperangah.... Pak Bisri dari Desantara, bertanya kepada saya apa yang dibilang Amma Toa yang saat itu melontarkan pertanyaan dengan bahasa konjo. Saya lalu menjelaskannya, setelah tahu artinya, Pak Bisri yang bersama Pak Endo saat itu manggut-manggut. Saat itu kami semua diam, hartus saya akui secara pribadi pertanyaan ini sangat sulit. “Pertanyaan ini pertanyaan hakikat, mirip pertanyaan syekh Siti jenar dihadapan sidang wali di jawa tempo dulu”. Batinku saat itu .
Melihat kami terdiam,Amma Toa lalu melanjutkan bicaranya. “banyak diantara kita dalam sembahyang hanya membayangkan huruf-huruf dan nama Tuhan, padahal itu bukanlah Tuhan, dan bila itu dilakukan maka sesungguhnya kita sudah terjebak kearah kemusyrikan”. “Kami sangat berhati-hati dalam hal itu, makanya kami disini sanagt mementingkan tapapkkoro yaitu sikap peenungan dan penghayaytan untuk lebih mengenal sang Khalik”. Lanjut Amma Toa.
Pertanyaan amma toa diatas sungguh luar biasa, ditengah proses dakwah yang terus dilakukan kalangan tertentu terhadap mereka, karena dianggap Ke-islamannya belum sempurna, masih banyak takhayul dan musyrik, Amma Toa Justru mempertanyakan balik siapa sesungguhnya yang musyrik?. Apakah komunitas tanah Toa yang begitu menjaga kesakralan dan konstruk tentang tuhan, ataukah orang luar yang mengaggap Islamnya paling resmi?.
Apa yang tengah dilakukan oleh Amma toa dengan pertanyaan tadi adalah soal mempertahankan diri, soal perlawanan ditengah stigma kalangan agamawan. Mereka ingin menunjukkan bahwa keyakinan mereka kepada Tuhan tidaklah lebih rendah dari keyakinan para penganut islam resmi, malah dalam konteks tertentu boleh jadi keyakinan orang Kajang ini lebih mendalam dari para penganut Islam resmi tresebut.
Resistensi komunitas ini tidak hanya muncul dalam dialog-dialog semacam itu, dalam mempraktekkan ibadah-ibadah dalam islam, proses ini juga nampak kental, khusunya yang berkaitan dengan persoalan syariat yang dikenal sangat formalistic dalam Islam. Pada tingkat tertentu malah resistensi itu sudah mengarah pada dekonstruksi makna syariat dalam Islam. Misalnya dalam persoalan shalat dalam Pasanga diutarakan:
Pakabajiki ateka’nu
Iyamintu agama
Naiyantu sembayangnga
Jaman-jamanji (gau’ji)
Pakabajiki gau’nu
Sara-sara makana’nu
Nanulilian latatabaya
Artinya:
“Perbaikilah hatimu, karena itulah agama. Adapun sembahyang itu pekerjaan saja. Perbaikilah tindak tandukmu, sopan santun dan kata-katamu, agar jauh dari segala cela.” (Puto Beceng:2003)
Persoalan agama dalam komunitas ini bukan sekedar persoalan melaksanakan syariat secara formal, misalnya shalat lima waktu. Tetapi lebih jauh dari itu agama sesungguhnya tergantung pada keikhlasan niat dan tingkah laku yang baik dalam kehidupan kita. Sebab dalam pandangan mereka shalat yang kita kerjakan sehari-hari hanyalah sekedar perbuatan syariat, yang justru implikasinya seharusnya terlihat dalam kehidupan kita sehari-hari.
Pemahaman ini bisa dikatakan sebagai bentuk dekonstruksi terhadap makna syariat, sebab selama ini pemahaman kalangan Islam yang mainstrem terhadap syariat seakan-akan “syariat untuk syariat”. Bahkan dalam konstruksi epistemology fiqih yang dominan kita kenal dictum al-maslah al-nash (kemaslahatan teks) seprti dalam ungkapan fiqhi mazhab Syafii Al-Ibratu bi umumi al-Nash la bi Khususi al-sabab (Satu lafads dilihat dari keumuman teksnya bukan dari kekhususan sebab). Kemaslhatan teks seperti ini jelas tidak berorientasi bagaimana syariat yang kita laksanakan berimplikasi terhadap kehidupan sehari-hari atau untuk menjawab relaitas. Karena kebenarannya diukur sejauh berguna bagi teks itu sendiri dan bukan berguna terhadap kehidupan bermasyarakat.
Untuk lebih jelasnya persoalan ini kita dapat diperhatikan dalam Pasanga ri Kajang lainnya yang berbunyi: “Je’ne Talluka Sambajang Tamattappu” (Air wudhu yang tidak pernah batal dan sembahyang yang tdak pernah putus). Pemaknaan tentang sembahyang bagi komunitas ini, semakin jelas, seperti yang tersurat dalam teks tadi. Bahwa yang namanya wudhu ataupun sembahyang tidaklah harus dibatasi dengan waktu atau sekedar aturan formal belaka, tetapi yang lebih penting adalah hikmah dari ritual itu dalam kehidupan sehari-hari. Keberadaan kita di dunia senantiasa diwarnai oleh makna-makna dari kesucian berwudhu dan ketawaddhu-an dari shalat kita.
Gaya resistensi seperti ini dari satu komunitas terhadap sesuatu yang baru, yang datang kepada mereka adalah salah satu bentuk dari cara komunitas itu mempertahankan diri (eksistensi sukunya, ajarannya dan keyakinan yang turun-temurun mereka miliki). Tentu saja memperthankan identitas dan kedaulatan diri, komunitas ataupun bangsa adalah sesuatu yang lazim, namun yang menarik dalam resistensi komunitas-komunitas lokal seperti yang tergambar dalam masyarakat Tanah Toa Kajang ini adalah cara dan bentuk perlawanannya. Perlawanan itu tidak dilakukan dengan cara frontal, misalnya dengan menolak mentah-mentah tradisi atau ajaran baru (Islam) yang masuk dalam komunitas mereka. Perlawanan itu dilakukan dengan cara-cara yang lebih halus, negosiatif bahkan adaptif. Terkadang malah komunitas ini melakukan peniruan-peniruan atau mengikuti tradisi yang dianggap mainstrem. Namun peniruan itu selalu mengaburkan terhadap apa yang ditirunya. Inilah yang dosebut oleh Homi K.Baba sebagai mimikri (1994;85-92), yaitu hubugan yang ambivalen anatara pusat dengan pinggiran ataran ajaran mainstrem dan ajaran lokal. Dengan kata lain peniruan itu bukanlah bentuk ketundukan dan kepasrahan atau melulu cerita pengorbanan komunitas lokal dan pinggiran, disana ada pula pengejekan dan pengaburan terhadap pusat ataupun yang mainstrem.
Apa yang dimaksudkan dengan Quran (al-Qur’an) atau Sembahyang dalam Pasanga ri Kajang tadi tentu saja meniru dari tradisi atau ajaran Islam. Tetapi cara mereka memaknainya justru menunjukkan sisi “pegejekan” tadi. Ajaran Islam di terima tidak dalam gumpalan yang utuh sebagaimana asalnya, tapi dipecah-pecah, dikreolisasikan sehingga tidak lagi nampak sebagaimana asalnya.
Hal ini dapat dilihat lebih jelas lagi dalam hal tradisi berhaji dari komunitas Tanah Toa ini. Haji sebagai satu ibadah juga diyakini oleh masyarakat komunitas Tanah Toa Kajang. Tentu saja sebagai satu keyakinan bahwa haji itu adalah ibdah, mereka juga merasa wajib untuk melaksanakannya. Tentu juga haji ini berasal dari ajaran dalam Islam dan karena mereka di kategorikan sebagai Islam maka mereka akan kena kewajiban itu. Disini mereka kembali memainkan pola-pola mimikri tadi. Haji tetap mereka laksanakan tetapi cara yang dilakukannya berbeda dengan cara dalam agama Islam. Ada dua cara mereka melakukan tradisi haji ini:
Pertama; Akkattere, yaitu tradisi potong rambut yang diwajibkan sekali bagi orang-orang dalam komunitas ini. Akkattere ini justru dimaknai sebagai hajinya orang komunitas Tanah Toa Kajang, dan bukan bagian dari aqiqah sebagaimana dalam ajaran Islam. Akkattere ini sebagai symbol bahwa orang tersebuit telah melaksanakan kewajiban hajinya. Karena itulah dalam acara ini didakan pesta adat dengan memanggil segenap handai tolan dan masyarakat untuk menikmati makanan yang disajikan oleh orang yang melaksanakan akkattere . Tentu saja yang penting dalam tradisi ini adalah bagaimana membangun relasi dan kehidupan sosial yang lebih baik diantara masyarakat Tanah Toa Kajang. Dan menurut Puto Beceng ini adalah salah satu hikmah yang paling subtansial dari haji.
Kedua; Tradisi haji yang dilaksanakan di Puncak gunung Bawakaraeng. Dalam tradisi ini diyakini bahwa proses pelaksanaan haji juga bisa dilaksanakan dengan naik di puncak Bawakaraeng, disanalah dilaksanakan ritual haji sebagaimana orang lain yang melaksnakannya di Mekkah. Tradisi ini jelas proses mimikri sekaligus bagian dari negosiasi komunitas Tanah Toa Kajang terhadap agama Islam.
Mimikri itu dapat dilihat dari peniruan terhadap tradisi haji namun banyak hal yang dikaburkan disana-sini. Mulai dari asumsi berhaji dalam Islam yang wajib dilakukan di tanah mekkah mereka ganti bahwa hal itu bisa saja dilakukan di puncak Bawakaraeng, Sampai mereka juga memakai istilah-istilah yang mirip dengan agama Islam. Misalnya mereka memberi nama Shiratal Mustaqimah terhadap satu titian batu yang menjadi jalan menuju lokasi pelaksanaan haji tersebut. Juga menyebut lokasi pelaksanaan haji itu “Bakkah” dan juga disana sebuah tugu batu dianggap sebagai “Kabbah”. Lebih menarik lagi adalah cara mereka berdoa, disini kelihatan mimikri itu menjadi satu bentuk kreolisasi. Dimana yang ditiru bukan saja dikaburkan tetapi di hilangkan subtansinya. Kita perhatikan salah satu doa dibawah ini:
Oh To rie Akra,na ikauji karaeng Malompoa
Ki tarimai Pakpalakku
Ki tarimai hajjiku.
Oh ….To rie Akrana
Rinnimi ri Bawakaraeng ku pabattu hajjakku (Kajang;2003)
{Wahai To rie Akrana (Allah) engkaulah Tuhan maha Besar, terimalah doaku, dan terimalah hajiku. Wahai To rie Akrana disinilah di Bawakaraeng saya tuntaskan hajatku).
Negosiasinya nampak dari bagimana komunitas ini mendialogkan tradisi yang mereka yakini dengan tradisi yang terdapat dalam Islam yaitu haji. Dalam beberapa literature sejarah diceritakan bahwa agama dan kepercayaan sebagian masyarakat Sul-sel disebut dengan agama Patuntung, keyakinan ini dianut pula oleh komunitas adat Tanah Toa Kajang. Dalam tradisi ini salah satu bentuk ritualnya adalah naik kepuncak gunung, disanalah mereka melakukan komunikasi dengan Sang Pencipta. Karena itu menurut Punag wali Orang-orang yang datang kepuncak Gunung Bawakaraeng untuk melaksanakan ritual sesungguhnya bukan hal yang baru,[53] tradisi ini sudah ada sebelum datangnya Islam, Diperkirakan jauh sebelum abad ke-15.
Kebiasaan melaksanakan ritual di Puncak Bawakaraeang ini berkaitan dengan sebagian kepercayaan masyarakat Sul_sel yang disebut dengan Patuntung tadi. Dalam kepercayaan ini diyakini adanya Sang Pencipta yang disebut dengan To Kammayya Kananna (Yang pasti terjadi ucapannya) disamping sebutan lainnya misalnya To rie Akrakna (Yang Maha Berkehendak), Sang Pencipta ini diyakini bersemayam ditempat yang tinggi. Karena itu dalam berhubungan dengan Sang Pencipta ini, masyarakat Sulawesi-Selatan senantiasa mencari tempat yang dirasa dekat dengan sang Pencipta itu dan tempat itu adalah gunung. Namun pada saat itu ritual di bawa karaeng masih merupakan khas ritual masyarakat lokal dan belum diistilahkan dengan haji Bawakaraeng.
Disinilah proses negosiasi itu berlangsung, dimana tradisi untuk naik ke gunung, misalnya Bawakaraeng untuk melakukan ritual tetap dipertahankan, tetapi pemaknaannya disesuaikan dengan tradisi haji dalam Islam.
Sampai disini masyarakat tanah toa masih berhasil mendialogkan islam dengan kepercayaan mereka. Islam bisa ada di tengah-tengah mereka tanpa mereka harus khilangan keyakinan dan parktik keagaamaan yang mereka telah lakukan selama ini. Keberhasilan negosiasi mereka dengan cara-cara meproduksi cerita-cerita seperti diatas atau membangun pengetahuan sendiri untuk melawan pengetahuan dari luar membuat mereka masih bisa eksis samapai saat ini.
F.Pasanga ri kajang; Tradisi Pewahyuan ala Kajang
Tentang Pasanga ri Kajang ini saya punya cerita menarik:
Hari itu hari jumat tanggal 11 Maret 2005, saya bersama Tamrin (pendamping lapangan) dengan Aso sepupu saya, baru saja berjalan-jalan mengitari kampung tanah Toa, kami berhasil sampai diujung timurnya. Setelah kembali, kami merasa kecapaian, akhirnya singgah dirumah Amma Toa untuk istirahat sejenak. Sambil istirahat minum kopi dan makan pisang, Amma Toa berbincang-bincang dengan kami berbagai hal, mulai dari persoalan tanah adat, cerita sawerigading dan tentang kitab suci.
Katika saya bicara tentang adanya kewajiban sekarang membaca dan menulis al-Qur’an bagi seluruh masyarakat Bulukumba, tiba-tiba Amma Toa bertanya.
“Kalau menurut kalian yang mana sebenarnya paling utama dan pertama, apakah pasanga ri Kajang, Quran atau Lontara”?. Mendapatkan pertanyaan itu saya sedikit kelabakan, untung saya ingat bahwa pertanyaan ini sebelumnya pernah pula dilontarkan oleh Amma Toa, dan saat itu sudah dijawabnya. Saya lalu menjawab Pasanga, sebab pasanga itu masih diucapkan atau dituturkan sedangkan yang lainnya sudah dituliskan. Mendengar jawaban saya Amma Toa membenarkan. Lalu dia mengurutkan bahwa yang pertama adalah Pasanga ri kajang, kedua Quran dan ketiga adalah lontara. Setelah itu dia lalu menjelaskan bahwa untuk kawasan adat (Ilalang embayya) yang berlaku adalah Pasanga. Sedangkan yang diluar yang berlaku adalah Quran. Namun menurutnya al-qur’an itu dari dalam kawasan adat ini baru kemudian tersebar keluar.
Cerita ini sering diutarakan oelhh amma toa bagi tamu-tamunya yang datang. Ini menunjukkan bahwa bagaimana pentingnya posisi Pasangan ri Kajang bagi masyarakat Tanah Toa ini, sehingga mengganggu keberadannya sama saja mengganggu posisi wahyu yang tertinggi dalam pandangan komunitas ini.
Lbih jauh lagi hal ini bukanlah sekedar sebuah cerita tentang bentuk wahyu yang diterima komunitas yang ada di Tanah Toa Bulukumba Sulawesi-selatan ini, juga tidak sekedar cerita tentang kearifan lokal (indegeneus people /local wisdom), Pasanga ri Kajang juga mengisyaratkan bagaimana benturan antara dua kebudayaan, sekaligus menggambarkan bagaimana upaya negosiasi dan resistensi kebudayaan lokal yang tengah mendapat tekanan dari satu kebudayaan besar dengan klaim universalisme.
Tanah Toa Kajang yang terletak di Kabupaten Bulukumba Sulawesi Selatan ini menyebut wahyu yang turun kepada komunitas mereka dengan Pasanga ri Kajang (Pesan_pesan yang turun di Kajang). Hal ini menunjukkan bahwa bentuk wahyu mereka tidaklah berbentuk tulisan atau teks, tetapi hanya berbentuk pesan yang disampaikan dari satu orang ke orang lain atau antara generasi melalui perantaraan lisan. Pasanga ini diyakini diturunkan dari To Ri Akra’na (Yang Maha Berkehendak; sebutan Tuhan bagi komunitas ini) ke Amma Toa (Yang di Tuakan), pimpinan adat di komunitas ini. Proses komunikasi To ri Akra’na dan Amma Toa dalam peyampaian pasanga ini tidak seperti yang terjadi pada proses pewahyuan pada Nabi ataupun Rasul. Meskipun subtansi yang disampaikan dalam pasanga juga bersifat rahasia dan hanya diketahui oleh keduanya (To ri Akra’na dan Amma Toa) seperti halnya wahyu yang dipahami dalam Islam ataupun bangsa Arab (Nasr Hamid Abu Zeyd;2002) namun dalam proses peyampaiannya bukan secara bertahap atau disampaikan lewat perantaraan .[54] Begitu seseorang resmi menjadi Amma Toa, yaitu dengan menitisnya To rie Akrana pada dirinya maka pada saat itu pula secara alami dia akan memahami dan menguasai pasanga. Dalam hal ini memang ada kemiripan dengan konsep manunggaling kawula gusti ala Syekh Sitti Jenar atau bersatunya Sang Pencipta dan yang diciptakan seperti dalam ajaran Al-Hallaj juga mirip dengan Wahdatu al-Wujud Ibn al-Arabi. Dalam Komunitas ini di kenal dengan sebutan Addongkokna To rie Akra’na ri Amma Toa (beradanya To rie Akra’na di dalam diri Amma Toa).
Demikian pentingnya keberadaan Amma Toa dalam rangka pengejantawahan To rie Akrana dan juga Pasanga pada komunitas ini sehingga pemilihan atau menentukan siapa yang menjadi Amma Toa ini, tidaklah sesederhana pemilihan pemangku adat yang lainnya. Penentuan seseorang menjadi Amma Toa ini melalui proses spritual yang cukup panjang.
Disini mulai terlihat apa yang dimaksudkan dengan wahyu oleh komunitas Tanah Toa Kajang ini. Bagi komunitas ini yang namanya wahyu sesungguhnya bukanlah yang terhimpun dalam teks. Wahyu bagi mereka adalah apa yang masih menjadi tradisi lisan yang disebut dengan Pasang (dalam sebutan mereka Pasanga ri Kajang). Ini tentunya berbeda dengan asumsi wahyu yang di anut kalangan Islam (di)resmi(kan) (baca; Islam Arab). Dimana bagi Islam yang seperti ini wahyu adalah apa yang telah dibakukan dalam teks mushab Ustmani yang sekarang menjadi pegangan mereka. Diluar itu berarti bukan wahyu, meskipun sesungguhnya tanpa mereka sadari atau pura-pura tidak sadar diluar teks baku mushab Ustmani di kalangan Islam resmi (Arab)sendiri, terdapat teks lain.
Tentu saja persoalan cara mereka memahami wahyu yang seperti ini tidak berarti apa-apa bagi Islam resmi andai saja orang-orang kajang tidak mengakui atau digolongkan sebagai agama Islam. Namun persoalannya menjadi lain, karena orang-orang tanah Toa Kajang ini adalah orang yang dianggap Islam dan juga mengakui keberadaan Islam sebagai agamanya. Sehingga dengan cara seperti itu sebenarnya telah muncul resistensi dari komunitas ini terhadap apa yang dianggap selama ini sebagai Islam yang (di)resmi(kan). Diam-diam mereka mulai menggerogoti apa yang dianggap selama ini sebagai yang maistrem, absolut dan universal.
Proses resistensi itu semakin kental pintalannya kita lihat ketika komunitas ini membangi wahyu dalam tiga tingkatan. Urutan-urutan itu mencengangkan bagi kalangan Islam puritan, karena ternyata yang menempati urutan pertama seperti cerita diawal justru adalah Pasang (Pasanga ri Kajang), baru Quran (al-Quran), lalu Lontara (Kitab-kitab Tafsir). Mereka mennyatakan bahwa yang namanya Pasang menempati urutan tertinggi karena Pasang masih berupa tuturan, berbentuk lisan dan bersifat langsung dari Sang Pencipta kepada yang diciptakan. Pada tingkat ini pengaruh duniawi belum ada, baik yang bersifat cultural, idiologis maupun politis. Sedangkan Quran (al-Quran) karena sudah di bakukan dalam teks, maka ia sudah menjadi idiologis dan sarat kepentingan. Bukankan teks tertentu akan menunjuk pada kebudayaaan, idiologi dan kepentingan tertentu pula. Apalagi Lontara (Tafsir) disini jelas nuansanya sudah sangat duniawi meskipun berupaya menjelaskan sesuatu yang bersifat transedental, karena itu dia berada pada urutan terakhir dalam tingkatan wahyu.
Dalam cerita lain bahkan dikatakan bahwa kesempurnaan al-Quran baru bisa ditemukan di Tanah Toa Kajang karena sepuluh juz yang terakhir turun disana. Dan kesepuluh juz yang terakhir itu adalah hakekat dari al-Qur’an .
G.Tekanan, Resistensi dan Keharusan Untuk Dialog
Cerita tentang Pasanga ri Kajang, dengan segenap ritual masyarakat di komunitas Tanah Toa kajang setidaknya memberikan beberapa gambaran terhadap pertemuan dua tradisi dalam masyarakat . Dimana tardisi yang pertama adalah tradisi lokal dan yang kedua adalah tradisi yang dianggap universal. Disini menarik dilihat bagaimana perjumpaan itu terjadi dan apa yang kemudian dihasilkannya.
Tentu saja karena berasal dari kekuasaan, peyebaran ini pada titik tertentu adalah tekanan terhadap berbagai komunitas yang ada . Dan efek dari tekanan-tekanan ini adalah penaklukan. Dimana masyarakat yang tadinya telah memiliki tradisi dan kepercayaan tertentu harus melebur masuk kedalam tradisi yang “besar” dan “resmi” ini. Tetapi dari perjalanan masyarakat adat menerima ajaran atau tradisi yang baru ini seperti tergambar dalam cerita masyarakat lokal Tanah Toa Kajang tadi, tidak melulu membuat takluk komuniutas lokal yang ada. Mereka ternyata memilki sarana resistensi sendiri . Justru dalam ambiguitas budaya itu seperti Ashis Nandy (Sardar dan Van Loon,2001;87) katakan masyarakat tradisional punya kemampuan untuk hidup untuk membangun pertahanan psikologis dan bahkan pertahanan metafisik, melawan invasi budaya yang lain.
Di komunitas lokal yang seperti ini makna tidak stabil, ajaran digeser dan disalah tempatkan. Islam misalnya ketika telah masuk ke komunitas Tanah Toa Kajang maknanya tidaklah tunggal, tapi beragam, tempatnya tidak tetap. Ini seperti yang dikatakan Anna Lowenhaupt Tsing bahwa tempat yang terpencil secara defenisi adalah tempat dimana ketidak stabilan makna mudah dilihat. (An out of the way place, is bhy defenition, a place where the instability of meanings is easy to see)[55]
Bahkan dalam cerita mengenai tradisi haji komunitas Tanah Toa Kajang memperlihatkan bagaimana masyarakat lokal mengalihkan yang namanya lokus atau pusat. Kalau Islam misalnya menjadikan Mekkah sebagai pusat maka dalam komunitas Tanah Toa Kajang, pusat bukanlah Mekkah tetapi yang jadi pusat adalah Tanah Toa Kajang sendiri. Disinilah awal mulanya dunia, bahkan dari sinilah awalnya Islam itu sendiri lalu tersebar ke-mana-mana. Tentu saja seperti telah dijelaskan sebelumnya cerita seperti ini tidak perlu dilacak benar tidaknya secara kesejarahan, sebab sebagai sebuah storytelling kebenaran, realitas, dan fiksi kadang tidak tetap. Antara realitas dan fiksi dalam satu penceritaan terkadang bertukar tempat. Yang perlu dilihat disini adalah proses tekanan terhadap komunitas lokal senantiasa menimbulkan perlawanan dan mereka tetap eksis dengan itu ,tidak seperti yang dibayangkan bahwa mereka betul-betul telah kalah bahkan hancur.
Cerita tentang komunitas Tanah Toa Kajang ini, juga menunjukkan bagaimana seharusnya relasi antara Islam dengan segenap tradisinya pada satu sisi dan komunitas lokal juga dengan tradisi yang dimilikinya pada sisi yang lain. Tentu saja antara satu dengan yang lainnya tidaklah harus selalu mengungguli. Salah satu pasanga menggambarkan bagaimana seharusnya hubungan itu: Guru Sara’ tala tappa ri patuntung tala assai kaguruanna, sanro tala tappa ri guru sara’ tanga assai patuntunganna (Guru tentang syariat Islam yang tidak percaya terhadap Patuntung tidak absah predikat gurunya sedangkan sanro tidak percaya terhadap ahli syariat tidak sah keyakinannya tentang patuntung) Cerita lain di komunitas ini yang mengisahkan pertarungan antara Dato ri Tiro dengan Amma Toa yang seimbang, tidak ada kalah dan menang menunjukkan bagaimana seharusnya hubungan antara Islam dan komunitas lokal. Hubungan yang tidak salng menaklukkan dan saling mengalahkan tetapi saling mengisi antara keduanya. Dalam konteks inilah saatnya untuk melihat kembali hubungan itu, merumuskan ulang posisi pusat dan yang lokal. Disini saatnya pembicaraan tidak lagi menjadikan komunitas lokal sekedar objek dari subjek-subjek yang berbicara diluar dirinya.
Tentu saja harapan kita, pertemuan antara dua tradisi yang lokal dan yang universal bukanlah pertemuan yang saling mengungguli dan menghancurkan, seperti yang dibayangkan Rudyard Kipling dalam The Ballad of East and West: “When two strong men stand face to face though they come from the ends of earth”[56] Relasi yang kita harapkan adalah relasi yang saling mengisi untuk membangun ruang hibriditas. Siapa tahu dari sini kita lalu mengenal “Islam Tanah Toa Kajang”.
.
H. Regulasi Syariat Islam; Komunitas kajang Perlu Payung Hukum?
Sejenak kita harus tinggalkan dulu proses islamisasi di kajang dan bagaimana komunitas ini mencoba berdialog dengan ajaran islam yang datang itu, dengan siasat dan negosiasi yang pada akhirnya dengan kreatifitas mereka berhasil membangun tradisi baru tentang Islam. Kita alihkan perhatian kita terhadap apa yang saat ini sedang giat dilakukan oleh Pemerintah daerah Bulukumba.
Saat ini proses Islmaisasi di kajang sudah bukan lagi kewat gerakan kultural berupa dakwah atau pendidikan, tetapi sudah mengarah kepada pengaturan lewat Perda-perda yang di kleuarkan oleh pemerintah daerah kabupaten Bulukumba. Problemnya saat ini, bukan lagi lewat dakwah-dakwah kultural yang selama ini mereka berhasil hadapi, sekarang ini proses islamisasi yang dihadapinya adalah proses Islamisasi struktural, lewat kekuasaan pemerintah dengan aturan-aturan formal. Tentu tekanan seperti ini tidak bisa lagi diselesaikan dengan dialog kultural ataupun rekonsialiasi kultural, soalanya ada persoalan hak yang telah dilanggar dengan munculnya berbagai Perda syariat Islam itu.
Proses munculnya berbagai Perda syariat islam di Bulukumba ini berlansung cukup lama. Perda ini muncul dari proses hegomoni pemerintah daerah yang cukup apik, sehingga kemunculannya saat ini dianggap sebagai sesuatu yang memang dibutuhkan oleh masyarakat. Ini mengingatkan kita pada Hegemoni dalam pandangan Gramsci bahwa hegemoni itu melibatkan pendidikan dan pemenagan konsensus dan menghindari kekuatan dan koersi[57].
Geliat ini juga seolah ingin menegaskan bahwa ”Islamisasi struktural” dengan memanfaatkan otoritas politik untuk mendesakkan kepentingan agama tertentu menjadi keharusan, bahkan kewajiban agama yang akan berdosa jika ditolak. Menolaknya dianggap sebagai penolakan terhadap sakralitas syariat yang ilahiah (divine order) sekaligus pembangkangan terhadap Tuhan sebagai ”perumus” syariat.
Perdaisasi Syariat Islam ini dimulai secara resmi sekitar tahun 1998 meskipun sebelumnya pemerintah daerah telah banyak melakukan program yang mengarah kesitu. Mislanya peningkatan pembinaan TPA dan juga penguatan oraganisasi mesjid semacam BKPRMI. Pada tahun 1998 Gubernur yang saat itu dijabat oleh Zainal Basri Palaguna meresmikan program Pemda bulukumba yang berkaitan dengan keagamaan yang disebut dengan Crash Program Keagamaan. Ada delapan aspek penting dalam Crash program tersebut antara lain Pembinaan dan pengembangan remaja muslim, pembinaan dan pengembangan TKA/TPA, pembinaan dan pengembangan majelis taklim, pembinaan dan pengembangan perpus mesjid, pembinaan dan pengembangan hifzil Qur’an, pembinaan dan pengembangan seni bernuansa islam, pemberdayaan zakat, infaq dan shadaqah, dan pembinaan keluarga sakinah, sejahtera dan bahagia. Kedelapan aspek inilah yang kemudian disosialisasika kepada masyarakat. Nampak bahwa proses hegemoni ini berjalan cukup baik karena menurut Drs Kaharuddin Respon masyarakat ternyata sangat tinggi. “Melihat gejala itu akhirnya Pemda merasa perlu untuk memberlakukan Perda-Perda yang berkaitan dengan syaraiat islam di Bulukumba ini”. Jelas Drs. Kaharuddin dengan panjang lebar. Menurut Drs. Kaharuddin ini ini bukan satu paksaan ini hanya semacam himbauan, agara masyarakt muslim di Bulukumba terbiasa untuk menjalankan syaraitnya.
Dari sini kemudian munculllah empat Perda yaitu :
1.Perda no 03/2002, tentang larangan, pengawasan, penertiban dan penjualan minuman beralkohol.
2. Perda no 02/2003 tentang pengelolaan zakat Profesi, infaq dan shadaqah.
3. Perda no 05/2003 tentanbg berpakaian muslim dan muslimah.
4.Perda no 06/2003. tentang pandai baca alqur’an bagi siswa dan calon pengantin.
Setelah itu disusul dengan membentuk desa-desa percontohan Muslim diantaranya : Desa Balong Kecamatan Ujung Loe, Kelurahan Bintarore dan Kelurahan ela-Ela di kecamatan Ujung Bulu, Desa Padang di Gangking, Kelurahan Serojae di Bulukumpa dan Desa Garuntungan di Kecamatan Kindang. Baru-baru ini juga mulai masuk kedaerah Kajang.
Formalisasi ini semakin dipertegas dengan kongres umat Islam III yang berlansung tanggal 26-28 Maret 2005. Kongres Umat Islam ini ketua panitianya adalah Bupati Bulukumba Sendiri H. Patabai Pabokori, dihadiri oleh berbagai peserta dari seluruh kabupaten di sul-sel yang selama ini tergabung dalam KPPSI.
Ada beberapa alasan yang menjustifikasi munculnya Perda-Perda ini, antara lain :
- Konstruk sejarah islamisasi di Bulukumba. Dalam beberapa kali sambutan maupun wawancara, bahkan juga dalam tulisannya Bupati Bulukumba senantiasa mengungkit-ngungkit masa lalu dari sejarah islamisasi di Bulukumba. Cerita tentang Datuk ri tiro yang berhasil mengislamkan kerajaan Tiro, lalu dari kerajaan ini islam kemudian disebar luaskan ke seantero Bulukumba. Bulukumbapun dilihat sejak dari dulu sebagai daerah yang religius. Karena itu adalah satu keharusan untuk membuat daerah Bulukumba saat ini menjadi daerah yang religius dan islami.
b. Persoalan refresentasi. Formalisasi syaraiat Islam yang diangkat oleh PEMDA Bulukumba diangggap sebagai bagian dari representasi kepentingan masyarakat Bulukumba termasuk masyarakat Tanah Toa kajang. Bahkan mantang kepala desa Tanah Toa yang juga pernah menjadi pemangku adat di tanah Toa kajang dengan tegas menyatakan: “Melawan Formalisasi Syariat Islam di Bulukumba berarti melawan masyarakat Bulukumba, sebab Formalisasi syaraiat islam ini adalah keinginan masyarakat daerah ini”.
c. Munculnya otonomi daerah. Otonomi daerah telah memberikan peluang kepada daerah untuk mengatur rumah tangganya sendiri, termasukdalam hal ini mengatur persoalan aturan dalam daerahnya. Ini biasanya didasarkan pada Undang-undang Republik Indonesia nomor 22 tahun 1999 dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor. 25 tahun 2000 tentang kewenangan pemerintah dan kewenangan propinsi sebagai daerah otonom.
Tentu saja kemunculan Perda-Perda ini tujuannya tidaklah tunggal. Tetapi ada beberapa hal yang menjadi tujuan dari Perda ini muncul:
- Menegakkan syariat dengan sungguh-sungguh bagi komunitas Muslim. Ini biasanya menjadi pandangan kalangan agamawan dan organisasi keagamaan tertentu yang ada di daerah ini. Selama ini dalam pandangan kalangan ini syaraiat masih dilaksanakan oleh kalangan muslim dengan setengah hati
- Beberapa kalangan melihat pengakan syaraiat lewat formalisasi ini adalah salah satu cara keluar dari berbagai permasalahan yang dialamai oleh daerah-daerah. Misalnya saja persoalan kriminalitas.
- Tujuan Politik dan kekuasaan. Selain hal-hal diatas, nampaknya faktor ketiga ini yang dominan dalam Formalisasi syaraiat islam. Salah satu dosen muda IAIN Alauddin mengomentari fenomena Formalisasi Syaraiat islam ini sebagai bagian dari gerakan politik “saat ini angin politik (kuhususnya di sul-sel) lagi berhembus kearah Formalisasi syaraiat, makanya pemerintajh dan yang mau jadi pemerintah ramai-ramai mengarahkan perhatiannya kesana”. Ujarnya. Bila diperhatikan Formalisasi syaraiat islam saat ini di bulukumba memang menjadi issu paling hangat sekaligus seksi menjelang PILKADA. Calon-calon bupati berusaha menunjukkan bahwa dirinya paling serius untuk melaksanakan program formalisasi ini. Disamping itu Perda-perda yang muncul lebih banyak diarahkan untuk mengatur masyarakat. Perda-perda ini juga lebih terfokus ke hal-hal yang simbolik dalam agama. Kalangan pemerintahan daerah sama sekali belum mengarhkan Perda-perda syaraiat ini untuk mengatur sistem pemerintahan yang mereka jalankan, misalnya soal korupsi dan transparansi. Bahkan terkesan mereka berlindung di balik perda-perda Syaraiat yang simbolis tadi, agar tidak diungkit persoalan pemerintahan dan persoalan masyarakat yang ada di daerah ini.
Dengan munculnya Perda-Perda Syariat di Kab. Bulukumba ini, maka dimulailah proses pendisiplinan baru dalam masyarakat. Dan justru pendisiplinan ini lebih efwktif dari sebelumnya, karena ini menggunakan agama sebagai perangkatnya. Masyarakat tidak perlu lagi direpresi dengan menggunakan alat-alat aparatus refresif seperti polisi dan tentara untuk menundukkan dan agar mereka tetap loyal kepada pemerintahnya. Mereka cukup diingatkan tentang pentingnya ketaatan terhadap agama. Dan ketaatan terhadap agama dalam konteks Bulukumba adalah ketaatan terhadap Perda-Perda syariat tersebut.
Untuk mengefektifkan ketaatan itu maka Pemda menciptakan satu mekanisme pengawasan. Mekanisme itu justru dilakukan dengan jalan penundukan terhadap pemikieran masyarakat. Proses ini dilakukan lewat sosialisasi oleh para Ulama, para dai, pegawai-Pegawai Depag, mulai dari tingkat Kabupaten, KUA Kecamatan samapai imam-imam desa. Juga dilakukan lewat guru-guru, khususnya guru-guru agama. Dalam sosialisasi itu ditekankan petingnya mentaati Perda-Perda syariat itu bagi Orang Muslim. Sebab ketaatan kepada Perda –Perda itu, sama artinya ketaatan terhadap agama. Menjadi muslim yang baik dalam konteks Bulukumba artinya harus menjadi muslim yang taat terhadap Perda-perda syaraiat yang telah ditetapkan. Bahkan saya pernah mendengarkan seorang Dai yang dengan tegas mengatakan di Mesjid: ” Siapa yang saat ini tidak menjalankan perda-perda syaraiat, maka dia tidak bisa hidup dan tinggal di daerah Bulukumba”.
Memang selain pengawasan dalam bentuk pertama tadi, Pemda masih menerapkan model pengawasan dengan mengerahkan aparat-aparat refresifnya. Misalnya saja disana dibentuk Buserda (Buru Sergap Daerah). Tugasnya adalah mengawasi kalangan umat Islam dalam menjalakan dan melaksanakan perda-perda tersebut. Selain itu di tiap-tiap kecamatan -, samapai ketiap desa dibentuk Tim-Tim Formalisasi Syaraiat islam. Tim ini bertugas untuk menyukseskan pelaksanaan Perda disamping tentunya menjadi satu tim pengawas. Meskipun demikian keberadaan tim-tim ini tidak seefektif pengawasan yang model pertama. Selain karena tugasnya lebih banyak diarahkan atau bahkan di fokuskan kepersoalan Perda yang berkaitan dengan kriminalitas yaitu Perda tentang Miras. Juga soalnya dia tak sampai bisa membangun mekanisme pengawasan yang sampai menusuk ke jiwa dan pemikiran masayarakat.
Ini berbeda dengan mekanisme pengawasan pertama. Sesorang didisipingkan dan ditundukkan untuk mentaati berbagai Perda-Perda keagamaan itu soalnya berkaitan dengan persoalan ketundukan terhadap Tuhan. Model pertama ini jauh lebih efektif soalnya meskipun tidak ada secara langsung yang mengawasi, namun orang-orang merasa terus diintai dan diawasi. Justru yang mengawasinya sesuatu yang lebih tinggi dan jauh lebih hebat dari aparat-aparat keamanan itu. Karena yang mengawasinya itu adalah sesuatu yang ghaib. Bisa dalam bentuk pikiran dan nurani mereka sendiri, juga bisa berwujud Tuhan. Bahkan dengan adanya mekanisme seperti ini, antara masyarakat yang satu dengan yang lainnya saling mengawasi, sekaligus saling mengingatkan tentang pentingnya mereka harus tunduk terhadap perda-perda Syaraiat Islam yang ada.
Implikasi dari pendisiplinan ini adalah peyeragaman. Inilah saat ini yang dirasakan beberapa komunitas lokal dan tarekat keagamaan yang ada di Bulukumba, karena kebetulan pelaksanaan syaraiat mereka tidak persis sama dengan yang mainstreem.. Salah satunya adalah Komunitas Tanah Toa Kajang ini. Misalnya saat ini anak-anak mereka telah diwajibkan mengaji, bahkan menurut penjelasan Puto Kalu, didalam kawasan adat telah ada yang mengajarkan al-Qur’an dan ini otomatis telah memasukkan al-Qur’an kedalam kawasan adat. Padahal dalam kawasan adat menurut aturan adat tidak boleh al-Quran masuk karena sudah ada pasanga ri kajang. Karena peristiwa ini, Amma Toa sampai memberi batas baru, bahwa tempat dimana anak-anak diajar mengaji sudah berada diluar daerah adat.
Selain itu dalam soal berpakaian juga menimbulkan masaalah. Seperti kita ketahui, masyrakat Tanah Toa Kajang adalah komunitas yang memilki pemahaman dan cara berpakaian sendiri. Untuk laki-laki misalnya mereka berpakaian hitam, sarung hitam dengan celana pendek hitam atau putih dan juga memakai passapu (ikat kepala), sarung sendiri lebih banyak disampirkan dipundak. Sedangkan perempuan lebih banyak “appalikang susu” yaitu memakai sarung sebatas dada, seperti memakai kemben di Jawa. Memang setelah perkembangan zaman dan komunitas ini telah mengalami banyak pergulatan dengan berbagai perubahan tersebut, telah banyak perubahan dalam cara berpakaian. Tapi kemunculan Perda no 05/2003 tentanbg berpakaian muslim dan muslimah’ perubahan cara berpakaian itu bukanlah akibat dari interaksi, tetapi akibat tekanan lewat aturan.
Salah satu klausal dalam Perda itu meyebutkan semua masyarakat dalam daerah pemerintahan Bulukumba harus tunduk dibawah aturan Perda ini. Termasuk tentunya orang Tanah Toa Kajang. Ini mengharuskan mereka untuk berpakaian sperti yang telah ditetapkan dalam Perda tersebut. Misalnya disebutkan dalam pasal 7 Perda no 5/2003, seorang laki-laki harus berpakaian:
- Memakai celana panjang/pendek samapai lutut
- Memakai baju lengan panjang/pendek
Sedangkan untuk wanita harus memakai :
1. Memakai baju menutupi pinggul
2. Memakai rok atau celana panjang yang menutup samapai ke mata kaki
3. Memakai kerudung yang menutupi rambut, telinga, leher, tengkuk dan dada.
Aturan ini juga harus berlaku bagi masyarakat Tanah Toa. Itu artinya mereka harus mengubah cara mereka berpakaian selama ini.
Beberapa pemuka adat misalnya amma Toa telah memberikan tanggapannya. Misalnya ketiaka ditanyakan kepada Amma Toa apakah penting untuk menegakkan syaraiat Islam maka jawabanya dengan tegas penting. Sebab menurutnya tugas kita sebagai makhluk dari Tuhan adalan tunduk dan patuh kepada Sang Pencipta. Tapi jangan kita bayangkan bahwa maksud Amma Toa penting menegakkan syaraiat Islam selalu sama dalam benak kita, apalgi sama betul dengan cita-cita penegakan syaraiat Islam yang didengung-dengungkan oleh kelompoik penggagas formalisasi syariat islam. Bagi Amma Toa syariat Islam klhususnya bagi komunitas adat Tanah Toa bukan terletak pada Formalnya. “Syariat kita disini adalah Tapakkoro, yaitu satu sikap penuh pengingatan dan zikir terus menerus kepada To rie Akrana (Kita menyebutnya Allah), karena itu disini jangan katakan tidak bersyaraiat kalau tidak menemukan orang shalat, sebab kita bukan formalisasi shalat itu yang penting tapi makna subtansi shalat itu yang terus memayungi kehidupan kita. Karena itu lanjutnya disini ada ungkapan Sembajang Tamatappu je,ne Talluka (Sembahyang tidak pernah putus dan wudhu tidak pernah batal).
Ketika disinggung tentang adanya sekarang PERDA syaraiat islam yang mengatur pemberlakukan syaraiat secara Formal dan tunggal, ia nampak ragu untuk menjawab. Amma Toa hanya mengatakan kita memang dari dulu selalu menaati perintah seorang raja namun demikian perintah Amma Toa lebih harus ditaati. Perintah amma Toa itu menurutnya termaktub di dalam Pasanga ri Kajang, Pasanga ri Kajang inilah yang harus diataati oleh masyarakat di dalam konitas ini, karena dalam pasanga sendiri dikatakan:
“Punna surukki, bebbeki
Punna nilingkai pesokki.”
Artinya:
Kalau kita jongkok, gugur rambut (gundul) dan tidak tumbuh lagi. Kalau dilangkahi, kita lumpuh.
Maksudnya kalangan msayarakat adat yang tidak menaati pasanga akan mendapatkan malapetaka dan kutukan dari To Rie Akra’na.
Ketika di sampaikan bahwa salah satu PERDA mewajibkan kepada semua kalangan untuk pandai membaca al-quran,Amma katakan bahwa di dalam kawasan apalagi mereka yang memahami betul Pasanga, maka Pasangalah yang berlaku, di luarlah itu berlaku tentang membaca al-quran. “Ia pentingnga aturan-aturan ia anjo anre na gangguki (Peraturan-peraturan dari luar jangan samapi mengganggu kedaulatan kami)”. Ucapnya dalam bahasa konjo seperti bernada keluhan.
Amma kemudian melanjutkan penjelasannya bahwa dalam kawasan ada tingkatan-tingkatan mengenai pegangan hidup kita. Yang pertama disini adalah Pasanga ri kajang, Baru kemudian kitta (Quran) dan terakhir Lontara. “Anre na kulle ni passa taua ampilarii nikuaia pasang ka iaminjo pammaganganta gitte” (Kita tidak boleh dipaksakan untuk meninggalkan pasanga sebagai pedoman hidup kita, karena itulah Pegangan kita).
Amma Toa kemudian menandaskan, bahwa ke Islaman seseorang tidak boleh dilihat dari kulit luarnya saja. Kita tidak boleh mengatakan orang islam, hanya mereka yang sembahyang saja secara formal, sebaliknya juga tidak boleh dikatakan bahwa yang tapakkoro Islamnya keliru. Seseorang yang sembahyang formalnya nya rajin belum tentu mengingat Tuhan, karena boleh jadi yang dibayangkan hanya huruf-huruf , sedangkan kita yang tapakkoro jangan dibilang tidak pernah menginagt Tuhan, sebab bagi kami yang terpenting adalah “Ni katutui ri alla sumpajanta” (Dijaga diantara shalat). Tandas Amma Toa mengakhiri komentarnya.
Tentu saja komunitras tanah Toa ini perlu mendapatkan satu perlindungan namun ini memang agak problematik, disamping karena selama ini resminya Tanah Toa dianggap sebagai Islam,sehingga dalam persoalan hak-hak minoritas untuk kasus ini agak sulit untuk dicarikan posisinya. Disini problemnya bukan persoalan agama yang minoritas berhadapan dengan yang mayoritas, sebab komunitas Tanah Toa juga berada dalam satu payung agama yaitu Islam. Cuma saja dalam memahami agama Islam dan mempraktekkannya mereka berbeda dengan islama yang mainstrem, sebab komunitas tasnah Toa ini dominan dipengaruhi oleh ajaran patuntung atau Pasanga ri kajang. Kecuali kalau misalnya di tanah toa masyarakatnya memenag mengkategorikan dirinya sebagai bukan islam tetapi agama patuntung, maka ini mendapatkan perlindunagn hukum yang jelas sebagai bagian dari hak kelompok minoritas. Hal ini dipertegas dalam Declaration on the Elimination of all Forms of intolerance and descrimnation based on relegion or belief.
Persoalan lain tentu saja berkaitan dengan alat hukum dan payung yang kita pakai. dalam konteks nasional persoalan Undang-undang Republik Indonesia nomor 22 tahun 1999 dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor. 25 tahun 2000 tentang kewenangan pemerintah dan kewenangan propinsi sebagai daerah otonom, perlu untuk dikaji lebih jauh. Apakah aturan ini memang memberikan peluang untuk menetapkan aturan-aturan sendiri yang pada hakikatnya bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi. Misalnya di UUD 1945 pasal 28 I ayat 3 yang berbunyi : Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional di hormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.
Dalam konteks internasional payung-payung hukum yang ada misalnya Kovenan Internasional hak-hak ekonomi , soisal dan budaya, bahkan juga Internasional Bill of Human Right, Minority Right, Indegeneous People Right dan sebagainya, mungkin bisa menjadi salah satu instrumen yang digunakan untuk menyelesaikan persoalna ini. Misalnya pasal 27 Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik yang intinya memberikan ruang pada kelompok minorotas untuk menjalankan agama , bahasa dan budayanya sendiri.[58] Namun terkadang cara pandang dari instrumen-instrumen HAM internasional itu masih cara pandang yang universal. Disisi lain kovenan-kovenan tersebut masih terlalu menitik beratkan pada persoalan hak-hak individu. Hal ini membuat hal-hal yang bersiafat khusus di daerah tertentu tak bisa dipotret dengan memakai pendekatan-pendekatan tadi. Memaksakannya malah menimbulkan problem bahkan tekanan baru terhadap komunitas bersangkutan.
Meskipun ini agak rumit untuk mendapatkan perlinduingan hukum dari payung-payung hukum internasioanl tadi, misalnya dari sisi minority right, tapi masyarakat Tanah Toa ini punya hak untuk menjalankan keyakinan tentang ke-Islamannya.. Dalam hal ini meminjam Hohfeld bisa dikategorikan sebagai Privilege right., yaitu tidak adanya satu hak dari orang atau pihak lain untuk menghalangi terlaksananya hak yang dimiliki oleh orang atau komunitas tertentu.
Disisi lain keyakinan sesorang untuk beribadat kepada tuahan adalah kebebasan mutlak dan ini diakui dalam konvensi apapaun juga yang berkaitan dengan Human right.
Masayarakat Tanah Toa Kajang dengan kekhasannya ini paling tidak memang memerlukan pengakuan . Mereka tentu tidak memerlukan ajaran-ajaran Pasanga dan kepercayaan patuntung mendapatkan pengesahan secara hukum dan diresmikan sebagaimana agama-agama resmi lainnya. Mereka seperti kata Bikhu Parekh hanya memerlukan pengakuan dari sistem hukum kita terhadap karakter khas mereka. (parekh, 1991: 194-195).
Namun tentunya sebelum kita meyelesaikan permaslahan masyarakat Kajang ini secara hukum, problem kostruksi sejarah dan Politik refesentasi yang dijalankan oleh pemerintah juga harus menjadi perhatian. Konstruk sejarah tentang islamisasi di Bulukumba misalnya harus disikapi dengan menhadirkan sejarah tanding, cerita sejarah masyarakat subaltern dan narasi-narasi kecil lainnya. Hal ini telah disinggung diatas. Juga kita harus menaruh perhatian terhadap persoalan refresentasi. Tentu seperti kita ketahui Representasi tidaklah betul-betul mewakili atau merepresentasikan sesuatu . Apa yang ditunjuk sebagai yang direpresentasikan adalah sesuatu yang maya dan tidak nyata. Masalahnya sekarang politik representasi itu telah memepengaruhi publik, sehingga kalau mau melakuakn gerakan hukumn bagi komunitas seperti tanah Toa kajang ini, kita harus terlebih dahulu membereskan peroblem representasi ini. Karena bila tidak apa yang kita anggap maya dan tidak nyata boleh jadi menjadi nyata. Kalau ini yang terjadi akan menjadi Bumerang bagi komunitas Tanah Toa sendiri.
Rekomendasi
Dari tulisan ada bebeapa hal yang belum berhasil diungkapkan. Diantaranya tentang prsoalan tanah dalam kaitannya dengan persoalan kebudayaan masyarakat tanah Toa kajang. Pertanyaan penting disini adalah bagaimana sesungguhnya keterkaitan antara ekspansi ekonomi kavitalis terhadap ekspansi kebudayaan dan keyakinan masyarakat tanah toa Kajang, Persoalan ini bisa dilacak mulai dari zaman kolonial. Penelitian tentang ini samapi sekarang belum ada. Bahkan penelitian tentang tanah dalam kaitan ekspansi ekonomi dan Kaviatalis selama ini belum ada yang melakukannnya di Tanah Toa. Yang banyak diangkat dalam berbagai tesis maupun desertasi adalah persoalan hutan dan lingkungan hidup serta bagaimana Pandangan masyarakat Kajang tentang itu, juga bagaimana mereka menjaga kelestarian hutannya.
Selain itu kajian hukum lebih mendalam terhadap persoalan-persoalan diatas juga perlu untuk dilakukan
Tentang Advokasi
Apa yang terjadi di komunitas Tanah Toa ini tentu tidak hanya sekedar ditangisi disesali atau menyalahkan orang atau institusi tertentu. Kita harus melakukan gerakan. Gerakan yang kita harus lakukan adalah gerakan pembelaan atau advokasi. Tentu saja yang kita maksudkan advokasi ini harus kita perjelas dan perdebatkan terlebih dahulu.
Selama ini model advokasi yang dilakukan terhadap berbagai komunitas subaltern masih dalam kerangka pemberdayaan. Dengan kata lain proses pendampingan dan pembelaan kita terhadap komunitas subaltern ini diawali dengan asumsi bahwa kelompok ini adalah kelompok yang tak berdaya, tak punya kemampuan dan sekaligus belum sadar serta tidak mampu meperbaiki kehidupannya sendiri. Karena itu agenda pemberdayaan yang seperti ini senantiasa datang dengan segenap proyek untuk mencerdaskan dan meyadarkan kelompok subeltern.
Kondisi seperti itu dapat kita lihat jelas pada keberadaan komunitas local atau adat. Mereka selama ini diasumsikan sebagai kalangan subaltern yang masih terbelakang, belum maju. Karena itu untuk membebaskan mereka dari penindasan maka mau tak-mau mereka harus disadarkan dan diberdayakan. Maka ramai-ramailah proyek pemberdayaan atas mereka, anggaplah sebgai missal proyek pemberdayaan perempuan local, proyek penyadaran bagi masyarakat local dan sebagainya. Celakanya tampa disadari proyek ini membawa hal baru terhadap masyarakat yang bukan menjadi bagian dari kehidupan mereka. Dan lebih celaka lagi karena hal baru tersebut dicekokin kepada masayarakat sebagai satu hal yang lumrah dalam proses pemberdayaan. Dalam konteks ini komunitas dilihat sebagai benda mati, kebudayaan mereka sekedar objek yang bias diatur sedemikian rupa dari luar.
Implikasi lebih jauh dari cara advokasi semacam ini adalah pembungkaman terhadap suara subaltern, suara lokalitas. Yang tetap muncul adalah suara-suara kalangan akademisi, budayawan,dan LSM yang diangap sebagai representasi dari komunitas local. Karena kita yang dianggap representasi maka kita merasa berhak untuk mengatur, membentuk kebijakan di tengah-tengah mereka. Sekali lagi tentunya dengan dalih mereka masih terbelakang dan belum mampu berbuat lebih maju. Sadar atau tidak sadar proses seperti ini telah mengarahkan bentuk penindasan baru, yaitu penindasan paradigma dan cara kita berfikir terhadap komunitas lokal.
Dalam persolan komunitas local atau budaya local advokasi semcam ini adalah implikasi dari pemahaman budaya kalangan akademisi, budayawan dan aktivis LSM yang masih mengarah kepada asumsi bahwa kebudayaan adalah objek atau bahkan benda. Kebudayaan tidak dilihat sebagai sebuah system hidup yang berkembang dan dinamis. Juga tidak diperhatikan bahwa praktek kebudayaan yang dilakukan oleh kalangan komunitas local bukan melulu sebagai rutinitas sehari-hari, terkadang disana muncul sebuah resistensi dan negosiasi terhadap yang mendominasi mereka selama ini. Apa yang dilakukannya itu terkadang kecil bahkan subversif dan ini luput dari perhatian.
Cara memahami budaya yang seperti ini akhirnya dalam melihat komunitas local adalah dari sisi praktek kebudayaan mereka yang dapat mendatangkan modal, karena itu advokasi mereka terhadap komunitas local diarahkan pada bagaimna komunitas local ini mempraktekkan kebudayaan mereka secara lebih kreatif dan mengikuti keinginan pasar. Dari sini muncullah invensi terhadap kebudayaan itu. Menghadirkan kembali dalam bentuknya yang baru dengan tujuan lebih manarik bila dipertontongkan. Celakanya hal yang baru yang mereka munculkan malah asing ditengah komunitas local yang dibela itu sendiri.
Persoalan ini juga masih terjadi dalam beberapa kasus advokasi kebudayaan terhadap komunitas local atau adat di Sul-sel. Beberapa dari LSM dan Budayawan yang selama ini mendampingi komunitas local masih memperlakukan dampingannya sebagai komunitas yang harus diberdayakan dengan agenda yang mereka bawa masing-masing. Malah lebih ironis lagi karena terkadang dari beberapa kalangan tersebut, mencampuri hal-hal yang prinsipil yang berkaitan dengan persoalan komunitas. Merekalah pada akhirnya yang membentuk, mengarahkan dan memoles keberadaan dari komunitas local tersebut. Kasus seperti ini di sul-sel dapat dilihat pada komunitas semacam Bissu di Sigeri Pangkep, Dan Komunitas Amma Toa di Kajang Bulukumba.
Dalam konteks semacam itu terkadang mereka mengabaikan cara-cara, siasat dan model perlawanan yang dilakukan oleh komunitas local selama ini dalam melwan tekanan dari Negara maupun agama resmi. Padahal komunitas local atau adat selama ini bisa bertahan karena mereka mempunyai siasat tersendiri.
Maka proses pembelaan yang kita maksudkan disini bukanlah yang berbicara para pendamping dari komunitas local tersebut. Juga pembelaan ini buka pula dengan membawa agenda pemberdayaan terhadap komunitas local. Tapi pembelaan ini mencoba mengangkat potensi dan cara-cara komunitas local selama ini dalam mensiasati berbagai dominasi. Mereka diberikan ruang untuk berbicara bagaimna mereka selama ini dalam mempertahankan keyakinan local mereka, apa yang menjadi ajarannya dan bagaimna mereka menegosiasi dominasi yang datang dari agama resmi dan Negara. Kali ini suara mereka tidak diwakili lagi oleh yang lainnya, merekalah kini yang berbicara.
Dalam kasus tertentu intervensi mungkin boleh-boleh saja, apalgi bila kita sadari bahwa komunitas yang kita ”bela” sudah terhegemoni sedemikain rupa oleh rezim negara dan agama. Namun kita harus tahu sejauh mana intervensi itu harus kita lakukan dan kapan kita sudah harus membiarkan komunitas itu sendiri yang melakukan gerakan.
Saat ini proses pendampingan terhadap komunitas Tanah Toa Kajang sudah dilakukan. Bersama dengan beberapa LSM lokal advokasi itu sudah dijalankan beberapa tahun terakhir ini. Malah saat ini sudah terbentuk Organiosasi tani di kajang yang bernama SPT (serikat Petani kajang). Perjuangan lewat jalur hukum juga sudah ditempuh oleh jaringan atau organisasi ini. Sekarang ini bahkan sudah berhasil mendesak DPRD Bulukumba membentuk Pansus Lonsum. Hanya saja gerakan ini lebih diarahkan pada persoalan tanah yang ada di masyarakat. Berkaitan dengan pesoalan tekanan dalam hal leyakinan dan agama, belum disentuh sama sekali.
Untuk persoalan yang terakhir ini, model advokasi kita mungkin agak berbeda dengan yang pertama. Kasus ini agak lain, karena itu kita tidak harus serta merta selalu harus menempuh jalur hukum. Disamping kemungkinan keberhasilan lewat jalur ini agak kecil juga malah bisa menjadi bumerang bagi komunitas yang bersangkutan. Karena itu yang perlu dilakukan adalah merebut dan menguasai kognisi masyarakat. Bukan hanya komunitas Tanah Toa tapi masyarakat Bulukumba pada umumnya. Dari sini kemudian kita mencoba merangkul jaringan dan memperbanyak kawan.
Ada pengalaman menarik kemarin ketika tanah-tanah dari masyarakat kajang diambil. Masyarakat dan petani lainnya sama sekali tidak perduli, bahkan malah menyalahkan komunitas Kajang itu sendiri, sehingga gerakan yang dilakukan oleh masyarakat Kajang cenderung sendiri, kalau ada masyarakat lain yang terlibat, memang selama ini sudah didampingi.
Ini berarti bahwa gerakan yang dilakukan selama ini tidak berhasil merebut opini, kita kalah dalam konteks memepengaruhi opini publik dan kognisi masyarakat. Karena itu untuk gerakan pendampingan kedepan persoalan ini harus diperhatikan. Apalagi berkaitan dengan persoalan Formalisasi Syariat islam ini, pemerintah kelihatannya berusaha keras mempengaruhi masyarakat lewat jalur pembentukan opini. Mereka dihegemoni tetang pentingnya formalisasi ini, bahwa ini kebutuhan masyarakat dan hanya ini solusi untuk mensejahterakan rakyat. Apa yang dilakukan oleh pemerintah ini terbukti efektif, masyarakat tersedot perhatiannya untuk mensukseskan Formalisasi Syaraiat ini dan melupakan problem lainnya. Tentang korupsi, tentang tenaga Kerja , tentang rekruitmen pegawai yang masih nepotisme dan tentang pembangunan yang tidak jalan saat ini di Bulukumba seakan-akan hilang tertutupi hinggar-bingar formalisasi syariat islam yang hampir tiap hari muncul di media massa.
Gerkan lewat jalur legal Formal tentu saja juga dibutuhkan, tapi saya kira dia bukanlah menjadi gerakan awal. Setelah kita bisa memenangkan pertarungan, paling tidak mengimbangi lewat perebutan opini, dan memeprkuat jaringan lewat sosialisasi maka gerakan lewat jalur hukum (legal formal) ini bisa ditempuh.
[1]Kategori Bugis dan Makassar sebenarnya harus dikritisi lebih jauh, sebab beberapa ahli melihat bahwa Bugis dan makassar adalah konstruk colonial. Ini diciptakan oleh Kolonial, saat itu Speelman, dalam rangka politik Devide at impera (politik adu domba). Speelman membagi daerah di sul-sel menjadi dua kelompok. Daerah yang membantu dan berada dibawah kekuasaan Gowa di golongkan makassar, sedangkan yang membantu Bone dakategorikan sebagai kelompok daerah bugis. Sebelum ada dua kategori ini masing-masing daerah di panggil sesuai dengan tempatnya. Misalnya To Wajo, To sidenreng dan lain-lain. Wawancara dengan Dr. Edward di Makassar tanggal 11 Desember 2004
[2]Lihat Laporan Profil Desa Tana Toa, Kecamatan Kajang Kabupaten Ting II Bulukumba Sulawesi-Selatan, 2002
[3]Pandangan beberapa peneliti dan budayawan di sul-sel yang menganggap bahwa Konjo adalah sub suku dari Makassar, masih problematik dan bisa diperdebatkan. Selain karena wacana ini mengukuhkan dominasi Makassar atas suku Konjo, dalam pandangan masyarakat Tanah Toa sendiri mereka bukanlah sub suku atau sub kultur dari suku apapun juga, soalnya dalam pandangan mereka, Konjolah yang merupakan suku dan bangsa pertama yang ada di dunia ini. Wawancara dengan Amma Toa, Kajang 20 Maret 2005
[4] Persoalan ini juga problematik, karena mengasumsikan bahwa bahasa diluar empat bahasa yang dominan disul-sel yaitu Bugis, makassar, mandar dan Tator adalah sub bahasa menunjukkan adanya dominasi dari empat suku besar yang ada di sul-sel ini. Karena itu soal ini juga membutuhkan kajian dan penelitian yang lebih jauh lagi.
[5]Dalam Mattulada, Latoa; suatu Lukisan Analitik Terhadap Antropologi Politik Orang Bugis (Makassar: Hasanuddin Universty Press: 1985), h.24-25
[6] Wawancara dengan Amma Toa Puto Palasa di Tanah Toa Kajang, tanggal 28 Maret 2005. Juga dalam Hj Munira sirajuddin, Mencermati Makna pesan di Kajang (Citra Adi Bangsa, 2002), h. 24
[10]ibid
[11]DR. Samiang Katu, MA, Pasang ri Kajang, (Makassar:Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat PPIM IAIN Alauddin Makassar, 2000 M.)., h. 69
[12]Samiang Katu, Op cit, h. 8
[13]Wawancara dengan Tamrin di desa tanah Toa, tanggal 21 Maret 2005
[14] Edward said, Culture and Imprealism (London: Chatto & Windus, 1993), h. xxix
[15] Op Cit, h. 194
[16]Kraemer, ‘De Zending en hare arbeiders ten opzichte van de Inheemse Cultuur dalam De Opwekker, 526 band. Bagian V, Dolumen 31 ff
[17] Samiang Katu, Pasang ri Kajang ; Kajian tentang Akommodasi islam dengan Budaya Lokal di Sul-Sel (Makassar : PPIM IAIN Alauddin, 2000), h. 14
[19]Ini sepert kata Rogers dalam Person Centered Approach membangun hubungan antara pribadi yang positif dengan dilandasi sikap saling menghargai dengan tanpa syarat. Tadjoer Ridjal, Metode Bricolage`Dalam Penelitian Sosial dalam Burhan Bungin (Ed)< Metodologi Penelitian Kualitatif (Jakarta: Raja Grafindo;cet-III, 2004), h. 91
[20]James P Spradley, Metode Etnografi (Yogyakarta: PT Tiara wacana, 1997), h. 181 juga pada Setya Yuwana Sudikan,, “Ragam Metode Pengumpulan data; Mengulas kembali Pengamatan, Wawancara, analisis Life History, Analisis Folklor” dalam Burhan Bungin (Ed) Metodologi Penelitian Kuantitatif (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada; cet-III, 2004), h. 55
[21]Penyebutan Ipantarang embayya dan ilalang embayya menurut salah satu peneliti komunitas Tanah Toa kajang Dra. Siti aminah PH muncul pertama kalinya ketika islam datang ke daeaah ini, itu terjadi sekitar abad ke-17. Dra. Siti Aminah, Nilai-Nilai Luhur Budaya Spritual Amma Toa Kajang (Ujungpandang: Depdikbud, 1989), h. 5
[23]Wawancara dengan Bupati Bulukumba Patabai Pabokori pada tanggal 15 November 2004 di Bulukumba
[24]Wawancara dengan Badda (Warga Ilalang Embayya) di Tanah Toa Kajang, tanggal 28 Februari 2005
[25]K.M. Usop, Pasang ri Kajang, Kajia Sistem Nilai di Benteng Hitam Amma Toa Kajang (Ujungpandang: Pusat latihan ilmu-ilmu Sosisal UNHAS, 1978), h. 120--164
[26]Wawancara Puto Kalu di Tanah Toa Kajang pada Tanggal 5 Maret 2005
[27]Dikutip dari Idham Arsyad, Potret Perlawanan Orang Tertindas, Makalah Seminar Internasional: Jakarta;2004
[28]Ibid
[29]Kronologis ini diolah berdasarkan lembar informasi yang dibuat oleh Solidaritas Nasional Untuk Bulukumba (SNUB) dan beberapa keterangan dari masyarakat yang menyaksikan kasus tersebut.
[30] Toby Alice Volkman, Vision and Revisions: Toraja Culture and the Tourist Gaze”. Americann Ethnologist, Februari, 17 (1). h. 91-110
[31]Wawancara dengan Drs Syafruddin, Kakandepag Bulukumba di Bulukumba pada tanggal 4 Maret 2005
[32] Wawancara Amma Toa di Tanah Toa Kajang pada tanggal 1 maret 2005
[33]Dalam pemerintahan (ORBA) makna Siri kadang-kadang mengalami reinterpretasi, ini disesuaikan dengan program pembangunan yang sedang dijalankan oleh pemerintah, siri disaini kemudian dikaitkan dengan sukses tidaknya menjalankan pembangunan. Dr. H.M. Laica Marzuki, SH, Siri’; Bagian Kesadaran Hukum Rakyat Bugis Makassar (Makassar: Hasanuddin University Press, 1995), h. 58
[34]Wawancara dengan Puto Kalu di Tanah Toa tanggal 1 Mei 2005. Nama-nama Amma Toa juga disebutkan oleh Amma Toa Puto Palasa.
[35] Wawancara Galla Puto di tanah Toa Kajang pada tanggal 21 April 2005
[36] Dr Yekti Maunati, Identitas Dayak (Yogyakarta: LKiS; Cet-I, 2004), h. 6-9
[37]Joel S Kahn, Culture, Multiculture, Postculture (London; Thousand Oaks: Sage Publication, 1995), h. 129
[38] Sebelum itu menurut Noorduyn dalam kronik Gowa diceritakan bahwa karaeng Gowa ToNi Jallo telah bersahabat baik denghan raja-raja Melayu, nbahkan dikatakan ia tertarik dengan ajaran islam yang dipeluk oleh raja-raja tersebut dan bahkan ingin memeluknya. Kejadioan ini terjadi sekitar tahun 1565-1590 maka beberapa pendapat mengatakan islam sudah diterima sejak tahun ini. Noorduyn sendiri melihat ada kekeliruan dalam catatan Speelman, menurutnya itu kemungkinan kekliruan tulis, yang sesungguhnya 1605 tetapi ditulis 1603. Selanjutnya lihat J.Noorduyn, Islamisasi Makassar dari judul asli De Islamisereing van Makassar dalam B.K.I., jilid 112 (1956), h.247-266
[39] Cerita ini menarik sebab beberapa kalangan peneliti termasuk Noorduyn menyatakan perlunya kehati-hatian terhadap cerita ini, sebab data seperti ini tidak bisa diperpegangi. Namun K.H. Djamaluddin Asseggaf Puang Ramma, justru meyakininya dan menjdaikannya Referensi bahwa asala kata makassar dari sini. K.H.S. Djamaluddin Assegggaf Puang Ramma, Kafaah dalam perkawinan dan Dimensi masyarakat Sul-Sel (Makassar; Tp:Tt), h. 32
[40]Adata edisi Juli 2004
[41]Mattulada, dalam Majalah Bingkisan (Ujungpandang; yayasan kebudayaan Sul-sel; 1977), h. 21 juga dalam Dr.Samiang Katu, Pasang ri kajang ; akomodasi islam dengan Budaya local Sul-sel (Makassar:PPIM;2000), h. 28
[42]A.A.Cence, The Patuntungs in the Mountains of Kajang, (Makassar; 1931), h. 2
[43] Wawancara Galla Puto di Kajang pada tanggal 28 september 2004
[44] Selain menganggap bahwa Islam dari Tanah Toa baru kemudian disebarkan diluar, juga diyakini bahwa Tanah Toa sesuai dengan namanya adalah tanah yang tertua, disanalah pusatnya bumi yang disebut dengan Possi Tana, dari sanalah semua orang berasal, baik orang jawa sampai orang-orang barat. Bahri Majid, Tradisi Possi Tanah Kecamatan kajang Kab Bulukumba (Makassar: Skripsi Fak. Adab IAIN Alauddin, 1995), h. 40-47
[45] Wawancara dengan Amma Toa di Tanah Toa kajang (tanggal 28 Maret 2005)
[46]Sebenarnyapemberontakana Kahar pada saat itu lebih banyak didasari oleh kekecewaan terhadap para pimpinan TNI dan pemerintah pusat yang dianggap tidak bersikap adil,. Islam sendiri sebagai idiologi perjuangan nanti muncul belakangan, bahkan banyak kalangan seperti Harvey misalnya melihatnya sebagai sebuah strategi dibanding sebagai tujuan. Namun setelah Islam menjadi bagian dari gerkan Kahar, dia menonjolkan pemurnuan Islam yang tidak kompromi terhadap tradisi bahkan termasuk mazhab. Lebih lanjut lihat Barbara Harvey, Tradition, Islam, and Rebellion: South Sulawesi
[47] Bissu adalah pendeta bugis Kuno, mereka adalah Calabai (Waria), mereka tersebar dibeberapa tempat di sul-sel, misalnya Luwu, Bone, wajo, soppeng dan Sigeri Pangkep. Saat ini yang masih tersisa adalah sisa-sisa dari mereka yang masih bertahan hidup akibat gerakan DI/TII Kahar Muzakkar. Lihat Halilintar Latief, Bissu (depok; Jakarta: Desantara, 2003). Juga Halilintar Latief, Bissu para Imam yang Menghibur (Makalah pada seminar Internasional Lagaligo di Pancana baru, 2001)
[48] Komunitas Bawakaraeng atau komunitas haji Bawakaraeng, yaitu satu komunitas yang meyakini haji cukup dilaksanakan dipuncak bawakaraeng, tradisi ini dianggap merupakan bagian dari ritual agama patuntung, setelah kedatangan islam berdialog dengan ajaran agama itu dan menjadi ritual tertentu yang dikenal kemudian dengan haji bawakaraeng. Lihat, Rubrik Adata ; Pedoman rakyat, LAPAR dan Desantara 2003)
[49] Kalompoang atau arajang di daerah bugis adalah pusaka-pusaka peninggalan nenek moyang, banyak diantara barang-barang itu yang dianggap muncul begitu saja dan kedatangannya tidak diketahui (manurung)
[50] Dr.Chris G.F. de Jong, Ilalang Arenna (Jakarta: Gunung Mulia; 1996), h. 194-197
[51] Dra. Sitti Aminah, Nilai-Nilai Luhur Budaya Spritual Masyarakat Amma Toa Kajang (Ujungpandang: KANWIL DEPDIKBUD Sul-Sel, 1989), h. 12
[52] Yusuf Akib, Potret Manusia Kajang (Makassar: Pustaka refleksi, 2003), h. 20
[53] Puang Wali adalah salah satu tokoh Haji Bawa Karaeng, dia tinggal di Kabupaten Pangkep, Wawancara ini diizinkan untuk di kutip. (Puang Wali:2003)
[54] Dalam pandangan Abu Zeyd wahyu sesungguhnya telah dikenal masyarakat sebelum islam, wahyu saat itu dianggap sebagai komunikasi rahasia dengan Yang Ghaib, biasanya dilakukan oleh ahli Nujum dan dukun-dukun saat itu. (Abu Zeyd 2000:20)
[56] Rudyard Kapling menceritakan bagaimana hubungan antara timur dan barat sebagai dua etentitas yang tidak bisa ketemu. Pertemuan keduanya ibarat hanya pertemuan dua laki-laki kuat dan bila terjadi hanya akan mengabarkan tentang hancurnya (masa penghabisan) dunia. Tentu saja hubungan antara Agama resmi dan agama lokal atau dalam konteks ini Islam dengan Tanah Toa Kajang bisa saja seperti yang dibayangkan Kapling mengenai pertemuan antara barat dan timur tadi (Harold Coward 1990:15)
[57]Chris Barker, Cultural Studies Theory and Practice (London: Sage Publication, 2000), h. 369
[58]Teks asli pasal 27 International Covenant on Civil and political right (ICCPR):In those states in Wich ethnic, religious or linguistic minorities exist, persons belonging to such minorities shall not be denied the right, Aniche HT (JIL) : the community with other members of their group, to enjoy their own culture, to profess and practice their own religion, or to use their own language.
Berdasarkan sumber yang saya temukan dilapangan dusun Benteng merupakan dusun yang masuk dalam kawasan Adat Amma Toa. Berdasarkan dari beberapa hasil penelitian yang saya baca dan hasil wawancara kepala Desa Tana Toa Sultan, S.Sos (Kepala Desa Tana Toa Saat ini)dusun benteng merupakan tempat tinggal Amma Toa dan merupakan pusat dari Kawasan Adat Amma Toa.
BalasHapusbanyak bahasa yg sangt melenceng dari arti sebanarnya. saya cucunya Amma Toa dan saya tdk setuju dengan smua yg salah salah itu. makanya klo meneliti itu harus detail dong, jngn asal ngeperess aja. kurang ajar
BalasHapus