PILKADA UNTUK RAKYAT
Pengantar
Tercatat sekitar 244 daerah yang mempunyai agenda melaksanakan pilkada (pemilukada) pada tahun 2010. Ini berarti pilkada gelombang kedua sejak tahun 2005-2008, dimana tahun 2009 mengalami kevakuman karena adanya pemilu legislative dan pemilu presiden. Jika digabung dengan praktek pilkades/pilkadus dan pemilu 1955 hingga 2009, sudah banyak pelajaran berharga yang dapat dipetik dari praktik demokrasi di Indonesia. Ini dapat diartikan masyarakat kita sudah “melek informasi politik” karena adanya ritual pemilu ke pemilu.
Sekarang sedang berhembus wacana untuk melakukan koreksi atas penyelenggaraan pilkada melalui RUU Pilkada. Salah satunya muncul usulan untuk meniadakan pilkada secara langsung. Hal ini untuk merespon chaotic penyelenggaraan pilkada hingga keinginan membentuk pemerintahan yang efektif. Menurut penulis, kacaunya penyelenggaraan pemilu dan pilkada yang sering berujung konflik politik hingga terkadang anarkhi adalah murni soal ketidak siapan elit yang belum dewasa berpolitik. Jikapun terjadi kekacauan di tingkat massa, hal tersebut adalah buah dari mobilisasi dan kapitalisasi politik atas rakyat.
Hingga saat ini wacana soal perlu dan tidak perlunya pilkada masih bias elit politik. Basis argumentasinya selalu diukur dari kacamata aktor dominan baik dari pemerintah, DPR, parpol dan kelas menengah yang mapan. Jarang sekali yang menyoal tentang adanya hubungan adanya pilkada dengan penguatan hak politik rakyat di tingkat lokal. Bagaimana menjelaskan adanya hubungan tersebut? Dan bagaimana prakteknya pada pilkada?
Pilkada: sarana kedaulatan politik lokal
Pada hari pemungutan suara pilkada, berbondong-bondong rakyat datang ke TPS untuk memberikan suaranya. Peristiwa itu terjadi sekali dalam lima tahun ritual pilkada. Hasilnya kemudian menjadi dasar untuk menentukan siapa pemimpin di daerah. Mandat politik itu lantas menjadi legitimasi untuk memerintah di daerah. Bandingkan peristiwa politik ini pada masa Orde Baru, masa kolonial atau masa kerajaan. persamaannya baik pilkada langsung, dipilih oleh DPRD, diangkat oleh pemerintah pusat, atau diwariskan, sama-sama menjadi legitimasi untuk memerintah terhadap rakyat. Lantas apa yang membedakan dari ketiganya? Tentu saja soal partisipasi rakyat secara langsung.
Pemilu sejatinya menjadi ajang konversi suara rakyat untuk memilih pejabat politik baik di parlemen ataupun eksekutif. Sehingga pemilu harus menjamin rakyat dapat berpartisipasi penuh sebagai pemilih. Pemilu harus berorientasi untuk melayani rakyat sebagai pemilik kedaulatan. Instrumen hukum Negara yang mendukung adanya jaminan hak politik rakyat sebagai pemilih dapat dirujuk antara lain UUD 1945, UU 29 Tahun 1999[2], UU 39 Tahun 1999[3], UU 12 Tahun 2005[4], UU 22 Tahun 2007[5], UU 10 Tahun 2008[6], dan UU 42 Tahun 2008[7]. Dengan demikian Negara harus mampu menghormati (to respect), memenuhi (to fulfill), melindungi (to protect), dan memajukan (to promote) hak politik ini. Jadi, pemilukada secara langsung merupakan momentum penegasan kedaulatan rakyat di tingkat lokal. Melalui pemilukada, rakyat mempunyai kesempatan untuk menentukan pilihan politiknya secara mandiri dan bertanggung jawab untuk memilih kepala daerah. Sehingga Pemilukada bertujuan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam berdemokrasi.
Mengacu kepada pengalaman amandemen konstitusi, didapati fakta bahwa pasal 18 ayat 4 UUD 1945 yang berbunyi “gubernur, bupati, dan walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis” adalah hasil perubahan kedua. Hal ini berbeda dengan pasal pemilihan presiden dan wakil presiden yang dipilih secara langsung tetapi melalui amandemen ketiga. Sehingga semangat untuk memperkuat kedaulatan rakyat di tingkat local sangat kuat dan menjadi landasan etik atas koreksi penyelenggaraan pilkada.
Problematika pilkada, problematika elit
Beberapa problem yang mengemuka pada pilkada diantaranya soal DPT yang belum akurat, pencalonan kepala daerah yang bermasalah, proses kampanye yang tidak edukatif, transparansi penghitungan suara dan rekapitulasi suara yang belum terjamin, penggabungan pilkada yang belum serentak, mekanisme penyelesaian konflik dan sengketa dan lemahnya penyelenggara pilkada. bisa dikatakan bahwa problem tersebut bertumpu kepada kelompok elit di masyarakat. Dikatakan elit, karena mereka merupakan kelompok yang secara fungsional terseleksi dari masyarakatnya.
Secara fungsional stakeholder yang berpengaruh dalam Pilkada terbagi kedalam kelompok pelaksana, kelompok pengawas, kelompok politik dan kelompok birokrasi. Kelompok pelaksana yang terdiri KPU Propinsi, KPU Kabupaten/Kota, PPK, PPS, dan KPPS berangkat dari basis rekrutmen terbuka yang harus memenuhi persyaratan UU. Kelompok pengawas terdiri dari Panwas Propinsi, Panwas Kabupaten/Kota, Panwas kecamatan, Pengawas Pemilu Lapangan juga dihasilkan melalui proses seleksi berdasarkan perintah UU.
Untuk kelompok politik bisa dinisbatkan kepada parpol yang melakukan pencalonan, calon kepala daerah, dan tim kampanye. Mereka adalah pihak yang aktif untuk melakukan pemenangan pilkada, mengingat statusnya sebagai peserta. Parpol yang berhak melakukan pencalonan adalah hasil seleksi Pemilu. Calon kepala daerah yang berhak ikut pilkada adalah personal yang terseleksi secara politik di tingkat parpol dan administrative di tingkat KPUD. Sementara tim kampanye, merupakan kelompok terpilih dari masyarakat untuk berjuang memenangkan kandidatnya.
Kelompok birokrasi merujuk kepada tim kesekretariatan yang mendukung kinerja baik pelaksana pilkada atau pengawas pilkada. mereka adalah PNS yang jelas-jelas hasil seleksi dari masyarakat untuk mengabdi kepada Negara sebagai birokrat. Bisa dikatakan, dengan komposisi stakeholder yang berpengaruh pada pilkada adalah kelompok social yang secara selektif merupakan puncak piramida dari struktur masyarakat. Merekalah yang sejatinya melayani masyarakat pemilih untuk terjamin memberikan hak suaranya secara komplit dan menyeluruh.
Dari tahapan pelaksanaan pilkada, kita bisa memeriksa soal kontribusi aktor (yang dikatakan elit) sbb:
Tahapan | Permasalahan | Peran elit | Partisipasi rakyat |
Penetapan daftar pemilih | Kurang akuratnya data yang mengakibatkan hilangnya hak pilih warga | Petugas Pemutakhiran Data Pemilih (PPDP) tidak maksimal PPS, PPK dan KPUD kurang teliti melakukan rekapitulasi data Parpol dan tim kampanye tidak serius melakukan sosialisasi dan advokasi kepada konstituen | Masyarakat tidak mendapat sosialisasi yang memadai tentang proses pendaftaran |
Pencalonan kepala daerah | Tidak transparannya proses penjaringan oleh parpol tidak adanya pelibatan publik dalam proses penjaringan politik transaksional yang kental dengan money politik | Parpol tidak melakukan konsultasi publik berbasis konstituen terkait penjaringan Dominasi pencitraan melalui publikasi media atas penjaringan calon KPUD tidak professional dalam melakukan verifikasi bakal calon | Tidak ada ruang keterlibatan masyarakat |
Kampanye | Kampanye yang kental dengan money politik Kampanye yang masih bersifat rekreatif ketimbang pendidikan politik | Tim kampanye lebih menitik beratkan money politik untuk mempengaruhi pemilih Panwas pilkada tidak efektif menekan pelanggaran pilkada Birokrasi tidak netral dengan penggunaan fasilitas Negara | Masyarakat masih disuguhkan kampanye yang tidak dialogis, tetapi monologis |
Pemungutan suara | Kesiapan logistik yang tepat waktu di TPS | KPUD, PPK, PPS belum maksimal mempersiapkan distribusi logistik | Terlihat partisipasi masyarakat |
Penghitungan suara | Mekanisme transparansi dalam hal pergerakan surat suara dan keberadaan formulir sertifikat dan berita acara pemungutan suara secara beranting dari TPS, PPS, PPK, dan KPUD. | Petugas KPPS, PPS, PPK, dan KPUD belum konsisten menerapkan prosedur persiapan penghitungan suara Panwas belum efektif menjamin kepastian keabsahan surat suara Saksi kandidat lemah dalam mempersiapkan berita acara dan sertifikat penghitungan suara | Kecuali di TPS, partisipasi masyarakat diwakili pemantau |
Penetapan, pengesahan, dan pelantikan | Kesiapan pleno rekapitulasi di KPUD untuk menetapkan calon terpilih Gugatan hasil pleno penetapan calon terpilih. | Kandidat tidak siap menerima hasil pilkada | Tidak ada partisipasi masyarakat |
Hubungan Pilkada dan Partisipasi
Mengapa kita mesti menggelar Pemilukada yang menghabiskan uang triliunan rupiah? Apakah tidak lebih baik uang tersebut diberikan saja langsung kepada jutaan warga miskin yang belum cukup sandang, pangan dan papan atau disumbangkan untuk biaya pendidikan anak-anak Indonesia? Dan kenapa pula untuk memilih pemimpin pemerintahan mengeluarkan banyak tenaga dan belum tentu mereka juga memperhatikan nasib kita sebagai pemilihnya.
Memang betul, akan tetapi jika tidak melewati Pemilukada, lalu pemimpin kita dipilih dengan cara apa dan bagaimana? Untuk itulah, melalui Pemilukada, pemerintahan yang tidak memihak rakyat bisa diganti. Jika pemerintah yang dipilih oleh rakyat pada Pemilukada sebelumnya ternyata kebijakannya tidak memihak rakyat maka rakyat bisa bertanggungjawab dengan tidak memilihnya lagi atau dengan memilih pemimpin yang lain.
Beberapa alasan mengapa Pemilukada secara langsung diperlukan adalah :
1. Sarana memilih pemimpin daerah secara langsung oleh rakyat
Pemilukada mewujudkan pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Pemilukada langsung menghendaki pemimpin tidak ditentukan oleh segelintir orang, tetapi oleh rakyat. Dengan demikian, melalui Pemilukada langsung, kita bisa menilai apakah pemerintah pantas dipilih kembali atau justru perlu diganti karena tidak mengemban amanah rakyat.
2. Mengetahui janji-janji calon pemimpin daerah
Pengalaman yang ada menunjukkan melalui Pemilukada, baik gubernur, bupati atau walikota yang berkuasa dapat tergantikan karena kinerja yang buruk ketika berkuasa. Janji-janji yang disampaikan oleh calon pemimpin ternyata tidak sesuai harapan pada saat memerintah. Sehingga mengetahui janji-janji calon pemimpin sangat penting bagi pemilih untuk menentukan pilihannya nanti. Dan hal itu harus disampaikan oleh calon pemimpin kepada rakyatnya pada Pemilukada.
3. Mengetahui kedekatan calon pemimpin daerah dengan rakyat
Pemilukada merupakan sarana mendapatkan informasi mengenai calon bupati/walikota dan gubernur kepada publik yang diharapkan pemilih dapat memiliki alasan yang cukup rasional untuk memilih. Sebagai rakyat, calon pemimpin yang dekat di hati rakyat adalah sesuatu yang diinginkan. Melalui pemilukada rakyat dapat mengetahui siapa saja yang akan memimpin lima tahun ke depan. Rakyat harus mengetahui latar belakang calon agar rakyat merasa dekat dengan calon pemimpinnya. Dan pemimpin tersebut mendapat kepercayaan dari masyarakat.
4. Menjadi cermin harapan masyarakat menuju kemakmuran
Pemilukada menghasilkan orang-orang terbaik sebagai pemimpin pemerintahan. Pemimpin terpilih yang akan menyalurkan dan mewujudkan aspirasi dan kepentingan masyarakat melalui pembuatan kebijakan untuk peningkatan kesejahteraan rakyat. Kualitas pemimpin yang dipilih melalui Pemilukada akan menentukan masa depan kesejahteraan rakyat. Sebagai contoh, apabila sang wakil atau pemimpin rakyat yang terpilih tidak peduli dengan nasib rakyat yang telah memilihnya, maka tidak akan ada kebijakan yang dihasilkan untuk peningkatan kualitas pendidikan, kesehatan, perekonomian berbasis rakyat, harga bahan pokok dan lain sebagainya. Atau, pemimpin terpilih lebih mementingkan kesejahteraan kelompok atau keluarganya sendiri dibandingkan rakyatnya. Oleh karena itu, penting bagi kita sebagai rakyat pemilih untuk memastikan wakil atau calon pemimpin yang akan kita pilih mempunyai kepedulian yang tinggi terhadap kesejahteraan masyarakat.
5. Masyarakat ikut serta memilih pemimpin daerah
Dengan adanya Pemilukada maka jaminan secara langsung hak masyarakat untuk ikut menentukan kepemimpinan daerah. Dan hal itu adalah awal dari upaya membangun partisipasi yang lebih luas. Karena masyarakat ikut bertanggung jawab menentukan pemimpinnya. Keterlibatan masyarakat dimulai sejak memastikan dirinya terdaftar sebagai pemilih, mengikuti dan mengawasi pelaksanaan kampanye, melaporkan pelanggaran, mencari tahu tentang wakil rakyat serta pemimpin yang akan mencalonkan, memberikan suara pada hari pemungutan suara serta menjaga suara yang telah diberikannya dan terakhir mencari tahu tentang peraturan dalam Pemilukada.
Penguatan Pendidikan Pemilih
Melihat spectrum pemilu yang begitu luas maka pendidikan politik (pemilih) adalah paket pembenahan tata kepemiluan di Indonesia. Dengan adanya Pemilu maka kebijakan Negara harus mendorong kesiapan pemilih untuk dapat terjamin secara otonom. Jaminan tersebut tercermin dalam orientasi penyelenggaraan pemilu yang melayani pemilih. Sehingga tahapan pemilu atau pilkada dapat sebanyak-banyaknya memberikan ruang partisipasi masyarakat.
Dokumen RPJMN 2010-2014 pemerintah mempunyai perhatian untuk memperkuat aspek partisipasi politik. Sasaran pembangunan ke depan adalah meningkatnya kualitas demokrasi. Hal ini ditandai dengan peningkatan iklim politik yang kondusif bagi berkembangnya kualitas kebebasan sipil dan hak-hak politik rakyat yang semakin seimbang dengan peningkatan kepatuhan terhadap pranata hokum. Kemudian meningkatnya akuntabiiltas lembaga demokrasi termasuk di dalamnya terwujudnya akuntabilitas peran masyarakat sipil dan organisasi masyarakat sipil, peran parpol dan peran lembaga legislative.
Merujuk pada kondisi-kondisi demikian maka semangat pembangunan politik kedepan adalah semangat membangun otonomi pemilih. Hal ini point penting dari keberadaan Pemilu. Semangat pemilu adalah semangat otonomi individu. Karena setiap warga Negara diberikan satu suara untuk memilih pemimpinnya baik di eksekutif maupun di legislative.
Dalam hal persiapan masyarakat untuk memasuki pilkada adalah menjadi kewajiban parpol, pemerintah dan KPUD. Karena merekalah yang mempunyai kemampuan dan kewenangan untuk menyusun rencana aksi pada pemilu. Masyarakat sipil pada posisi ini sangat bergantung kepada kemampuan ketiga aktor tadi. Ketika ketiganya lemah, maka masyarakat sipil berhak melakukan gugatan atas tiadanya jaminan negara untuk mendorong pembangunan dan pemberdayaan politik rakyat.
Memperkuat konsultasi
Dengan demikian penyusunan RUU Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) harus menekankan semangat participatory democracy di tingkat lokal. Upaya untuk menghapus pemilukada secara langsung akan bertentangan dengan semangat ini. Model pemilihan melalui DPRD atau pengangkatan kepala daerah oleh pemerintah pusat justru mengurangi derajat partisipasi rakyat ke titik terendah. Sehingga penyusunan RUU pilkada sejauh mungkin dapat mengurangi biaya politik dan ekonomi yang koruptif dan penyalahgunaan kekuasaan secara massif.
Meskipun disadari bahwa pelaksanaan pilkada di sejumlah daerah pada periode 2010 terkesan banyak kekurangan bahkan menjurus konflik local. Namun, hal tersebut adalah menjadikan tantangan bagaimana RUU pilkada dapat meredam dan menghambat proses yang tidak demokratis dan chaos. RUU pilkada harus mampu memperkuat system kepartaian, peningkatan kemampuan rakyat untuk memilih secara otonom dan regulasi yang secara efektif mencegah praktek
Perlu dilakukan upaya memperluas konsultasi publik untuk membangun partisipasi politik dalam penyusunan RUU pilkada. Hal ini berguna untuk menggali dan menemu kenali kemauan publik, khususnya di daerah, atas RUU ini. Problem yang mengemuka harus berbasiskan kemauan daerah, bukan kepentingan pusat semata. Hal ini adalah pelajaran berharga untuk melakukan pendalaman demokrasi (deepening democracy) di tingkat local. Agregasi kepentingan daerah inilah yang menjadi basis penyusunan RUU pilkada.
[2] tentang Pengesahan Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala bentuk Diskriminasi Rasial
[3] tentang HAM
[4] tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik
[5] tentang Penyelenggaraan Pemilu
[6] tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD
[7] tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden